Ibadah Haji 2019
Kisah Guru Jenderal & Artis Berhaji Dengan Kayuh Sepeda 7 Bulan, Pernah Diberi Tugas Mulia Soekarno
Kisah Guru Jenderal dan Artis Pergi Ibadah Haji Dengan Kayuh Sepeda 7 Bulan, Pernah Diberi Tugas Mulia Presiden Soekarno.
Untuk bisa menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci Abah Landoeng butuh perjuangan yang luar biasa
Guru dari Jenderal, Gubernur dan Artis melakukan dengan cara tak biasa yakni mengayuh sepeda selama 7 bulan
Tak hanya itu saja, Abah Landoeng pria asal Bandung Jawa Barat ini juga pernah diberi tugas mulia oleh Presiden Soekarno
TRIBUNMADURA.COM, BANDUNG – Menunaikan ibadah haji dahulu bagi umat muslim tidak semudah seperti sekarang, yang bisa dengan cepat tiba ke Tanah Suci.
Butuh waktu yang cukup lama serta tekad yang luar biasa agar bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
Demikian juga dengan yang dialami oleh Abah Landoeng (94).
Kakek asal Bandung, Jawa Barat ini menceritakan kisahnya saat mengayuh sepeda selama tujuh bulan dari Indonesia ke Arab Saudi untuk berhaji alias melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci.
Saat itu, tahun 2002. Usianya menginjak 75 tahun. Meski tidak muda, ia bertekad untuk ke Tanah Suci menggunakan sepeda Federalnya.
“Sebenarnya niat awalnya untuk membantu bencana alam di Sumatera. Tapi ada niat besar juga untuk berhaji,” ujar Abah Landoeng kepada Kompas.com (Tribunmadura.com Network) di Bandung, Selasa (13/8/2019).
Dengan membawa uang Rp 1,2 juta, paspor, beberapa helai pakaian, dan makanan, ia melajukan sepedanya dari Bandung.
Ia kemudian menyusuri Jakarta lalu masuk ke Palembang. Ia kemudian mengecek kondisi Sumatera.
Kondisi daerah tersebut masih baik-baik saja. Banjir yang merendam Palembang hanya banjir kecil biasa.
Dari sana, keinginan Abah Landoeng untuk berhaji semakin kuat. Dengan mengucap basmallah, ia melanjutkan perjalanan.
Ia masuk ke Batam untuk menyeberang ke Batam, Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, India, Pakistan, menyebrangi Laut Merah, hingga akhirnya sampai di Arab Saudi pada 2003.
“Di perjalanan, kalau capek saya istirahat di masjid. Tidur juga sering di masjid,” ungkapnya.
Sesampainya di Mekah, Abah Landoeng merasakan kebahagiaan luar biasa.
Ia tidak menyangka bisa sampah ke Tanah Suci setelah tujuh bulan perjalanan.
Di Tanah Suci, selain melaksanakan rangkaian ibadah haji, ia berkeliling Mekah dengan sepedanya.
Abah Landoeng mendapat banyak bantuan dari orang-orang yang bertemu dengannya.
Seperti kamar hotel mewah hingga makanan. Bahkan tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia dan taksi dari Jakarta-Bandung, ditanggung donatur.
“Tentunya banyak cerita yang menyenangkan ada juga kesedihan. Tapi banyak menyenangkannya,” ungkapnya.

Jadi Relawan Tsunami Aceh 2004
Setahun kemudian, tepatnya tahun 2004, tsunami menerjang Aceh.
Tanpa pikir panjang, Abah Landoeng mengayuh sepedanya untuk pergi ke lokasi bencana. Di Aceh, ia membantu proses trauma healing.
Salah satunya dengan kemampuannya dalam pijat tradisional. Selain Aceh, ia pun kerap menjadi relawan di daerah bencana.
Ia ingin mengabdikan hidupnya untuk kehidupan sosial lewat kemampuannya.
Jika masa mudanya ia dedikasikan untuk dunia pendidikan, maka di masa tuanya Abah Landoeng mengabdikan hidupnya di lokasi-lokasi bencana.
Ketika ditanya alasannya kerap berbagi meski tidak dibayar, ia menjawab karena dirinya orang yang sederhana dan tidak punya.
Karena itu, ia ingin berbagi melalui kemampuan yang ia miliki, dari mengajar hingga relawan bencana.
Panitia Konferensi Asia Afrika 1955
Tak hanya itu, Abah Landoeng pun tercatat sebagai panitia Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955.
Saat itu ia bertugas menyediakan kendaraan untuk para delegasi.
Ia tidak mengalami kesulitan dalam mengumpulkan kendaraan dari orang kaya yang ada di Bandung.
Sebab sifat berbagi yang dimilikinya ini membuat ia mengenal orang dari berbagai kalangan dari kelas bawah hingga atas.
Bahkan kini, ia masih saling berkunjung dengan mantan Gubernur Jabar, Solihin GP.
“Angkatan Abah dah pada ga ada. Tinggal saya dan Mang Ihin (Solihin GP),” tegasnya.

Mengajar Pakai Sepeda Tanpa Digaji
“Oemar Bakri...Oemar Bakri banyak ciptakan menteri Oemar Bakri...Bikin otak seperti otak Habibie Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri...” Penggalan lagu berjudul “Oemar Bakrie” itu diciptakan Iwan Fals sekitar tahun 1981.
Lagu ini menceritakan seorang guru yang mengabdikan hidupnya untuk Indonesia sejak zaman penjajahan Jepang. Oktober 1996 di Bali, Iwan Fals memperkenalkan salah satu sosok yang menginspirasi lagu itu.
Dia adalah Abah Landoeng, guru Iwan Fals di SMP 5 Bandung. Di tahun 2019 ini, Abah Landoeng berusia 94 tahun. Fisiknya masih kuat. Bahkan masih menggowes sepeda Federalnya kemana pun.
Termasuk dari rumahnya di Cimahi ke warung kecilnya di Jalan Mangga No 26, Kota Bandung. Di warung inilah, ia bersama sang istri menjalankan bisnis mi goreng dan nasi goreng legendaris yang disukai Presiden Soekarno.
Meski warung “Ibu Sani Landoeng” ini kecil dan beralaskan tanah, namun pengunjungnya beragam dari mahasiswa hingga wali kota dan jenderal.
Dihiasi aroma sedap mi tektek, Abah Landoeng menceritakan kisah hidupnya sebagai guru kepada Kompas.com (Tribunmadura.com Network).
“Abah ngajar dari zaman Jepang, tahun 1942,” ujarnya, Selasa (14/8/2019).
Berantas Buta Huruf
Saat itu, lulusan Algemeen Metddelbare School (AMS-setingkat SMA) ini mengajar dengan dengan mengendarai sepeda kumbang mengelilingi Kota Bandung.
Ia keluar dari rumahnya di Jalan Citarum, pagi hari. Bila bertemu tukang panggul atau petani, ia akan bertanya apakah mereka sudah bisa baca.
Jika belum, Landoeng akan menghentikan sepedanya, mengambil papan tulis kecil dan kapur dari sepedanya, kemudian mengajar.
“Abah tidak dibayar. Abah jadi sukarelawan saja. Terus seperti itu hingga zaman kemerdekaan. Karena sampai tahun 1950-1960an, Indonesia masih berperang melawan buta huruf. Hati abah tergerak,” tuturnya.
Bukan hanya orang tak mampu yang buta huruf. Pada zaman itu, banyak saudagar kaya seperti pedagang di Pasar Baru yang juga buta huruf.
Mereka mampu menghitung dan berjualan dengan baik, namun tidak bisa membaca. Karena itulah, Abah Landoeng pun mengajari para saudagar kaya dan anak-anaknya membaca.
Dari saudagar inilah Abah Landoeng biasanya mendapatkan makanan dan minuman.
Muridnya Gubernur Hingga Artis
Tak hanya itu, para jenderal dan gubernur pun menitipkan anak-anaknya untuk belajar pada Abah Landoeng. Seperti pemimpin pasukan Siliwangi Jenderal Ibrahim Adjie dan Gubernur Mohamad Sanusi Harjadinata.
Tahun 1950, Abah Landoeng akhirnya diangkat menjadi guru di SMPN 5 Bandung. Ia mengajar Fisika, Keterampilan, dan sesekali mengajar olahraga seperti softball.
“Murid Abah ada yang jadi menteri, profesor, banyak yang jadi orang-orang hebat kaya Gubernur Ridwan Kamil,” ungkapnya.
Kalangan profesor, beberapa nama seperti Guru Besar Unpad, Prof Ina Primiana tercatat sebagai muridnya.
Begitupun artis seperti Euis Komariah, Didi Petet, Iwan Fals, pernah menjadi muridnya.
Tahun 1963-1966, Abah Landoeng ditugaskan Presiden Soekarno ke Malaysia untuk membantu negara tetangga itu melawan buta huruf.
Pendidikan
Abah Landoeng lahir di Bandung, 11 Juli 1926. Ayahnya yang berpofesi sebagai mandor dalam pembangunan Gedung Sate, membuatnya bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA (AMS/HBS pada zaman Belanda).
Sejak kecil, Abah Landoeng sudah biasa bekerja. Seperti saat duduk di bangku SMP-SMA, ia menjadi pengambil bola di lapangan tenis dan golf.
Dari pekerjaannya, ia mendapatkan uang 1 sen, jumlah yang besar pada masa itu. Dengan uang 1 sen, ia bisa membeli beras dan sembako lainnya. Bahkan ia bisa mntraktir lotek untuk 10 temannya.
“Abah juga bisa tenis dan golf. Kadang yang namanya caddy golf itu lebih jago main golf-nya,” ungkapnya.
Soal murid "zaman now" Lulus dari AMS, hati Landoeng tergerak untuk mengajar baca dengan cara berkeliling menggunakan sepeda.
Meski tidak dibayar, ia tidak pernah kelaparan. Ketika ditanya perbedaan murid zaman now dengan dulu, Landoeng mengatakan, siswa zaman baheula disiplin dan menghormati guru.
“Dulu anak-anak jenderal itu, (kalau nakal) Abah jitak. Orangtuanya gak apa-apa. Kalau sekarang, main lapor,” tuturnya.
Meski menjadi pendidik, ia pernah ikut mengangkat senjata melawan penjajah. Di zaman Belanda dan Jepang, beberapa kali ia mengangkat bambu runcing.
“Kalau masa Dwikora, abah angkat senjata beneran, bukan lagi bambu runcing,” tutupnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Abah Landoeng, Kayuh Sepeda 7 Bulan ke Tanah Suci untuk Berhaji" dan "Kisah Abah Landoeng Jadi Guru di Zaman Perang Kemerdekaan, Keliling Mengajar Pakai Sepeda Tanpa Digaji"