Berita Blitar
Datangkan Hujan Dengan Ritual Tiban, Warga Blitar Rela Dicambuk Bergantikan Hingga Kulit Terkelupas
Datangkan Hujan Dengan Ritual Tiban, Warga Blitar Rela Dicambuk Secara Bergantikan Hingga Kulit Terkelupas.
Penulis: Imam Taufiq | Editor: Mujib Anwar
Datangkan Hujan Dengan Ritual Tiban, Warga Blitar Rela Dicambuk Secara Bergantikan Hingga Kulit Terkelupas
TRIBUNMADURA.COM, BLITAR - Sudah menjadi tradisi setiap tahun, terutama pada musim kemarau panjang, seperti saat ini, sebagian warga, terutama di Kecamatan Kanigoro, melakukan Ritual Tiban.
Ritual Tiban adalah ritual mendatangkan hujan, dengan cara adu ketangkasan menahan pukulan cambuk.
Aturan mainnya, mereka saling tantang, dengan naik ke atas panggung untuk beradu kekuatan.
Yakni, keduanya bergantian menahan pukulan cambuk, yang terbuat dari lidi yang sudah dianyam.
Masing-masing peserta, mendapat giliran memukul tiga kali. Dan, lawannya tak boleh melawan atau membalas sebelum mendapat giliran.
Ia hanya boleh menangkis dengan cambuk serupa.
Tak jarang, para peserta ritual tiban itu mengalami luka akibat kulitnya terkelupas.
Namun demikian, mereka tak boleh emosi apalagi dendam karena acara itu selain ritual buat menurunkan hujan juga hanya adu ketangkasan.
Ritual Tiban itu merupakan ritual minta hujan yang sudah berlangsung lama di Kabupaten Blitar, khususnya di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Soal tempatnya, itu bisa berpindah-pindah. Di antaranya, pernah berlangsung di Desa Bangle, dan Desa Papungan.
Namun, Senin (30/9/2019) siang kemarin, Ritual Tiban itu berlangsung di Dusun Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Tentunya, acara itu berlangsung di tempat terbuka dan berlangsung siang hari di saat panas menyengat.
Kebetulan siang kemarin, acara itu berlangsung di lahan kosong, yang berada di samping rumah Sukadi (46), warga dusun setempat.
Tak pelak, acara itu sekaligus jadi tontonan warga.
Bahkan, sepanjang jalan perkampungan, yang menuju ke arena ritual itu, banyak dipenuhi para pedagang, yang berjualan aneka makanan.
Tentunya, itu bisa mendatangkan rejeki bagi ibu-ibu yang berjualan.
Seperti biasanya, baik penontonnya maupun pesertanya berasal dari berbagai desa, kecamatan, bahkan dari luar kabupaten.
Acara itu dimulai pukul 14.00 WIB, dengan ditandai alunan musik jaranan, yang para pemukulnya dari warga setempat.
Setelah itu, pemandu acara atau wasitnya, Suprapto (45) dan Sujiono (55), keduanya warga dusun setempat naik atas panggung.
Di atas panggung yang terbuat dari bambu dengan ukuran 8x8 m2 dan tinggi 4 meter itu, kedua wasit itu memutar-mutar cambuk, yang terbuat dari lidi yang dianyam.
Sambil memutar-mutar cambuk di atas kepalanya dan mengikuti irama gamelan atau musik jaranan, mereka mempersilakan penantang naik ke atas panggung.
"Ayo, acaranya sudah dimulai dan dibuka, siapa yang paling jantan, mari naik duluan," rayu Sujiono kepada peserta yang stand by di bawah panggung.
Sebentar kemudian, Rohman (44), warga Kelurahan/Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, naik ke atas panggung, kemudian diberi cambuk oleh Sujiono.
Dengan bertelanjang dada (sebagai persyaratannya), Rohman memutar-mutarkan cambuk di atas kepalanya, sambil berjoget-joget, mengikuti musik jaranan. Itu pertanda, ia mencari lawan, yang mau diajak bertanding.
Rupanya, aksi Rohman itu memancing peserta lain, Siswoko (35), warga Desa Sawentar, untuk naik ke atas panggung.
Akhirnya, keduanya sama-sama memegang cambuk. Oleh Sujiono, mereka diberi arahan tentang aturan mainnya.
"Siapa dulu yang menahan dan siapa dulu yang mencambuk," ujarnya.
Akhirnya, disepakati Rohman yang mencambuk dulu, dan Siswoko yang bertahan. Bagi yang bertahan, kepalanya diberi pelindung helm.
Untuk menahan pukulan Rohman, Siswoko diberi cambuk. Itu dipakai buat menangkis cambukan Rohman.
Begitu aturan mainnya sudah jelas, mereka bermutar-mutar di atas panggung, sambil mencari kesempatan atau kelengahan Siswoko.
Tiga kali pukulan cambuk Rohman, hanya sekali yang mengenai punggung Siswoko. Dua kali cambukannya berhasil ditahan oleh cambuk Siswoko.
Namun demikian, punggung Siswoko berdarah. Berikutnya, gantian Siswoko yang mencambuk dan Rohman yang bertahan.
Dari tiga kali cambukan Siswoko itu, semuanya tak berhasil ditangkis oleh Rohman.
Akibatnya, perutnya mengalami luka memar, dan punggung berdarah.
Sehabis bertarung, mereka harus berjabat tangan atau berpelukan, supaya tak ada dendam.
Keduanya harus legowo, meski pertarungan adu ketangkasan menahan cambuk itu tak ada yang menang atau kalah.
Setelah kedua peserta turun, kedua wasit kembali berjoget-joget sambil memutar-mutarkan cambuk di atas kepalanya.
Itu pertanda mereka mempersilakan peserta untuk naik ke atas panggung. Dan, itu dilakukan terus-menerus setiap mencari peserta dan penantang.
"Acara ini berlangsung selama 20 hari, atau sampai turun hujan.
Dan, setiap hari, juga berlangsung adu cambuk di atas panggung," ujar Ny Yeni Fera Anggraini, Kaur Keuangan Desa Sawentar.
Bagaimana, jika tak turun hujan selama berlangsung ritual tiban selama 20 hari itu? Yeni mengatakan, ya waktunya akan ditambah lagi. Biasanya, itu ditambah 10 hari.
"Namun, pengalaman yang sudah terjadi selama ini, sebelum 20 hari, sudah turun hujan. Biasanya, hujan turun malam hari atau sehabis ritual," paparnya.
Mengapa ritual ini dilakukan, menurutnya, selain sudah jadi turun-temurun dari nenek moyangnya, saat ini kondisi warga sudah mengalami kekeringan.
Tak hanya buat kebutuhan rumah tangga, namun air di sawah sudah tak ada.
Padahal, di Desa Sawentar, ada lahan persawahan seluas 312 hektare (Ha). Dan, itu sudah mengalami kelangkaan air.
"Selain itu, acara ritual tiban ini juga bisa mendatangkan rejeki bagi warga setempat.
Ada yang berjualan makanan, jajan, atau minuman. Bahkan, anak-anak muda bisa membuka lahan parkir," tegasnya.