Wabah Virus Corona
Kualitas Udara di Jakarta Membaik Saat Merebak Wabah Virus Corona, Penyebabnya Diungkap Ahli
Kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori sedang di tengah meluasnya penyebaran virus corona.
Kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori sedang di tengah meluasnya penyebaran virus corona
TRIBUNMADURA.COM - Jakarta menjadi wilayah paling tinggi jumlah kasus virus corona di Indonesia.
Hingga Kamis (26/3/2020), ada 440 pasien positif virus corona di Jakarta.
Namun, kondisi itu memberikan pengaruh pada kualitas udara di Jakarta.
• Masjid Al Akbar Surabaya Tetap Selenggarakan Salat Jumat, Jemaah Dipantau dengan Pengawasan Ketat
• Benarkah Virus Corona Adalah Tentara Allah SWT & Bertugas Menghukum Manusia? Ini Kata Quraish Shihab
• Fakta Masa Lalu Pelaku Pedofilia Tuban, Terungkap Cerita Kelam Semasa Kecil hingga Jadi Dendam
Pagi hari ini, kualitas udara Jakarta masuk dalam kategori sedang.
Berdasarkan situs Air Quality Index (AQI), pukul 08.00 WIB kualitas udara di Jakarta menyentuh angka 82.
Pada sore hari yakni pukul 15.30 WIB, kualitas udara berada pada angka 62 dengan PM 2.5 sebesar 17,5 mg/m3.
Berdasarkan catatan Kompas.com, kualitas udara Jakarta biasanya masuk dalam kategori tidak sehat dengan indeks kualitas udara di atas 155.
Pada 22 November 2019 misalnya, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 157.
Saat itu Jakarta berada di peringkat 11 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di antara kota-kota besar lainnya di dunia.
Jakarta bahkan pernah muncul dalam urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, tepatnya pada 29 Juli 2019.
• Pemprov Jatim Buka Program Pemutihan Denda Pajak Kendaraan Bermotor di Tengah Wabah Virus Corona
• Driver Ojek Online di Surabaya Dapat Hand Sanitizer Gratis, Mengaku Senang Karena Alami Kelangkaan
Indeks kualitas udara di Jakarta saat itu tercatat 183, kategori tidak sehat dengan parameter konsentrasi PM 2.5 sebesar 117,3 mg/m3.
Akibat kerja dari rumah?
Kualitas indeks udara terutama di DKI Jakarta berangsur membaik sejak diberlakukannya work from home (WFH) atau kerja dari rumah selama pandemi Covid-19.
Apakah benar berpengaruh?
Bondan Andriyanu selaku Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa bisa jadi berkurangnya polusi udara adalah dampak kerja dari rumah.
“Katakanlah hari ini banyak yang sudah WFH, asumsinya sumber pencemar dari transportasi berkurang. Tapi datanya justru terjadi peningkatan PM 2.5,” tutur Bondan kepada Kompas.com, Kamis (26/3/2020)
Artinya, lanjut ia, bisa jadi ada sumber lain yang tidak bergera masih berkontribusi pada pencemaran udara.
“Misal industri, PLTU Batubara, pembakaran sampah, dan lainnya,” lanjut ia.
Bondan menyebutkan bahwa masalahnya, berkurangnya polusi dan meningkatnya kualitas indeks udara di DKI Jakarta tidak bisa dilacak sumbernya.
'“Seberapa besar polusi berkurang akibat transportasi dan industri, itu yang menentukan," ucap dia.
Sebenarnya, perbaikan kualitas udara harus bersumber dari kebijakan jangka panjang yang kemudian mengubah perilaku masyarakat,” tuturnya.
Riset inventarisasi emisi dan Air Monitoring Station
Bondan menuturkan sedikitnya ada tiga poin utama dalam polusi udara.
“Pertama adalah sebaran alat pantau udara yang memadai," katanya.
"Kedua, riset inventarisasi emisi yang reguler dan bisa dengan mudah kita identifikasi sumber pencemar udara,” papar ia.
Poin terakhir adalah upaya pengendalian sumber pencemaran udara berdasarkan hasil inventarisasi emisi.
“Keterbukaan data sumber pencemar udara ini menjadi sangat penting," jelas dia.
"Selama ini tidak ada sumber pencemaran udara, karena tidak ada inventarisasi emisi,” tutur Bondan.
Ia menyebutkan terakhir kalinya Jakarta pernah membuat riset inventarisasi emisi adalah pada 2012.
Padahal, idealnya, Jakarta butuh inventarisasi emisi dua kali dalam setahun.
Selain riset inventarisasi emisi, Bondan juga menekankan pentingnya Air Monitoring Station yang tersebar di seluruh wilayah, tak hanya di titik tertentu.
“Air Monitoring Station di DKI Jakarta hanya punya 5. Kemudian yang memiliki alat deteksi PM 2.5 hanya ada 4. Alat pantaunya kurang,” tutur dia.
Idealnya, DKI Jakarta butuh 60 Air Monitoring Station yang tersebar hingga wilayah yang jauh dari pusat kota.
“Alat pantau harus memadai dengan luasan Jakarta saat ini,” tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Udara Jakarta Membaik saat Pandemi Corona, Ahli Ungkap Sebabnya
• Kapan Penyebaran Wabah Virus Corona Akan Berakhir? Ilmuwan Peraih Nobel Ungkap Prediksi Waktunya
• Polisi Tangkap Pedofilia di Tuban, Pelaku Cabuli Para Korban di Atas Truk hingga Tempat Ibadah