KPK
Arti Kata OTT KPK yang Kini Menjaring Pimpinan DPRD Jatim, KPK Ganti Istilah Jadi Tangkap Tangan
Ternyata KPK sudah mengumumkan dan mengganti istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi tangkap tangan.
TRIBUNMADURA.COM - Simak arti kata OTT KPK yang sering dipakai ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan giat operasi.
Ternyata KPK sudah mengumumkan dan mengganti istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi tangkap tangan.
Yang terbaru, KPK OTT seorang pimpinan DPRD Jatim politisi Golkar.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/1/2022).
Baca juga: Sejumlah Uang Disita saat KPK OTT Pimpinan DPRD Jatim, Politisi Golkar Diamankan
Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunMadura.com
"Dalam kesempatan ini, perkenankan kami untuk menyampaikan tidak menggunakan lagi istilah operasi tangkap tangan," kata Firli
Firli pun memastikan, kini KPK hanya akan memakai istilah tangkap tangan terhadap pihak yang tertangkap.
Lantas apa itu istilah OTT dan Tangkap Tangan serta perbedaan?
Dikutip dari Tribun, OTT atau Operasi Tangkap Tangan adalah operasi penangkapan yang dilakukan oleh Polisi atau KPK.
OTT ini sebenarnya tidak memiliki pengertian yang jelas, baik dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini.
Namun, dalam KBBI sendiri, 'operasi' memiliki makna 'pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan'
Tertangkap Tangan
Seperti yang sudah disinggung di atas, tertangkap tangan memiliki makna lain dari OTT.
Dalam pasal 1 angka 19 disebutkan:
"Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu".
Selanjutnya, pada pasal 18 ayat 2 KUHAP menjelaskan:
"Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat."
Jadi OTT dan Tertangkap Tangan jelas berbeda berdasarkan definisinya saja.
Dari kata 'operasi' dalam OTT, dapat disimpulkan perbedaan pertama dalam dua istilah itu.
Tertangkap tangan dilakukan tanpa surat perintah, dan saat peristiwa pelanggaran hukum terjadi.
Dalam KBBI, 'tertangkap tangan' sama dengan 'kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan; tertangkap basah'. (2)
Sementara 'operasi' dalam OTT mengacu pada 'pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan
KPK OTT pimpinan DPRD Jatim
KPK OTT pimpinan DPRD Jatim dan menyita sejumlah uang dalam giat operasi tersebut.
KPK melakukan OTT di gedung DPRD Jatim di Surabaya, Rabu (14/12/2022).
Diduga yang terjaring OTT KPK tersebut adalah politisi partai golkar, Sahat Tua Simanjuntak.
"KPK dalam penangkapan tersebut mengamankan beberapa orang dan sejumlah uang sebagai barang bukti yang masih terus kami kembangkan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Kamis (15/12/2022).
Namun, Nurul Ghufron tidak memerinci nominal uang dimaksud.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, satu di antara pihak yang terjaring OTT ialah Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak.
Politikus Partai Golkar itu diduga terlibat kasus suap.
Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status dari para pihak yang ditangkap tersebut.
Profil Sahat Tua Simanjuntak
Simak profil Sahat Tua Simanjuntak, anggota DPRD Jawa Timur yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019-2024.
Sahat Tua Simanjuntak merupakan sekretaris DPD Partai Golkar Jawa Timur.
Simak perjalanan karir politiknya hingga menjadi pimpinan DPRD Jawa Timur.
Pernyataan Sahat Tua Simanjuntak usai dilantik menjadi wakil Ketua DPRD Jawa Timur pada Senin (30/9/2019) lalu
Bagi Sahat, posisi Pimpinan Dewan bukan sekadar tanggungjawab jabatan, namun punya arti sebagai penugasan partai yang harus ia tuntaskan dalam lima tahun ke depan.
Tak berlebihan, sebab Sahat telah mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Partai Golkar di Jatim lebih dari separuh usianya.
Sebelum mencapai puncak karier politiknya saat ini, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Jatim ini telah memulai berproses di partai berlambang pohon beringin ini sejak 30 tahun lalu.
”Kali pertama saya tertarik di politik ketika saya kuliah di Fakultas Hukum Ubaya (Universitas Surabaya) di tahun 1988,” kata Sahat kepada Surya.co.id ketika ditemui di ruangan kerjanya, Kamis (3/10) sore.
Ketertarikan pria 50 tahun ini di politik, tak lepas dari peran dua dosennya, Martono dan Anton Prijatno.
Martono pernah menjadi Ketua DPD Partai Golkar Jatim, sedangkan Anton pernah menjadi Anggota DPR RI juga dari Partai Golkar.
”Saya terus terang tertarik dengan kedua figur ini. Mulai dari keilmuannya, penyampaian di depan mahasiswa, hingga pemikiran beliau,” kata Sahat.
Anggota DPRD Jatim tiga periode ini bahkan menceritakan bahwa ia lebih banyak berbincang dengan para seniornya tersebut dibanding sekadar nongkrong dengan teman sebayanya.
Mulai dari bertukar pikiran hingga mencari solusi atas berbagai masalah organisasi yang ia ikuti, di antaranya di Senat Mahasiswa.
Hasilnya, Sahat pun dipercaya sebagai Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Ubaya pada 1990.
”Saat itu, saya menjabat di periode pertama. Kalau sekarang istilahnya Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa),” katanya.
Tak hanya aktif kegiatan kampus, Sahat juga mengaku telah bergabung dengan Golkar sejak 1990. Saat itu, ia masuk di DPD II Partai Golkar Surabaya menduduki Biro Hukum.
Tak hanya di Golkar, ia juga aktif di Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang juga Trikarya Golkar, hingga di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
”Pada tahun 1992, saya ikut mengampanyekan Pak Anton Prijatno yang saat itu nyaleg. Itu kali pertama saya turun di Pileg (Pemilu Legislatif), sekalipun baru sebagai tim kampanye,” katanya.
Barulah pada 1997, ia terjun sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) Partai Golkar untuk DPRD Surabaya. Sayangnya, saat itu, ia gagal terpilih.
Pun demikian pada Pemilu 1999 (Caleg DPRD Jatim) dan Pemilu 2004 (Caleg DPR RI), Sahat juga belum berhasil menarik hati rakyat.
Gagal di tiga pemilu, Sahat tak lantas patah semangat. Berada di Partai Golkar, membuatnya optimistis suatu saat ia akan menduduki kursi Dewan.
”Sebab, partai yang paling besar saat ini, menurut saya adalah Golkar,” katanya.
Benar saja, Sahat akhirnya terpilih sebagai Anggota DPRD Jatim pada Pemilu 2009 dari dapil (daerah pemilihan) Jatim 1.
Pun demikian pada Pemilu 2014, bukan hanya lolos ke parlemen dari dapil yang sama, ia bahkan dipercaya menduduki posisi Ketua Fraksi DPRD Jatim periode 2014-2019.
Penugasan Partai
Bagi Sahat, menjalankan kaderisasi di Golkar menjadi kebanggaan tersendiri. Sebab, Golkar dinilai sebagai partai modern.
”Partai modern tak mengenal owner. Sebab, sahamnya dimiliki oleh seluruh kader,” katanya.
Sehingga, seluruh kader Golkar memang dididik untuk siap mengemban posisi apapun.
”Kami optimistis. Partai Golkar tidak bergantung pada figur seseorang. Seluruh kader Golkar siap untuk menjadi pemimpin,” katanya.
Sekalipun demikian, Sahat menjelaskan bahwa jabatan bukan sekadar prestasi namun penugasan yang dibebankan oleh partai. Sehingga, kader Golkar diminta pantang berbangga kala mendapat jabatan, sebab tugas besar telah menanti.
”Apa yang menjadi tugas partai, itu yang harus kita jalani. Jabatan apapun itu, kader harus bisa melihat bahwa hal itu menjadi bagian dari penugasan partai,” katanya.
Sehingga, setiap keinginan kader tetap harus didasarkan pada tujuan berpartai. ”Kita boleh berambisi, namun harus ingat bahwa ada kepentingan partai yang lebih besar,” katanya.
Dipercaya duduk di Pimpinan DPRD Jatim, Sahat berkomitmen untuk meningkatkan kinerja Dewan. Namun, dengan tetap mempertahankan kepemimpinan kolektif kolegial.
”Terobosan itu harus kolektif kolegial dan berdasarkan kehendak seluruh anggota,” katanya.
Prinsipnya, partainya menugaskan ia untuk mewujudkan keadilan masyarakat.
Hal ini juga sejalan dengan tuntutan profesinya yang juga pengacara ini.
”Kalau di pengacara, kami memperjuangkan seseorang yang memerlukan bantuan hukum. Sifatnya tidak banyak, hanya satu atau dua orang. Di politik, kita memperjuangkan keadilan untuk kesejahteraan, namun untuk banyak orang. Jadi, ini kan hampir sama,” kata Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.
Bagi Sahat, penugasan di berbagai posisi yang dipercayakan partai kepadanya merupakan ladang perjuangan untuk mengabdi kepada rakyat.
"Kita harus rendah hati serta berbuat baik. Sebab, hal itu wajib dan akan menyempurnakan ibadah kita," pungkasnya.
Terkait target ke depan, Sahat enggan berandai-andai. Sebagai kader, ia memercayakan karir politiknya kepada partai.
”Untuk gengsi pribadi, saya rasa saat ini sudah di puncak. Tiga periode di Dewan, saya cukup. Dimanapun penugasan partai, saya siap,” katanya.
Termasuk apabila partai menugaskan berangkat ke kursi eksekutif, Sahat juga memiliki mimpi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah suatu saat nanti.
”Seorang politisi yang lama di legislatif, pasti punya mimpi di eksekutif. Dimana? Saya belum fokus di pilkada. Namun, saya kalau maju harus menang. Politisi itu kalau maju harus menang,” katanya.
Artikel ini telah tayang di TribunSumsel.com