Berita Surabaya

Linmas Arogan Diduga Siksa Anak di Shelter, Mata Dibalsem Ditampar lalu Disuruh Merangkak di Paving

anggota Linmas yang biasa dinas di kawasan Surabaya Selatan diduga menganiaya anak usia 17 tahun

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Samsul Arifin
Kompas.com/Ericssen
Seorang Linmas Arogan Diduga lakukan kekerasan pada anak di shelter 

TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Ikhtiar Pemerintah Kota Surabaya memperjuangkan status kota ramah anak sedunia tercidera masalah. B, anggota Linmas yang biasa dinas di kawasan Surabaya Selatan diduga menganiaya anak usia 17 tahun.

Apabila dugaan kekerasan itu benar, hal tersebut bersebrangan dengan pedoman sistem peradilan anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

Dugaan praktik kekerasan tersebut mencuat ketika jajaran Polsek Karangpilang pada 25 Februari 2023 menitipkan anak itu di shelter lantaran tersandung tindak pidana pencurian uang Rp750.000 di sekolah.

Pada 28 Februari, Anca Maulana salah seorang anggota Surabaya Children Crisis Center (SCCC)  mendampingi anak 17 tahun itu diperiksa penyidik di Badan Pemasyarakatan, Medaeng, Sidoarjo. Anca Maulana ketika itu bertanya terkait kondisi si anak setelah tiga hari tinggal di shelter.

Pertanyaan itu muncul lantaran kantung mata si anak terlihat bengkak. Penyidik saat itu sempat menduga mata si anak bengkak  akibat sering menangis menghadapi kenyataan berhadapan dengan hukum. Akan tetapi, setelah diamati di pelipis mata si anak juga terdapat luka. 

Anak itu pun mengaku ternyata selama berada di shelter mendapat kekerasan dari salah seorang  anggota Linmas berinsial B. Kelopak matanya diolesi balsem dengan dalih ruqiyah. Sedangkan, luka beset di pelipis mata akibat ditampar B. 

Baca juga: Lagi Bungkus Barang Haram, Pria Bangkalan Langsung Pucat saat Rumah Didatangi Pria Berbadan Tegap

Si anak ditampar setelah dipancing B supaya berani merokok di shelter. Si anak juga pernah disuruh merayap di atas paving, hingga mengakibatkan tangannya terluka. 

Si anak mendapat perlakuan itu hanya bisa pasrah. Semua perintah B dituruti. Sebab, apabila si anak tidak menuruti diancam akan dipukul atau disetrum. 

Sulkhan Alif selaku Ketua SCCC mengatakan, pengakuan si anak adalah kabar buruk. Pasalnya, diketahui shelter tersebut dikelola Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB). Sang ibu setelah mendengar pengakuan anaknya pun tanggal 1 Maret 2023 membuat laporan di SPKT Polrestabes Surabaya.

"Namanya orang tua, tahu anaknya disakiti jelas marah. Terlebih lagi, shelter yang seharusnya menjadi tempat untuk anak sadar akan kenalkannya malah jadi tempat kekerasan," kata Sulkhan.

Sulkhan menduga anak 17 tahun itu bukan satu-satunya korban. Pihaknya diam-diam telah mewawancarai anak lain yang pernah merasakan tinggal di shelter tersebut. Hasilnya, ada salah seorang anak lain mengaku juga pernah mendapat perlakuan serupa.

"Dia disuruh push up 100 kali. Lalu jalan merayap. Matanya pernah dikasih minyak dengan alasan ruqiyah. Tapi, anak itu mendapat perlakuan tersebut dari orang yang berbeda," ungkapnya.

SCCC sendiri sebagai lembaga yang konsen terhadap masalah anak miris dengan dugaan kekerasan tersebut. Pasalnya dalam regulasi peradilan pidana anak berhadapan dengan hukum harus tetap dilindungi. Contohnya saja ketika si anak tidak boleh diborgol maupun mengenakan baju tahanan ketika dihadirkan di ruang sidang.

"Memang bentuk perlakuannya harus berbeda. Tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang terkena perkara. Penegak hukum dari polisi, jaksa, maupun hakim harus mengantongi lisensi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ketika menghadapi perkara anak," terangnya.

Oleh karena itu, kata Sulkhan, SSSC  meminta polisi segera melakukan investigasi. Menurutnya, penegak hukum sudah paham menangani masalah anak. Terlihat polisi menitipkan si anak itu di shelter. Namun, kenyatannya justru ada fenomena salah kaprah di luar institusi itu.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved