Kilas Balik

Alasan Soeharto Tak Diculik saat Peristiwa G30S, Padahal Seorang Jendral TNI, Betulkah Sang Dalang?

Mengapa Presiden Soeharto tak diculik dan dibunuh saat peristiwa G30S? Padahal, presiden ke-2 Republik Indonesia merupakan jendral TNI.

Editor: Mardianita Olga
TribunMadura.com/Istimewa
Meski merupakan jendral TNI seperti Ahmad Yani, Presiden Soeharto tak diculik dan dibunuh oleh PKI. Apakah ada alasan di balik hal tersebut? 

TRIBUNMADURA.COM - Peristiwa G30S/PKI tentu tak akan terlupakan bagi rakyat Indonesia.

Kala itu, sejumlah jendral TNI menjadi korban, seperti Ahmad Yani, MT Haryono, dan S Parman.

Mereka diculik, dibunuh, hingga dibuang di sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Meski 53 tahun telah berlalu, peristiwa berdarah itu masih menyimpan misteri.

Beberapa pertanyaan seputar G30S/PKI lantas mencuat.

Salah satunya adalah mengapa Presiden Soeharto tak diculik dan dibunuh oleh PKI padahal dia juga jendral TNI?

Tak hanya itu, ada yang percaya presiden ke-2 Republik Indonesia itu merupakan dalang di balik kejadian G30S/PKI.

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunMadura.com

Kesaksian Kolonel Latief

Soeharto disebut-sebut mengetahui akan rencana penculikan sejumlah jenderal yang diyakini sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada Presiden Sukarno. 

Hal itu berdasarkan kesaksian salah satu pelaku yaitu Kolonel Abdul Latief dalam persidangan. 

Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal. 

"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Soeharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief. 

Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" di rumah Soeharto

Latief bercerita lebih lanjut, la menyatakan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari sebelumnya di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim.

Saat itu Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Kostrad. Pada pertemuan di rumah Soeharto itu Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. 

Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo. 

"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief. 

Baca juga: Pengakuan Sebenarnya Dokter yang Otopsi Jenazah Korban G30S/PKI, Tak Seperti yang Diberitakan

oeharto (kiri) dan Soekarno (kanan).
oeharto (kiri) dan Soekarno (kanan). (KOMPAS/Istimewa)

Soeharto dianggap loyalis Bung Karno

Sementara itu dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief membeberkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan.

"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief mengaku sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Menurut Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu. Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto sendiri mengakui dia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S.

Namun dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Jawaban Soeharto

Dalam wawancara dengan media Jerman Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Soeharto tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy, yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sup panas.

Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.  

Baca juga: Sosok Mbah Suro, Dukun PKI yang Kebal Senjata, Pasukan RPKAD Harus Turun untuk Melumpuhkannya

Supersemar.
Supersemar. (Dok KOMPAS)

Supersemar

Soeharto menjadi pahlawan setelah ramainya peristiwa G30S.

PKI dianggap sebagai dalang. Sementara itu Soekarno tidak melakukan apa-apa.

Masyarakat sipil, mahasiswa, dibantu tentara, menggelar berbagai demonstrasi besar-besaran menuntut PKI dibubarkan dan ekonomi diperbaiki.

Buntut dari peristiwa G30S yaitu pada 11 Maret 1966. Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberi kuasa untuk mengatasi keadaan.

Permintaan itu kemudian disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah 11 Maret).

Peristiwa itu menjadi jalan Soeharto menjadi presiden selanjutnya menggantikan Soekarno

Selanjutnya Soeharto menumpas PKI.

Setidaknya 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.

Ada juga yang dipenjara selama puluhan tahun seperti Latief, yang merasa dikhianati oleh Soeharto.

"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.

Dia juga mengatakan sama sekali tidak ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan.

"Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno," ujar Latief.   

Baca juga: Dibongkar Aktor Film Pengkhianatan G30S/PKI, Sebab Soeharto Beri Soekarno Gelar Pahlawan Proklamator

Seputar peristiwa G30S

Peristiwa G30S sendiri awalnya dipicu dari kabar adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Soekarno.

Peter Kasenda dalam buku "Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI" (2016) menulis, PKI mendapat informasi ini dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Militer saat itu terbelah menjadi beberapa faksi yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Ada sebagian kecil yang simpati terhadap PKI.

PKI adalah salah satu partai yang cukup diperhitungkan saat itu.

Kader-kadernya menduduki kursi dewan dan kursi pejabat.

Selain faksi militer yang simpati ke PKI, namun ada juga faksi-faksi yang justru anti terhadap PKI. Ada militer yang setia kepada Sukarno, dan ada yang tidak.

Dalam faksi yang tidak loyal inilah diyakini Dewan Jenderal bersarang.

Ideologi di dunia berkembang setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945.

Negara-negara pemenang saling bersaing memperebutkan pengaruh.

Persaingan yang dikenal dengan Perang Dingin ini membelah dunia menjadi dua.

Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti jenazah almarhum Jenderal Sutojo Siswomihardjo dan enam rekannya yang gugur dalam Peristiwa 1 Oktober 1965. Pagi 5 Oktober 1965, hari ulang tahun Angkatan Bersenjata yang biasanya gilang-gemilang, saat itu kelabu, demikian kata-kata pengantar Jenderal Nasution. Tujuh peti jenasah berangkat beriringan dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Adegan dalam foto ini muncul dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI dalam bentuk dokumentasi aslinya. (Foto: koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo, dimuat dalam buku Kenangan tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965 terbitan Penerbit Buku Kompas, 2013).
Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti jenazah almarhum Jenderal Sutojo Siswomihardjo dan enam rekannya yang gugur dalam Peristiwa 1 Oktober 1965. Pagi 5 Oktober 1965, hari ulang tahun Angkatan Bersenjata yang biasanya gilang-gemilang, saat itu kelabu, demikian kata-kata pengantar Jenderal Nasution. Tujuh peti jenasah berangkat beriringan dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Adegan dalam foto ini muncul dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI dalam bentuk dokumentasi aslinya. (Foto: koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo, dimuat dalam buku Kenangan tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965 terbitan Penerbit Buku Kompas, 2013). (koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo)

Baca juga: Pierre Tendean Bukan Sasaran Utama G30S/PKI, Lalu Siapa Sebenarnya? Simak Juga Biografi Singkatnya

Ada Uni Soviet dengan paham komunisnya. Lalu ada Amerika Serikat dengan paham kapitalisnya. 

Pada 1960-an, Sukarno dan PKI condong ke Uni Soviet dan antibarat. Dewan Jenderal diyakini sejalan dengan Amerika Serikat yang ingin menyingkirkan Soekarno.

Atas dasar keyakinan ini, para perwira militer yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.

Para perwira militer itu antara lain Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).

Mereka didukung oleh Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI.

Daftar jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer.

Para perwira militer itu berencana "menculik" para jenderal dan membawanya ke hadapan Presiden Sukarno.

Akan tetapi, rencana itu gagal total, karena tidak dilakukan dengan matang. Para jenderal malah dibunuh.

-----

Artikel ini telah ditayangkan di Kompas.com

Berita Madura dan berita viral lainnya.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved