Berita Viral

Gegara Jual Air Galon, Santri di Ponpes Gus Miftah Diduga Disetrum dan Dipukul, 'Aksi Rasa Sayang'

Kasus dugaan penganiayaan santri di Ponpes Gus Miftah viral, 13 santri dilaporkan, korban disebut juga terlibat pencurian. Gus Miftah minta maaf.

Tribun Jakarta
PENGANIAYAAN SANTRI - Nama Gus Miftah kembali viral usai mencuat kasus 13 santri pondok pesantren Ora Aji miliknya diduga melakukan penganiayaan kepada santri lain. 

TRIBUNMADURA.COM - Nama Miftah Maulana Habiburrahman atau yang dikenal sebagai Gus Miftah kembali menjadi sorotan publik setelah 13 santri dari pondok pesantrennya dilaporkan terlibat dalam dugaan kasus penganiayaan.

Kasus ini mencuat setelah muncul laporan bahwa Pondok Pesantren Ora Aji, yang berada di Sleman, DI Yogyakarta, tengah menghadapi tuduhan penganiayaan terhadap salah satu santrinya.

Santri berinisial KDR disebut menjadi korban penganiayaan oleh 13 orang, terdiri dari 9 santri dewasa dan 4 di bawah umur.

Ia diduga mengalami kekerasan seperti diikat, dipukul dengan selang, hingga disetrum.

Setelah peristiwa ini menjadi viral di media sosial, pihak Yayasan Ponpes Ora Aji melalui kuasa hukumnya, Adi Susanto, memberikan klarifikasi.

Baca juga: Nyelonong saat Menyebrang, Pemotor Tewas Tertabrak Bus Sugeng Rahayu di Jalan By Pass Mojokerto

Ia menyatakan bahwa insiden ini bermula dari aksi vandalisme dan pencurian yang terjadi di lingkungan pondok.

"Kejadian itu bermula dari aksi vandalisme dan pencurian di kamar-kamar santri di Ponpes Ora Aji, Sleman, Yogyakarta," ujar Adi dalam konferensi pers pada Sabtu (31/5/2025) mengutip Kompas.com.

Adi menjelaskan bahwa KDR tertangkap menjual air galon milik pondok tanpa izin pengurus. Ketika dimintai keterangan, KDR mengaku telah melakukan penjualan ilegal tersebut selama hampir sepekan.

"(KDR) mengakui bahwa memang dia sudah melakukan penjualan galon tanpa sepengetahuan pengurus itu selama kurang lebih 6 hari, ya sudah sekitar seminggu sudah melakukan itu. Nah, atas kejadian itu santri kan langsung tersebar nih peristiwanya tersebar," jelas Adi.

Menurut Adi, pengakuan KDR mengenai penjualan galon memicu perhatian para santri lain, yang lantas mempertanyakan apakah ia juga terlibat dalam kasus pencurian uang yang terjadi sebelumnya.

Setelah ditanya secara persuasif, KDR akhirnya mengakui bahwa ia juga merupakan pelaku pencurian uang dari beberapa santri. Ia bahkan menyebutkan jumlah dan identitas santri yang menjadi korban pencurian.

Baca juga: Pekerja Bangunan Kesetrum Kabel Tegangan Tinggi saat Pasang Atap Galvalum Rumah Kos di Mojokerto

"Nah, sampai akhirnya ditanyakanlah ya secara persuasif, tidak ada pemaksaan. Apakah peristiwa yang selama ini terjadi di pondok juga dilakukan oleh dia?" katanya.

"Nah, yang bersangkutan mengakui bahwa dialah yang melakukan pencurian selama ini. Ada di santri yang bernama si A sekian Rp 700.000, santri yang bernama si B, Rp 50.000 dan segala macam," imbuhnya.

Adi menegaskan bahwa kejadian tersebut bukanlah bentuk penganiayaan yang direncanakan, melainkan reaksi spontan dari para santri atas perbuatan KDR.

"Bahwa yang perlu kita tekankan, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu. Apa yang terjadi di pondok adalah aksi spontanitas saja dari santri, yang tidak ada koordinasi apapun," ujarnya.

Pasca kejadian, KDR diketahui meninggalkan pondok tanpa izin dan melaporkan insiden tersebut ke pihak kepolisian.

"Nah, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba (KDR) keluar dari pondok tanpa pamit dan segala macamnya lah ya ke yayasan dan tiba-tiba muncul lah yang namanya laporan Kepolisian di Polsek Kalasan pada saat itu," jelas Adi.

Pengurus Ponpes Mengaku Tidak Terlibat dalam Penganiayaan

Adi, yang juga menjadi kuasa hukum 13 santri terlapor, menyatakan bahwa kasus ini murni konflik internal antar santri dan tidak melibatkan pihak pengurus.

"Maka selain sebagai kuasa hukum yayasan, saya, kami juga menjadi kuasa hukum daripada seluruh santri yang dilaporkan tadi itu," ungkapnya.

"Sekali lagi di antara santri. Tidak ada pengurus. Maka yang perlu diketahui adalah peristiwa ini pure, murni antara santri dan santri." ulangnya.

Ia menyebut bahwa reaksi para santri timbul karena rasa kecewa terhadap perbuatan mencuri yang dilakukan oleh KDR, dan tindakan mereka merupakan bentuk keprihatinan.

"Aksi spontanitas itu muncul, spontanitas loh ya. Muncul dalam rangka untuk menunjukkan satu effort. Sebenarnya lebih kepada rasa sayang saja. Ini santri kok nyolong (kok mencuri) toh, kira-kira begitu," tegas Adi.

Ia pun membantah bahwa telah terjadi penyiksaan berat seperti yang ramai diberitakan.

"Framing yang terjadi selama ini di luar kan seolah-olah memang dilakukan penyiksaan yang luar biasa. Itu tidak pernah terjadi," katanya.

Baca juga: Tergiur Video di Sosial Media, Pria Gresik Tak Kuat Tahan Nafsu, Anak Tiri Jadi Pelampiasan

Korban Dilaporkan Balik atas Tuduhan Pencurian

Salah satu dari 13 santri yang dilaporkan justru mengadukan KDR ke Polresta Sleman atas dugaan pencurian. Adi menyebut bahwa laporan tersebut telah resmi diterima oleh pihak kepolisian.

"Kami secara resmi telah melaporkan saudara KDR  di Polresta Sleman," ujar Adi Susanto pada Sabtu (31/05/2025).

Ia menambahkan bahwa laporan ini didasari pengakuan KDR sendiri dan keterangan para santri yang mengalami kehilangan.

"Sebagai pelapor, yang bersangkutan kehilangan uang sebesar Rp 700.000. Sudah dilaporkan pada tanggal 10 Maret 2025 di Polresta Sleman, dan sampai hari ini prosesnya sudah berjalan," ungkap Adi Susanto.

"Data yang kami punya dari santri yang mengingat-ingat soal kehilangan-kehilangan dan itu juga pengakuan dari Saudara KDR ada kurang lebih 7 sampai 8 santri," jelasnya.

Upaya Mediasi Gagal karena Tuntutan Kompensasi

Pihak Yayasan Ponpes Ora Aji sebelumnya telah mencoba memediasi permasalahan antara KDR dan para santri.

Namun, upaya tersebut gagal karena adanya tuntutan kompensasi dari keluarga KDR yang tidak mampu dipenuhi oleh para santri.

"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara (KDR) ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri, yang notabene ini (santri) orang-orang yang tidak punya, yang notabene datang ke sini dalam keadaan gratis," kata Adi.

Pihak yayasan bahkan menawarkan bantuan biaya pengobatan sebesar Rp 20 juta, tetapi tawaran tersebut ditolak oleh keluarga korban.

"Kami dari yayasan menawarkan angkanya Rp 20 juta. Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal," pungkasnya.

Respon Gus Miftah

Gus Miftah, pemilik Ponpes Ora Aji, turut menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut.

Melalui kuasa hukumnya, ia menjelaskan bahwa saat insiden terjadi, dirinya sedang melaksanakan ibadah umrah.

"Mohon izin saat peristiwa terjadi abah (Miftah) sedang umrah. Jadi Abah sedang umrah, tidak ada di pondok," katanya dalam konferensi pers pada Sabtu (31/5/2025).

Sebagai bentuk tanggung jawab moral, Gus Miftah melalui kuasa hukumnya menyampaikan permohonan maaf atas insiden yang menimpa lingkungan pondok.

"Ya pertama tadi sudah disampaikan sama ketua yayasan, musibah ini adalah pukulan bagi kami terutama atas nama pondok pesantren. Ini adalah pukulan sehingga atas nama ketua yayasan, beliau (Miftah) sudah menyampaikan permohonan maafnya tadi," ujar Adi.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di TribunMadura.com 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved