Theo Gandeng Mantan Napi dan Mantan Pecandu Narkoba Bangun Produksi Kacamata Kayu Berkualitas Ekspor
Tepat di bulan September 3 tahun lalu, Theo mencoba membangun bisnis berlatarbelakang sosial entrepeneur. Mengangkat persoalan sosial mantan napi
Penulis: Pipit Maulidiya | Editor: Aqwamit Torik
TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Berada di lingkungan mantan pecandu narkoba, yang kesulitan mendapat simpati dari masyarakat sekitar, Moch Theo Zainuri tak bisa tinggal diam.
Pria kelahiran Sidoarjo, 10 Desember 1973 ini pun akhirnya punya ide membangkitkan perekonomian, dengan memberdayakan mereka.
Theo sebelumnya menjalankan LSM Sadar Hati Fondation sejam tahun 2000an di Malang. Tempat rehabilitasi pecandu narkoba dan mantan narapidana (napi). Pria ini menyadari bahwa tidak mudah bagi mereka bisa kembali di tengah-tengah masyarakat setelah 'sembuh' dari sakitnya.
• Ribuan Warga Antusias Tunggu Kedatangan Kapolri dan Panglima TNI ke Gedung Bakorwil Pamekasan
• Suguhkan Banyak Kejutan, Berikut Jadwal Piala Presiden 2019, Tiga Wakil Jatim Perebutkan Juara
• Panpel Siapkan 35 Ribu Lembar Tiket Laga Arema FC Vs Kalteng Putra pada Semifinal Piala Presiden
Kepercayaan masyarakat seperti hilang, sehingga mantan napi ini jarang punya tempat untuk memulai hidup barunya.
Tepat di bulan September 3 tahun lalu, Theo mencoba membangun bisnis berlatarbelakang sosial entrepeneur. Mengangkat persoalan sosial mantan napi, narkotika, HIV dan Aids.
"Awalnya hanya persoalan kesehatan, lambat laun ada persoalan stigma sosial. Kebanyakan mereka pengangguran, dapat cap buruk sehingga ruang berkreasi nggak ada," cerita Theo kepada Surya (Tribunmadura.com network), Senin (1/4/2019) sebelum memulai usaha Sahawood.
Teho pun berusaha merespon persoalan kemiskinan mereka sekaligus mencari minat bakat. Pada akhirnya muncul inspirasi membuat produk kacamata kayu.
Ya, beberapa orang yang tergabung dalam LSMnya kebetulan terampil di bidang perkayuan, bekal itu mereka dapatkan dari lapas.
"Waktu itu saya cuma kasih refrensi cara membuat dan bahan kayunya. Berjalan tiga sampai empat bulan tapi gagal terus belum ada hasil. Saya tunggu, akhirnya sampai enam bulan, ada satu produk yang kami bisa. Kami tunjukkan ke rekanan di Australia, dia tertarik dan pesan," lanjut Theo.
• Ayah Pedangdut Uut Permatasari Tewas Kecelakaan Motor di Sidoarjo, Begini Kronologi Lengkapnya
• Uut Permatasari Tangisi Ayahnya Tewas Kecelakaan, Uut Kenang Pesan Ayahnya yang Ingin Timang Cucu
• Pencuri Gondol Ponsel yang Ketinggalan di Sebuah Toko, Rekaman CCTV Aksinya Viral di Sosmed
Kacamata pertama buatan Sahawood menggunakan engsel dari rantai sepeda motor bekas. Semuanya terbuat ramah lingkungan. Perlahan berjalan, pesanan lain datang dari Inggris.
Saat itu macam bentuk kacamata bertambah, teknologi yang digunakan pun semakin maju. Engsel yang sebelumnya dari motor brkas yang unik, kini ada pilihan lain yaitu engsel standart kacamata pada umumnya.
"Mereka minta buatkan 100 Kacamata, saat itu pembeli masih dari jaringan saya saja. Dapat pesanan banyak akhirnya kami siapkan peralatan, kemudian bikin kelompok untuk membuat kacamata, jadi sistemnya bukan individu," cerita pria berkulit sawo matang ini.
Di Jalan Kuta Bhaswara II no 27, Polehan, Malang, kelompok Sahawood melangkah perlahan. Kini mereka terdiri dari 10 orang, berusia kisaran 23 sampai 40 tahunan.
"Harapan kami, ini bisa membuka lapangan pekerjaan, ternyata masih ada persoalan psikologi lainnya," kata Theo sedikit mengeluh.
Persoalan psikologi itu adalah timbulnya pengelompokan, misalnya kelompok wilayah daerah tertentu tidak bisa dijadikan satu dengan kelompok dari daerah lain. Mantan napi, pengguna narkoba dan HIV Aids cenderung memilih kelompoknya.
• Panpel Siapkan 35 Ribu Lembar Tiket Laga Arema FC Vs Kalteng Putra pada Semifinal Piala Presiden
• Teringat Choirul Huda, Dejan Antonic Panik & Nekad Masuk ke Lapangan Lihat Kondisi Aleksandar Rakic
• Prabowo Subianto Mengaku Tak Punya Banyak Uang Bayar Pendukung, Justru Dapat Sumbangan dari Rakyat
Alasan itulah yang melatarbelakangi jumlah kelompok pekerja Sahawood hingga saat ini. Mereka yang saat ini masih solid adalah mereka yang berhasil melewati persoalan psikologi kecenderungan berkelompok.
Masing-masing orang perhari bisa mengerjakan dua Kacamata, untuk kacamata dengan engsel standart. Sementara untuk Kacamata dengan engsel bekas rantai ban perlu proses dua sampai tiga hari.
"Proses pembuatan dimulai dari memotong lembaran kayu 5 sampai 6 atau 7 mili, potong sesuai model, setelah itu banding kayunya, dilengkungkan, diamplas sesuai ketebalannya, karena hand made semua jadi cukup lama," cerita Theo.
Satu kacamata dibadrol dengan harga cukup bervariasi. Harga Rp 750 ribu sampai Rp 800 ribu dengan lensa kualitas polarized polycarbonate setebal 2 mili. Harga Harga Rp 675 ribu lensa polorized ketebalan 1 mili, dan harga Rp 575 ribu lensa polorized ketebalan 1 mili dengan engsel rantai bekas.
Menurut Theo harga tersebut sebenarnya cukup murah karena menggunakan bahan-bahan berkualitas serta asli hand made. Kaca yang digunakan memiliki efek lebih sejuk, teduh, penangkal cahaya, anti gores, diinjak pun tidak mudah pecah.
"Kami berani bersaing soal produk, dengan yang lain. Kayu yang kami gunakan pun berkualitas seperti jati, sonokeling, dan rosewood," kata Theo.
• 9 Anak Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Blitar Ikut UNBK di SMA YP Kotamadya
• Moeldoko Sebut Pemerintah Mulai Susun RUU Tentang Pondok Pesantren untuk Pembangunan Karakter
• Ketagihan Judi Online, Pemuda Pengangguran di Madiun Nekat Gadaikan Mobil Tetangga
Kini Sahawood sudah punya puluhan model Kacamata kayu, semua mendapatkan nama-nama dari berbagai jenis narkoba. Ada Big Puta, Val Aviator, Cocai, Crack (sampah kokain), Marjhon (Marijuana), Pium, dan banyak lainnya.
Selain memproduksi Kacamata, Sahawood mengembangkan kerajinan kayu di bidang lain seperti jam tangan dan perabotan rumah tangga. Untuk jam tangan, mereka namai dengan nama-nama jenis alkohol atau minuman keras.
Fokus Online
Bermodal Rp 15 Juta rupiah, Theo mengaku uang terus berputar. Yang paling penting adalah kelompok kerajinan Sahawood tetap eksis sampai kapan pun.
Pasar sudah mulai berkembang, kini mereka fokus membangun penjualan secara online. Karena dengan online usaha tidak butuh modal besar.
• Vanessa Angel dan Penyewa Jasa Dijadwalkan Hadir dalam Sidang Dua Muncikari Prostitusi Online
• Akun Instagram (IG) Nurhadi-Aldo Pamit Undur Diri, Pamit ke Inul Hingga Chelsea Islan, April Mop?
• IMS Dukung Kegiatan Latber Grasstrack/Adventure, Berharap Bibit Pembalap Lokal Muncul
Sahawood pun mencoba mencari nama melalui kompetisi-kompetisi, mengikuti patihan dan booth camp. Peralahan kata Theo konsumen semakin luas. Produk mereka semakin dikenal, bahkan di pasar Internasional.
"Pasar di Indonesia lumayan bagus, sasaran kami kelompok menengah ke atas. Sementara pasar lokal Jakarta, Bali, Kalimantan, Makasar, dan Jawa Tengah. Justru Surabaya rendah, jarang peminat. Kami bertahan, bagaiman skala produksi tetap berputar terus, kita juga menjaga teman-teman," katanya penuh semangat.
Untuk ekspor, Sahawood rutin melakukan ekspor ke dua konsumen mereka di Inggris. (Pipit Maulidiya)