Menteri Desa & PTT Gus Halim Pakai Salam Lintas Agama: Saya Tak Punya Kartu MUI Tapi Punya Kartu NU

Gus Halim, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar mengungkapkan alasannya mengapa tetap menggunakan salam lintas agama walaupun MUI tak menganjurkan

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Menteri Desa dan PTT Abdul Halim Iskandar meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019) 

Menteri Desa dan PTT Gus Halim Gunakan Salam Lintas Agama: Saya Tak Punya Kartu MUI Tapi Kartu NU

TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Imbauan MUI Jawa Timur mengenai anjuran untuk tidak menggunakan salam lintas agama, menurut Menteri Abdul Halim Iskandar tak ada pelarangan seperti itu.

Menurutnya, dirinya hanya memiliki kartu NU ( Nahdlatul Ulama ) tapi bukan kartu MUI.

Selain itu, menurutnya dari NU masih memperbolehkan salam lintas agama tersebut.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar tetap menggunakan salam lintas agama, saat membuka pelepasan transmigran di Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Rabu (27/11/2019).

Gus Halim, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar mengungkapkan alasannya mengapa tetap menggunakan salam lintas agama walaupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau untuk tidak menggunakannya.

"MUI Jawa Timur tidak memperbolehkan salam lintas agama, tapi yang saya punya bukan kartu MUI, tapi kartu (anggota) NU," ujar politisi PKB tersebut.

Menurut Gus Halim, NU tidak melarang penggunaan salam lintas agama.

Karenanya, sebagai kader NU pihaknya tetap menggunakannya di acara kenegaraan.

Pria Mengaku Tak Makan dan Minum Selama 70 Tahun, Dokter Temukan Hal Mengejutkan saat Menelitinya

Daftar Nama Penumpang Bus Kramat Djati Kecelakaan di Jalan Tol Surabaya-Mojokerto ( Tol Sumo )

Pintu Rumah Sopir Terkunci, Teman Merasa Aneh, Saat Ngintip dari Jendela Hal Mengejutkan Terlihat

"NU memperbolehkan," ungkap Gus Halim saat melepas Transmigran asal Jawa Timur ke Bulungan, Kalimantan Utara.

Seperti dikabarkan sebelumnya, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyerukan kepada umat islam dan kepada pemangku kebijakan agar tidak menggunakan salam lintas agama termasuk dalam sambutan-sambutan di acara resmi.

MUI Jatim menyarankan agar pejabat mengucap salam pembuka sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Menurut Ketua Umum MUI Jatim, KH Abdushomad Buchori, salam merupakan merupakan suatu bentuk doa dan doa adalah ibadah.

"Sehingga kalau saya menyebut assalamualaikum itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam," ujar Abdushomad, Minggu (10/11/2019).

Abdushomad menjelaskan, menggunakan salam campuran sama saja dengan mencampuradukkan agama.

"Pluralisme agama itu tidak boleh. Saya terangkan di dalam tausyiah agama itu tidak boleh.

Politisi PKB Abdul Halim Iskandar meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019)
Mendes PTT, Abdul Halim Iskandar meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019) (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Karena agama itu eksklusif, karena keyakinan itu adalah sistem, agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri-sendiri," ucap Abdushomad.

Sementara itu, Katib Syuriah PWNU Jatim, KH Syafrudin Syarif menyampaikan bahwasanya pejabat negara yang beragama islam dianjurkan mengucapkan salam menggunakan cara islam.

Namun pejabat tersebut juga diperbolehkan jika ingin menggunakan salam lintas agama.

"Bagi pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat 'Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh', atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan semisalnya," ucap Syafrudin saat konferensi pers di Kantor PWNU Jatim, Surabaya, Selasa (12/11/2019) disaksikan Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar dan Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Anwar Mansur.

"Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," lanjutnya.

Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) (id.wikipedia.org)

MUI Jatim tak anjurkan salam lintas agama

MUI Jatim menganjurkan agar tak menggunakan salam campuran dalam setiap kegiatan.

Hal tersebut menurut MUI, salam adalah doa bagi masing-masing agama.

Selain itu, menggunakan salam campuran sama dengan mencampuradukkan agama.

Maka dari itu, masing-masing agama menggunakan salam dari agamanya masing-masing tanpa mencampuradukkan salam dari agama lain.

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyerukan kepada umat islam dan kepada pemangku kebijakan agar tidak menggunakan salam lintas agama termasuk dalam sambutan-sambutan di acara resmi.

MUI Jatim menyarankan agar pejabat mengucap salam pembuka sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Menurut Ketua Umum MUI Jatim, KH Abdushomad Buchori, salam merupakan merupakan suatu bentuk doa dan doa adalah ibadah.

"Sehingga kalau saya menyebut assalamualaikum itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam," ujar Abdushomad, Minggu (10/11/2019).

Abdushomad menjelaskan, menggunakan salam campuran sama saja dengan mencampuradukkan agama.

"Pluralisme agama itu tidak boleh. Saya terangkan di dalam tausyiah agama itu tidak boleh. Karena agama itu eksklusif, karena keyakinan itu adalah sistem, agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri-sendiri," ucap Abdushomad.

Lebih lanjut, Abdushomad menegaskan bahwa MUI Jatim sangat menjunjung tinggi toleransi antar agama, termasuk menghormati jika ada pejabat yang menggunakan salam sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Sehingga bentuk kerukunan tersebut bukan berarti harus menggunakan salam lintas agama yang menurutnya justru merusak ajaran agama.

"Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri, kalau dia agamanya Muslim ya assalamualaikum," ucap Abdushomad

"Tapi mungkin kalau gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu. Karena salam itu adalah doa dan doa itu ibadah, ini menyangkut Tuhan dan agamanya masing-masing," lanjutnya.

Lebih lanjut, Abdushomad menjelaskan bentuk kerukunan antar umat beragama bisa diwujudkan dalam bentuk lain.

"Kerukunan itu misalnya kalau ada kebanjiran atau gempa, kita harus tolong menolong, tanpa. tanya agama. Kalau ada kecelakaan kita tolong ndak usah tanya agama," ucapnya.

Berikut ini seruan MUI Jatim terkait salam lintas agama:

TAUSHIYAH MUI PROVINSI JAWA TIMUR TERKAIT DENGAN FENOMENA PENGUCAPAN SALAM LINTAS AGAMA
DALAM SAMBUTAN-SAMBUTAN DI ACARA RESMI

Bahwa akhir-akhir ini berkembang kebiasaan, seseorang dalam membuka sambutan atau pidato di acara-acara resmi sering kali menyampaikan salam atau kalimat pembuka dari semua agama.

Hal ini muncul dilandasi motivasi untuk meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama agar terjalin lebih harmonis sehingga dapat memperkokoh kesatuan bangsa dan keutuhan NKRI.

Namun demikian, mengingat bahwa ucapan salam mempunyai keterkaitan dengan ajaran yang bersifat ibadah, maka Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur merujuk pada rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat, perlu menyampaikan taushiyah dan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Bahwa agama adalah sistem keyakinan yang didalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah aqidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perebedaan antara agama satu dengan agama yang lain.

2. Dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang mempunyai semboyan Bhinneka tunggal ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.

3. Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama.

Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing fihak yang berbeda.

4. Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep "Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri" (QS. al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS. al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS. al-Ma'idah [8]: 8)

5. Jika dicermati, salam adalah ungkapan do'a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu.

Sebagai contoh, salam umat Islam, "Assalaamu'alaikum" yang artinya "semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian".

Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia.

Salam umat Budha, "Namo buddaya artinya terpujilah Sang Budha, satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama.

Ungkapan pembuka dari agama Hindu, "Om swasti astu" Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu "Sang Yang Widhi". Om" seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut.

Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga.

Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih artinya, "semoga Sang Yang Widhi mencurahkan
kebaikan dan kebahagiaan".

6. Bahwa doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah.

Bahkan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah.

Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do'a.

7. Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid'ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.

8. Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, "Assalaamu'alaikum. Wr. Wb." Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.

Demikian taushiyah atau pokok-pokok pikiran dari MUI Provinsi Jawa Timur.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved