Inilah Dampak Kenaikan PPN 11 Persen bagi Masyarakat, Tak Cuma Terjadi Peningkatan Harga Barang

Kenaikan PPN 11 persen dinilai bukan hanya secara langsung bisa meningkatkan harga barang yang dikonsumsi masyarakat. 

Editor: Ayu Mufidah Kartika Sari
TRIBUNMADURA.COM/SRI WAHYUNIK
Warga menunjukkan pecahan uang baru Rp 75.000 usai menukar di BI Jember, Kamis (20/8/2020). 

Belum lagi, akan ada ancaman peningkatan inflasi karena peningkatan harga-harga barang tersebut. 

Akan tetapi, Sri Mulyani memastikan peningkatan PPN ini tidak akan menjadi beban bagi masyarakat, terutama menengah ke bawah. Bahkan, ia melihat ini bisa menadi bantalan ekonomi bagi penduduk miskin. 

Hasil pendapatan pajak yang masuk ini nantinya akan digunakan untuk pembangunan dan tentu saja rakyat yang akan menikmati hasilnya, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, bahkan subsidi listrik dan subsidi energi lainnya. 

Pembangunan ini juga tak hanya dirasakan pada saat ini saja, tetapi akan dirasakan oleh generasi-generasi ke depan sehingga banyak yang akan merasakan manfaatnya. 

PPN Naik Jadi 11 Persen Menggerus Nilai Rupiah dan Daya Beli

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, inflasi masih jadi ancaman pemulihan ekonomi dunai, termasuk Indonesia. 

Menurut dia, tidak cukup kenaikan harga komoditas imbas perang, rencana kenaikan PPN menjadi 11 persen yang akan diterapkan pada 1 April 2022 dapat mengerek naik tingkat inflasi dalam negeri. 

"Pada akhirnya dirasakan langsung dampaknya di masyarakat, mulai dari tergerusnya nilai mata uang hingga menekan daya beli," ujar dia melalui risetnya, Selasa (22/3/2022). 

Dia mempertanyakan ketepatan waktu untuk menaikkan tarif PPN, karena di waktu bersamaan, objek pajak baru yaitu pajak karbon turut diberlakukan.

"Di mana, pajak tersebut dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar Rp 30 per ton Co2 atau setara yang akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," kata Nico.

Pajak karbon ini akan dikenakan pada saat pembelian barang yang mengandung karbon dan sebagai tahap awal akan dikenakan pada sektor usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

Di tengah gejolak harga komoditas, Nico menilai waktunya memang belum tepat untuk menaikkan tarif pajak baik PPN maupun pajak karbon. 

Hal ini bukan hanya membebani masyarakat, tapi juga para pelaku usaha yang kemungkinan besar dalam masa pemulihan aktivitas bisnis dan neraca keuangan pasca pandemi. 

Di sisi lain, rencana kenaikan pajak berpotensi semakin mendorong tren positif penerimaan negara. 

"Intervensi pemerintah dan kejadian luar biasa seperti krisis energi dan konflik Rusia-Ukraina mempercepat laju pemulihan ekonomi dalam negeri," ucap dia.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved