Berita Madura

Pengamat Hukum Sebut Penangguhan Penahanan Pasutri Korupsi PT. Sumekar 2019 'Tidak Tepat Penerapan'

Dua tersangka ini sebelumnya diperiksa oleh penyidik Kejari Sumenep selama 7 jam sejak pukul 15.00–22.00 WIB.

Penulis: Ali Hafidz Syahbana | Editor: Ficca Ayu
Istimewa/TribunMadura.com
Dua orang tersangka HM (66) dan SK (59) asal Kota/Provinsi Gorontalo sebagai tersangka korupsi pengadaan kapal cepat PT. Sumekar 2019. 

Hal itu sebagaimana salah satu persyaratan, yakni jika ada warga binaan baru yang akan dititipkan didalam prodeo Sumenep.

"Biasanya ada dokter yang diminta bantuan atau apalah itu untuk melakukan cek kesehatan dari masing-masing tersangka, itu sebelum ditahan dan akan memberitahukan apakah kondisi sehat atau tidak," katanya.

"Lho, kenapa baru beberapa hari masuk (tersangka pasutri) kemudian dilepas dengan alasan kesehatan, masa iya keduanya sakit? apa iya sakitnya sama, bukankah dipemberitaan sebelumnya kedua tersangka itu adalah pemilik perusahaan dan sama-sama mengelola perusahaannya itu, kan ini janggal," tandasnya.

Ditanya bagaimana soal pengembalian uang negara itu, pihaknya sampaikan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana (pasal 4 UU Tipikor).

Tetapi lanjutnya, apakah bisa melepas tersangka yang sudah ditahan dengan alasan telah menitipkan uang dan jaminan dari keluarganya dan penasehat hukumnya.

"Tapi ini bukan masalah uang, tipikor itu extraordinary crime, dengan  ancaman diatas 10 tahun. Nah, apakah bisa ditangguhkan dengan alasan jaminan uang titipan dan alasan kesehatan. Padahal jelas-jelas dia sehat diawal penahanan," tanya dengan nada heran.

Pengamat hukum yang tampak energik ini menambahkan, jika di Negara kita ini banyak undang-undang dan aturan-aturan hukum yang berlaku, salah satunya adalah UUD 1945 sebagaimana pada pasal  27 ayat 1 yang menjelaskan bahwa semua warga sama kedudukannya dimata hukum. Hal itu biasa kita sebut equality before the law.

Baca juga: Tiga Tersangka Korupsi Gedung Dinkes 2014 Ditahan Kejari Sumenep, Rugikan Uang Negara Rp 201 Juta

Jika melihat case ini katanya, apakah sudah sesuai semuanya, biar masyarakat saja yang menilainya kata pria murah senyum ini.

"Jika kembali lagi kecerita tersangka Safii,  itu sebelumnya pernah dibantarkan dirumah sakit sekitar 1 bulan sebelum meninggal dan dibantarkan lagi untuk yang kedua kalinya karena sakit hingga meninggal dunia didalam penahanan jaksa penyidik. Apakah itu dibenarkan, biarkan rumput yang bergoyang dan ilalang yang ditiup angin yang menjawab," tegasnya.

TribunMadura.com langsung mengkonfirmasi Kasi Intel Kejari Sumenep Moch Indra Subrata dan juga Kasi Pidsus Kejari Sumenep Dony Suryahadi Kusuma di kantor Kejari Sumenep.

Dony Suryahadi Kusuma mengungkapkan, bahwa berdasarkan Undang - Undang Pasal 31 Ayat 1 disampaikan itu menjadi kewenangan penyidik, kewenangan penuntut umum dan kewenangan hakim berdasarkan alasan - alasannya.

Maka, dengan berdasar Undang-Undang tersebut melakukan pembentukan tim, dan permohonan tim melakukan penangguhan berdasarkan surat keterangan sakit, yakni secara otomatis dari keterangan dokter spesialis.

"Kalau kemaren pada saat sebelum dilakukan penahanan, itu secara umum. Tapi ini dokter spesialis secara khusus," tutur Dony Suryahadi Kusuma.

Kalau pihaknya mengacu pada undang - undang 71, pasal 31 ayat 1 KUHAP.

"Nah sekarang saya nanya, cacat hukumnya dimana. Kan inu kewenangannya penyidik, hakim dan penuntut umum. Terus nyambung ke jaminan, yang melakukan penjaminan itu bukan penasehat huku (PH), tapi keluarganya. Dan tugasnya PH itu mendampingi pihak keluarga dalam melakukan permohonan," paparnya.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved