Berita Viral

Sosok Desida, Penulis Menderita Cerebral Palsy sejak Kecil, Tak Nyerah Menulis Pakai Kaki di Ponsel

Desida pantang menyerah menggapai impian menjadi penulis. Meski menderita cerebral palsy, dia tetap menulis di ponsel menggunakan kaki.

Kompas.com/Irwan Nugraha
Potret Desida Rohmatul Fadillah, penulis berusia 18 tahun yang menderita cerebral palsy. Dengan keterbatasan, dia terus menulis menggunakan kakinya. 

TRIBUNMADURA.COM - Keterbatasan tak menghalangi sosok penulis satu ini.

Meski telah menderita cerebral palsy sejak kecil, sang penulis tetap berkarya.

Tak ayal, dia menulis pakai kaki.

Tak hanya itu, selama ini dia menuangkan pemikirannya di sebuah ponsel.

Sosok penulis ini bernama Desida Rohmatul Fadillah.

Baca juga: Nasib Tragis Siswa di Gresik, Kecelakaan saat Berangkat Sekolah, Nyawa Tak Tertolong

Gadis berusia 18 tahun ini bermimpi menjadi penulis walau kondisi fisiknya tak sama seperti remaja-remaja kebanyakan.

Cerebral palsy yang diderita Desida membuat saraf motorik pada tubuhnya terganggu.

Remaja asal Gunung Kondang, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat ini memulai pendidikan dasarnya di sekolah umum dekat rumahnya, SDN Mangkubumi.

Namun, baru mengikuti pelajaran selama sepekan, Desida sudah diarahkan masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB), akibat kondisinya.

"Dede tak kuat mental, karena Dede beda jadi minder dan tersisih sama teman-teman," kata remaja yang dipanggil Sida ini saat ditemui Kompas.com, Selasa (14/11/2023).

Di SLB Bahagia di Jalan Karoeng, Kecamatan Kota Tasikmalaya inilah, Sida bertemu Pipih Suparmi yang menjadi guru pembimbingnya.

Menurut Sida, Pipih memiliki hati yang besar yang selalu memberikan motivasi dan inspirasi kepadanya tentang bagaimana cara menulis.

Meskipun harus berurusan dengan cerebral palsy, Sida menjadi semakin semangat belajar dan tak membuat kondisi fisiknya menjadi penghalang bagi kreativitasnya.

Selama ini, sang guru memberikan metode khusus dan membantunya mengatasi hambatan fisik.

Pipih pula yang memberi tahu bahwa kata-kata adalah alat yang kuat untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

"Dengan bimbingan Bu guru Pipih saya semakin semangat dan bertekad mengejar impian sebagai penulis."

Baca juga: Kisah Pilu Abu Saher Urus Ratusan Jenazah Korban di Gaza, Kondisi Jasad Tercerai, ‘Saya Kumpulkan’

Sosok Desida Rohmatul Fadillah, remaja 18 tahun yang bercinta-cita menjadi penulis.
Sosok Desida Rohmatul Fadillah, remaja 18 tahun yang bercinta-cita menjadi penulis. (Kompas.com)

"Meski saya berkarya membutuhkan waktu lama tak seperti para penulis dengan fisik normal," tambah Sida seraya menoleh ke arah sang ibu yang ada di sampingnya.  

Hingga akhirnya, Sida berhasil menulis cerita tentang kehidupan, mimpi, dan perjuangan, dalam setiap kata yang dituliskannya mendekati sebuah kenyataan.

Dengan jari jemari kakinya, Sida menulis di ponsel.

Dia mampu menyelesaikan sebuah buku dengan judul 'Si Gadis Cacat' dalam kurun sekitar sebulan.

Buku itu telah diterbitkan pada Juni 2023, oleh salah satu penerbit di Kota Bogor, Jawa Barat.

"Alhamdulilah ada yang mau menerbitkan cerpen Si gadis Cacat. Tulisan ini menceritakan Dede yang ingin menikmati dunia tanpa ada keterbatasan," sabut dia.

"Kalau Dede jalan jalan pasti dilihatin sama orang-orang, pasti dipandang sebelah mata."

Tak selesai di situ, Sida membeli buku karyanya sendiri seharga Rp 45.000 untuk dijual kembali seharga Rp 50.000-Rp 100.000.

Tentunya dengan kebanggaan dia menjual buku karyanya, demi mendapatkan keuntungan.

"Dari hasil penjualan buku itulah sedikit demi sedikit, Dede dapat membantu ekonomi orangtua," aku dia.

"Namun itu tidak berlanjut karena buku tersebut sudah tidak dicetak lagi sampai sekarang," tambah Sida.

Sida baru lulus dari SLB Bahagia beberapa bulan lalu, dan mengaku tetap bersemangat menuntaskan dua garapan cerpen lainnya.

Sida berharap kedua karyanya dapat diterbitkan kembali dalam sebuah buku, dan dapat dijual di toko buku, sehingga karya itu dapat dibaca dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

"Dede ingin bukunya dijual di Toko Gramedia, jadi banyak orang yang beli dan Dede bisa banyak uang untuk bantu mamah lunasi utang," kata dia.

"Soalnya, tinggal Rp 2 juta lagi, asalnya Rp 5 juta tapi sudah diangsur sedikit-sedikit," kata Sida.

Motivasi untuk membantu keluarganya bebas dari utang, menjadi pendorong utama bagi Sida.

Dia berniat membantu sang ibu yang selama ini berjuang membesarkannya.

Sida hidup dan tinggal bertiga di sebuah rumah sederhana, bersama sang ayah Suryana (64) dan ibu Nia Kurnia (52).

Sayangnya, kondisi sang ayah yang berpendidikan setara sekolah dasar tidak memiliki penghasilan tetap sejak tahun 2020.

"Ya abah-nya (panggilan Sida kepada ayahnya) keluar dari kerja di Jakarta karena sakit sesak napas, sempat dirawat di Jakarta dan akhirnya pulang, karena di Jakarta tak ada yang mengurus," tutur Nia.

Baca juga: Nasib Artis Cantik Tak Sadar Uang Ditilap Aspri, Total ‘Bisa Ngasih Makan Banyak Orang di Palestina’

Hingga kini, suaminya belum memiliki penghasilan tetap.

Kadang-kadang Suryana bekerja menjadi buruh bangunan -jika ada proyek.

Sementara Nia berjualan makanan cemilan kue kering keliling di sekitar kampungnya, dengan keterbatasan waktu untuk sambil mengurus anaknya.

Kondisi kesehatan Suryana pun membuat keluarga Sida terlilit utang.

Kisah inspiratif lainnya berasal dari siswi yatim piatu di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Setiap hari, dia harus menempuh perjalanan kaki 14 kilometer agar bisa menuntut ilmu di sekolah.

Tak hanya itu, siswi tersebut membuat kepala sekolahnya terkagum-kagum lantaran tak pernah terlambat datang ke sekolah.

Dengan segala keterbatasan, dia terus semangat bersekolah bahkan menjadi siswa unggulan.

Siswi tersebut bernama Leni yang masih berusia 15 tahun.

Tahun ini, dia menduduki bangku Sekolah Menengah Atas atau SMA.

Diketahui, Leni merupakan siswi SMA Negeri 1 Wangiwangi.

Kisahnya menyita perhatian lantaran tetap berprestasi di tengah keterbatasan yang dia miliki.

Untuk bersekolah, Leni harus berjalan kaki sepanjang 14 kilometer.

Dia juga masih mengenakan seragam SMP meski sudah menjadi siswi SMA.

Kendati demikian, Leni tak minder ataupun malu kepada teman-temannya.

Perihal berjalan kaki ke sekolah, Leni mengaku sudah melakukannya sejak sekolah dasar atau SD.

"Saya tidak minder dengan teman-teman lain.

Saya dari SD sudah berjalan kaki," kata Leni dilansir dari Kompas.com, Jumat (10/11/2023).

Leni rupanya memiliki cara sendiri agar ia tidak telat ke sekolah meski jarak dari rumahnya cukup jauh.

Baca juga: Nasib 3 Pembully Diduga Anak Polisi & DPRD, Dikeluarkan dari Sekolah, Sempat Klarifikasi ‘Bercanda’

Leni, siswi SMA di Wakatobi setiap harinya berjalan kaki 14 kilometer untuk ke sekolah.
Leni, siswi SMA di Wakatobi setiap harinya berjalan kaki 14 kilometer untuk ke sekolah. Pakai seragam SMP meski sudah duduk di bangku SMA.

Supaya tidak terlambat, Leni yang masuk siang, mulai berjalan kaki dari rumahnya di dusun Langgaha Baru, Desa Wungka, Kecamatan Wangiwangi Selatan, sekitar pukul 10.00 wita.

"Saya mulai pergi ke sekolah jam 10.00 Wita, tiba sekitar jam 12.00.

Kalau pulang jam 4 atau jam 5 (sore) tapi tiba di rumah sudah mau maghrib," ucap Leni.

Disisi lain, Kedua orangtua Leni sudah meninggal dunia sejak Leni masih di sekolah dasar, sehingga ia bersama kedua adiknya yang masih kecil.

Ditambah lagi sang paman kemudian meninggal dunia.

Leni dan kedua adiknya pun tinggal bersama dengan neneknya yang sudah lumpuh dan stroke.

Untuk memenuhi kebutuhan setiap hari, Leni saling bahu membahu dengan kedua adiknya dengan kerja jadi buruh bangunan dan Leni menjual kelapa.

Baca juga: Nasib Tragis Siswa di Gresik, Kecelakaan saat Berangkat Sekolah, Nyawa Tak Tertolong

Sementara itu, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Wangiwangi, Yuwono mengatakan, sejak awal masuk SMA, Leni menggunakan seragam SMP-nya.

"Maka kami dari guru bermaksud untuk mengumpulkan sedekah Jumat dan kami akan berikan pakaian seragam.

Kemudian teman-teman kelasnya dengan rasa iba mengumpulkan sumbangan dan sumbangan itu diberikan kepada Leni di rumahnya," kata Yuwono.

Yuwono menjelaskan, Leni termasuk anak yang cerdas dan pintar sehingga Leni ditempat di kelas unggulan di sekolahnya.

"Ia kalau ke sekolah tidak pernah terlambat.

Hanya kalau pulang, dia tiba di rumahnya sudah habis maghrib," ungkap Yuwono.

----

Berita Madura dan berita viral lainnya.

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunMadura.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved