Berita Bangkalan

Alasan Terdakwa Carok Viral Bangkalan Hasan-Wardi Tak Puas Terhadap Hasil Sidang: Pasal 340 dan 338

Masih ingat kasus carok yang pernah viral di Bangkalan? Kasus carok viral di Bangkalan sudah memasuki babak persidangan.

Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Januar
Istimewa
Dua terdakwa kakak adik, Hasan Basri (40) dan Wardi (35) telah menjalani sidang perdana carok viral di Pengadilan Negeri Bangkalan. 

Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol

TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN- Masih ingat kasus carok yang pernah viral di Bangkalan?

Kasus carok viral di Bangkalan sudah memasuki babak persidangan.

Namun, kedua terdakwa, yaitu Hasan Busri dan Wardi mengaku tak puas terhadap siding tersebut.

Apa alasannya?

Sidang pertama perkara carok di Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi dengan agenda pembacaan dakwaan digelar Pengadilan Negeri Bangkalan, Madura, Rabu (22/5/2024).

Dari total 24 kuasa hukum, sebanyak 14 kuasa hukum yang tergabung dalam DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Bangkalan hadir mendampingi dua terdakwa kakak adik, Hasan Basri (40) dan Wardi (35).

Kuasa Hukum sekaligus Sekretaris DPC PERADI Bangkalan, Moh Hidayat mengungkapkan, pihaknya akan terus memperjuangkan siapapun, bukan semata Hasan dan Wardi, tetapi masyarakat Bangkalan yang tidak mendapatkan keadilan atau diskriminasi.

“Tadi kita mendengar bersama terkait sidang pertama dengan terdakwa klien kami, Hasan dan Wardi."

"Dalam pembacaan dakwaan, klien kami tidak puas dengan pasal 340 dan 338 (KUHP),” ungkap Hidayat usai gelaran sidang.

Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan itu dipimpin langsung Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan, Erlina Widikartikawati.

Tampak hadir pula kakak kandung kedua terdakwa, serta sejumlah kerabat dari kedua terdakwa.

“Kami akan sampaikan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan dari jaksa penuntut umum."

"Menurut hemat kami selaku penasehat hukum, dakwaan itu sangat tidak jelas dan jauh dari fakta sebenarnya."

"Kami sudah menyusun strategi pembelaan dan poin-poin keberatan akan kami paparkan minggu depan,” pungkas Hidayat.

Hal senada diungkap Kuasa Hukum, Bachtiar Pradinata.

Menurutnya, kehadiran DPC PERADI Bangkalan bukan semata untuk mencari pihak yang benar atau salah.

Tetapi lebih kepada upaya meluruskan permasalahan hukum pada porsinya sehingga tidak berkembang opini berbeda dari fakta sebenarnya.

“Kami yakin jaksa penuntut umum termasuk maupun kami sebagai kuasa hukum dari terdakwa, datang bukan mencari benar atau salah."

"Melainkan mencari kebenaran materiil. Apakah surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum sudah sesuai dengan fakta tau tidak?,” tegas Bachtiar.

Proses sidang berjalan lancar, tidak terjadi kerumunan atau pengerahan massa.

Kendati demikian, pihak kepolisian menerjunkan sedikitnya 96 personel sebagai langkah antisipasi di bawah kendali Wakapolres Bangkalan, Kompol Andi Febrianto

Seperti diketahui, peristiwa carok tersebut terjadi pada 12 Januari 2024 malam sekitar pukul 19/00 WIB.

Beberapa menit kemudian, video-video peristiwa carok beredar masif di media sosial mulai Jumat malam sekitar pukul 19.45 WIB.

Dari tragedi berdarah itu, sebanyak empat orang meregang nyawa.

Empat korban itu berinisial NJR (42), warga Desa Larangan Timur, kemudian MHF (45), warga Desa Bumi Anyar, serta MTJ (45 ) dan MTD (26), warga Desa Larangan Timur Kecamatan Tanjung Bumi. Dua nama korban terakhir berstatus sebagai kakak beradik.

Satreskrim Polres Bangkalan kemudian menangkap Hasan Basri dan Wardi berikut sejumlah barang bukti di antaranya celurit dan pisau.

Kakak beradik itu ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan sejak 13 Januari 2024 lalu.

Dalam sidang pembacaan dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Hasan dan Wardi didakwa Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan hukuman seumur hidup atau Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

 


Sementara itu, seperti apa sejarah carok di Madura?

Begitu mendengar kata ‘Carok’, benak masyarakat sudah pasti menggambarkan sebuah peristiwa perkelahian menggunakan senjata tajam berupa celurit.

Namun sejatinya, dari sudut pandang sejarah budaya Madura disebutkan bahwa carok dilandasi persoalan harga diri, kesepakatan duel satu lawan satu, mendapat ‘restu’ dari keluarga kedua belah pihak, hingga tentang keikhlasan.

Hal itu dipaparkan Ketua Pusat Penelitian dan Inovasi Sosial Budaya Madura (LPPM) Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Iskandar Dzulkarnain.

Dosen Sosiologi UTM mengungkapkan, terjadinya carok kalau dilihat dari sudut pandang sejarah budayanya merupakan persoalan harga diri.

Hal itu diperkuat oleh hasil riset Latief Wiyata yang menyebutkan bahwa sebenarnya terjadinya carok itu 90 persen karena harga diri, persoalan perempuan, dan sudah ada perjanjian antara kedua belah pihak. Sisanya karena harga diri tentang persoalan perebutan lahan seperti tanah.

Namun saat ini, lanjutnya, telah terjadi pergeseran yang sangat jauh sehingga berujung tindakan kriminal. Seperti kemarin empat lawan satu, sebenarnya bukan carok tetapi lebih kepada persoalan kriminal, dendam-dendam berujung tindakan kriminal menggunakan senjata tajam.

“Carok bukan lagi persoalan harga diri, tetapi nuansanya lebih ke persoalan politik bahkan hanya sekedar perebutan kekuasaan. Fenomena carok sekarang dilakukan dari belakang, bergerombol membunuh satu orang. Dari perspektif sejarah budaya Madura, itu sebenarnya bukan definisi carok,” ungkap Iskandar kepada Tribun Madura, Selasa (16/1/2024).

Ia menjelaskan, ada kepercayaan masyarakat Madura jaman dulu bagi pihak yang salah dan akhirnya kalah dalam duel carok maka tidak ada dendam.

Namun jika pihak yang benar ternyata kalah dengan posisi wajah menghadap ke atas, anak laki-laki atau saudara laki-laki dari pihak yang benar namun kalah harus melakukan balas dendam.

Dan apabila pihak yang benar meninggal dengan wajah menghadap ke bawah atau dengan tubuh tersungkur, itu berarti sudah ikhlas dengan kekalahannya.

Pihak pemenang dan benar akan mengantar jenazah lawan ke rumah keluarga pihak yang kalah, disitulah keikhlasan maksudnya. Di situ akhirnya muncul rasa kebanggan bahwa dia berada di pihak yang benar dan menang,

Iskandar memaparkan, apabila pihak yang salah kemudian kalah dalam carok kemudian jenazahnya diantar oleh pihak yang benar dan menang ke rumah keluarganya, itu sudah menjadi hal yang sudah biasa. Keluarga dari pihak yang salah menerima dengan ikhlas, arahnya lebih ke perilaku sportif. Hanya saja sekarang arahnya lebih dikriminalkan, akhirnya siapapun yang bawa senjata tajam akhirnya dianggap tindakan kriminal.

“Orang yang melakukan carok itu sudah siap semuanya, mulai bekal secara keilmuan, bekal keluarga mengikhlaskan dia ‘berperang’ karena ada rasa malu di keluarga. Kenapa rasa malu itu muncul, karena di Madura itu pola pemikirannya Tanean Lanjeng, itu erat juga juga kaitannya,” paparnya.

Konsep Tanean Lanjeng atau halaman panjang, lanjut Iskandar, merupakan sebuah konsep pemikiran masyarakat Madura yang menekankan setiap anak perempuan Madura yang sudah menikah harus menetap di rumah orangtua atau dibuatkan rumah di samping rumah oleh orang tua. Artinya pihak pria ikut menetap di rumah isteri, berbeda dengan Jawa di mana perempuan yang ikut lak-laki ketika sudah menikah.

Akhirnya terbentuklah konsep tanean lanjeng atau halaman panjang komplek keluarga dengan satu buah langgar atau mushola. Di situlah kenapa setiap rumah di Madura terdapat satu bangunan langgar atau mushola.

Iskandar menjelaskan, setiap tamu yang berkunjung memang tidak boleh langsung masuk ke rumah inti. Langgar atau mushola selain tempat ibadah juga sebagai tempat untuk tamu dengan harapan menghindari terjadinya perselingkuhan atau main mata.

“Ketika seorang perempuan ‘dinistakan’, di situlah perasaan malu atau aib bukan hanya ditanggung suami namun sudah mengusik harga diri keluarga besar. Jadi para anak perempuan meski sudah menikah harus kumpul dengan orang tua, tidak lepas. Karena itu, carok hingga saat ini masih kuat terjadi meski sudah jauh mengalami pergeseran dari arti sebenarnya,” tuturnya.

Disinggung terkait perihal apa saja yang bisa mengikis fenomena carok?, Iskandar menyebutkan peran kiai sangatlah kuat dalam memberikan pemahaman bahwa membunuh orang baik itu dalam asumsi benar atau salah merupakan tindakan yang tetap perlu dipersalahkan atau merupakan tindakan berdosa.

Pemerintah, lanjutnya, juga mempunyai peran besar untuk menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan. Apabila derajat pendidikan di Madura masih rendah dan masih banyak masyarakat buta aksara dan kemudahan mendapatkan akses informasi terkait pelanggaran hukum masih sangat terbatas, maka berakhirnya fenomena terjadinya kekerasan menggunakan sajam tidak akan pernah berakhir.

“Sehingga yang terjadi, melakukan pembunuhan itu masih dianggap sebagai tindakan kriminal biasa, padahal itu bisa dipenjara seumur hidup. Peran aparat kepolisian, kejaksaan, dan hakim juga harus diperkuat. Bukan kemudian ada main mata terkait vonis hukuman yang menyebabkan indeks kepercayaan terhadap APH (aparat penegak hukum) menurun. Sehingga kekerasan akan terus berulang,” pungkasnya.

Seperti diketahui, peristiwa perkelahian menggunakan sajam jenis celurit melibatkan 4 orang melawan dua orang terjadi di Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi pada Jumat (12/1/2024) sekitar pukul 18.30 WIB.

Dari peristiwa itu, tiga orang meninggal dunia di lokasi kejadian dan satu orang meregang nyawa saat perjalanan menuju puskesmas. Satreskrim Polres Bangkalan menetapkan kakak beradik sebagai tersangka, HB (40) dan WD (35), warga Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi. Keduanya dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman pidana penjara seumur hidup.

Setelah peristiwa berdarah itu, Polres Bangkalan berupaya meredam situasi dengan menerjunkan sejumlah personel gabungan yang terdiri dari anggota polsek, polres, hingga dukungan personel Polda Jatim. Dengan harapan tidak terjadi aksi balas dendam dari kedua belah pihak.

Kapolsek Tanjung Bumi, AKP Fery Riswantoro mengungkapkan, sedikitnya tiga banner bertulisan pesan imbauan, ‘Hilangkan Budaya Membawa Sajam, Membawa Sajam Tanpa Izin Dikenakan Pidana Hukuman 10 Tahun Penjara’ dipasang di tiga titik. Meliputi Jalan Raya Desa Tanjung Bumi, Desa Bumi Anyar, dan Desa Banyusangkah.

“Kami juga menggelar razia tadi malam dengan sasaran sajam, bahan peledak, hingga narkoba sebagai upaya cipta kondisi. Apalagi sekarang momen pemilu,” singkat Fery kepada Tribun Madura.

Sebelumnya kasus carok di Bangkalan membuat geger publik.

Andai saja, HB (40), warga Desa Bumi Anyar menuruti larangan orang tuanya, tragedi carok di Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi pada Jumat (12/1/2024) sekitar pukul 18.30 WIB tidak pernah terjadi.

Namun nasi sudah menjadi bubur, empat orang meregang nyawa; tiga tewas di lokasi kejadian dan seorang korban lainnya menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke Puskesmas Tanjung Bumi.

HB kini ditetapkan sebagai tersangka bersama adiknya, WD (35).

Malam itu, keduanya terlibat perkelahian bersenjata tajam jenis celurit atau yang dikenal dengan sebutan carok.

Kedua kakak beradik itu kini mendekam di balik jeruji tahanan Polres Bangkalan.

“Orang tua tidak tahu saya berhadapan dengan siapa, saya hanya bilang punya masalah."

"Ibu melarang saya (kembali ke TKP),” ungkap tersangka HB di hadapan Kapolres Bangkalan, AKBP Febri Isman Jaya.

Namun, tersangka HB yang mengaku pernah belajar silat saat merantau di Kalimantan tetap bersikukuh kembali ke TKP terjadinya cekcok dengan korban MTJ.

Berbekal masing-masing satu buah celurit, kakak beradik itu tiba di TKP.

Seperti diberitakan sebelumnya, tersangka HB pulang untuk mengambil celurit hingga bertemu dengan adiknya, tersangka WD setelah ditantang duel oleh korban MTJ.

Sempat juga terjadi cekcok antara tersangka HB dan korban MTJ di pinggir jalan.

“Kone’eh gemanah kakeh (ambil senjatamu),” kenang HB menirukan tantangan MTJ.

Korban MTJ disebut tersangka HB sebagai pelatih silat dan penjaga tambak.

Di tengah peristiwa cekcok, tersangka HB sempat menerima beberapa pukulan dari korban MTJ.

Sementara adik korban, MTD disebut tersangka mengeluarkan sebilah celurit.

“Jek ngal-bengal nyapah engkok (kok beraninya menyapa saya),” tutur tersangka HB menirukan perkataan korban MTJ.

Tersangka HB mengaku dalam keseharian tidak mengenal korban, hanya sebatas tahu terhadap sosok korban MTJ.

Sementara korban MHF diakui tersangka masih keluarga jauh.

“Ketika (celurit) saya patah, saya ambil punya MTJ yang tubuhnya sudah ambruk, lanjut (carok) dengan yang lain,” pungkas tersangka HB.

Patahan gagang celurit milik HB dijadikan salah satu barang bukti dari peristiwa carok itu.

Polisi juga menyita satu buah celurit tanpa selongsong yang masih terdapat bercak darah, kemudian satu buah celurit beserta selongsongnya, serta pisau lengkap dengan selongsong, dan satu buah jaket berbahan jeans milik tersangka HB.

Sementara tersangka WD mengaku bahwa dirinya bertemu dengan kakaknya, HB ketika hendak mengambil celurit.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung tancap gas membonceng HB menuju TKP cekcok dengan korban MTJ.

Tubuh kedua kakak beradik itu tidak mengalami luka.

Kapolres Bangkalan, AKBP Febri Isman Jaya mengatakan, sebelum peristiwa carok pecah pelaku sempat terlibat cekcok karena ditegur oleh korban saat mengendarai sepeda motor karena dianggap laju motor terlalu kencang dan sorot lampu mengenai mata korban.

“Pelaku ditantang korban dengan kalimat, kalau kamu berani pulanglah ambil senjata."

"Ternyata pelaku meladeni dan pulang ambil dua buah celurit, di tengah perjalanan bertemu saudaranya dan mengajak ke TKP,” ungkap Febri di hadapan insan jurnalis.

Saat mengambil dua buah celurit itulah, lanjut Febri, tersangka HB juga sempat meminta izin kepada orang tua namun dilarang.

“Sebenarnya orang tua melarang, tidak usah pergi. Tetapi pelaku tetap memaksa untuk kembali ke TKP,” pungkas Febri.

 


Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved