Berita Surabaya

RESMI, Wali Kota Eri Cahyadi Larang SD-SMP Negeri di Surabaya Wisata dan Wisuda: Merusak Jiwa Anak

Pemkot Surabaya menegaskan larangan sekolah di Surabaya, khususnya SD dan SMP negeri di Kota Pahlawan,

Penulis: Bobby Koloway | Editor: Januar
TribunMadura/ Bobby Constantine Koloway
RESMI, Wali Kota Eri Cahyadi Larang SD-SMP Negeri di Surabaya Wisata dan Wisuda: Merusak Jiwa Anak 

Laporan wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Koloway

TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Pemkot Surabaya menegaskan larangan sekolah di Surabaya, khususnya SD dan SMP negeri di Kota Pahlawan, menggelar wisata dan wisuda di akhir masa sekolah. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi juga melarang sekolah untuk menarik pungutan demi menunjang kegiatan tersebut.

"Kalau di sekolah negeri sudah saya, istilahnya "haramkan", untuk wisuda. Saya sudah tidak perbolehkan lagi ada wisuda di SD dan SMP negeri ketika dia itu meminta biaya kepada muridnya," kata Cak Eri di Surabaya.

Kebijakan tersebut telah berlaku sejak 2015 lalu. "Sudah sejak lama Pemkot Surabaya melarang SD dan SMP Negeri menggelar acara wisuda maupun wisata. Kita ingin mengajak kepala sekolah, guru, dan orang tua untuk peduli dengan orang-orang di sekelilingnya. Tidak semua anak mampu secara ekonomi untuk ikut merayakan kelulusan dengan wisuda," kata Cak Eri yang juga mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini.

Apalagi, kegiatan ini menimbulkan pungutan kepada orang tua yang cenderung memberatkan. Apabila siswa yang tak ikut dalam kegiatan akan kecil hati.

"Kita bukan melarang kegembiraan, tapi agar tidak ada siswa yang kecewa karena keterbatasan biaya. Acara wisuda bisa diganti doa bersama, kemudian saling berpamitan memohon doa restu ke Bapak/Ibu guru kita," kata bapak dua anak ini.

Sekalipun sekolah tidak mewajibkan, namun program wisuda dan wisata akan cenderung menimbulkan kesenjangan antar siswa. 

"Itu yang selalu saya katakan. Jangan pernah alasan menggunakan wisuda, [sekolah meminta] yang mampu silakan membayar, yang tidak mampu tidak usah membayar. Tetapi, memaksa anaknya untuk membayar. Itu sama saja merusak jiwa anak-anak. Akhirnya terjadi bully gara-gara itu," kata Doktor Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) ini.

Karenanya, apabila larangan ini dilanggar maka Pemkot tak segan memberikan sanksi kepada guru maupun kepala sekolah negeri. "Kalau sampai ada, saya tegur kepala sekolahnya, saya beri sanksi [untuk] gurunya. Itu kalau ada di sekolah negeri," katanya.

Beda halnya apabila sekolah akan menggelar wisuda atau wisata dengan menggunakan anggaran di luar iuran wali murid, misalnya donasi dari pihak tertentu. Menurut Wali Kota, hal itu bisa dilakukan.

Lantas bagaimana dengan sekolah-sekolah swasta? Wali Kota Eri mengatakan larangan ini masih berupa imbauan. Mengingat, lembaga swasta berada di luar kewenangan Pemkot. "Kalau di sekolah swasta, lebih bersifat imbauan. Sebab, swasta di luar kewenangan saya (Pemkot)," tandasnya.

"Wisuda sekolah memang jadi salah satu momen yang menggemberikan atau bahkan dinanti oleh anak-anak kita. Tapi, sejatinya esensi dari sebuah pendidikan bukan soal euforia kelulusan tiap akhir tahun pelajaran. Yang paling penting adalah bagaimana anak-anak kita tumbuh dengan karakter terbaik di tengah lingkungannya," ujar Wali Kota Eri.

Larangan sekolah untuk menggelar wisuda dan wisata menjadi diskusi masyarakat setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan larangan kegiatan wisuda atau perpisahan di tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA atau sederajat. Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) nomor: 42/PK.03.04/KESRA yang disebarkan ke seluruh satuan pendidikan yang ada di Jabar yang dikeluarkan 30 April 2025.

Dalam SE itu disebutkan seluruh sekolah PAUD, SD, SMP, SMA/SMK diminta tidak menyelenggarakan wisuda/perpisahan dan kegiatan yang bersifat seremonial dengan biaya tinggi. Namun, Pemprov Jabar memperbolehkan sekolah untuk menyelenggarakam wisuda/perpisahan apabila tidak menimbulkan beban biaya kepada orang tua/wali siswa.

Hal ini mendapatkan dukungan dari Ombudsman. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana, mengakui, penyelenggaraan wisuda yang mengharuskan orang tua siswa mengeluarkan biaya berpotensi maladministrasi. 


Hal serupa juga terjadi di Bangkalan. 

Dinas Pendidikan Bangkalan melarang momen pelepasan siswa berkonsep wisuda layaknya sarjana.

Pemakaian toga dalam wisuda melambangkan pencapaian, pengakuan, dan transisi ke fase baru bagi mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikan tinggi.

Sakralnya pemakaian pakaian toga sebagai simbol dari puncak perjalanan akademik mahasiswa itu hanya digelar oleh lembaga pendidikan tinggi atau universitas, bukan lembaga pendidikan tingkat SD hingga SMP.

Penegasan akan pentingya arti pemakaian toga itu tersirat dalam keterangan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Bangkalan, Moh Yakub sebagai imbauan kepada para kepala SD hingga SMP menjelang momen kelulusan siswa.

“Tidak boleh menggunakan toga karena itu bukan S1 (Sarjana) atau mahasiswa."

"Jadi pelepasan cukup dilaksanakan dengan tasyakuran dan juga doa bersama, karena sudah lulus dari satuan pendidikan,” tegas Yakub, Rabu (7/5/2025).   

Sekedar diketahui, siswa SD kelas VI untuk saat ini sedang menempuh tahapan ujian akhir semester setelah melewati ujian jenjang dan ujian praktek.

Momen kelulusan biasanya digelar pada awal Bulan Juni.

Yakub menjelaskan, untuk pelaksanaan pelepasan siswa SD hingga SMP sebagaimana instruksi Kementerian Pendidikan itu bukan sebuah kegiatan yang wajib.

Karena itu, pelaksanaan kegiatan pelepasan siswa cukup digelar dalam bentuk sederhana.

“Dalam bentuk sederhana seperti pelepasan yang dilakukan melalui tasyakuran dan doa bersama di lembaga masing-masing."

"Itu pun tidak boleh memberatkan kepada wali murid dan orang tua masing-masing siswa,” pungkas Yakub.

 


Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved