"Ini juga saran dari keluarga agar produk tempe saya ini mudah diingat. Dan ternyata benar, tempe saya mulai laris," kata Jarwo.
Ia juga mengaku bangga tempenya bisa go international.
Apa yang sudah dicapainya saat ini, Jarwo berharap mampu mengangkat martabat warga Dolly menjadi lebih baik.
"Omzet saya dalam satu bulan sekitar Rp 10 juta sampai Rp 18 juta," katanya.
Jarwo menambahkan, mulai besok sampai 21 Juni 2019 ia menggelar open house bagi warga yang ingin belajar memproduksi tempe di rumah produksinya.
Brand storytelling
KPS Magister Manajemen Unair Dr Gancar C Premananto menyampaikan, storytelling for branding yang dilakukan Jarwo Susanto ini menjadi hal penting.
Karena kalau tidak ada cerita, konsumen tidak memiliki kedekatan dan konsumen tidak memiliki ikatan emosional dengan suatu produk.
"Kalau kita membuat cerita, kita akan mudah mengetahui siapa pembuatnya dan apa yang menarik di balik itu.
Cerita dari Bang Jarwo juga mengangkat branding produk tempenya," ujarnya.
Jarwo Susanto, kata dia, bisa menjadi pemelajaran karena telah memunculkan manajemen spiritual TOB, yakni Tuhan, orangtua, berbagi dan belajar.
Meski saat membuka warung kopi Jarwo mampu menghasilkan omzet Rp 45 juta per bulan, pendapatan itu tidak berkah.
Karena itu, urusan yang penting dalam usaha adalah urusan dengan Tuhan untuk mendapat kebahagiaan.
"Kisah Bang Jarwo juga mendapat ridho orangtua dan hubungan dengan ibunya. Doa dari ibu tadi menjadakan Bang Jarwo dapat hidayah dan insaf," ujarnya.
Selain itu, Jarwo juga rajin berbagi kepada siapa pun, terutama dalam memproduksi tempe.
Kemudian Jarwo terus belajar untuk membuat inovasi baru untuk produksi tempe agar usahanya bisa terus maju dan berkembang.
Berita diatas sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Kisah Jarwo Susanto: Dulu Tolak Penutupan Dolly, Kini Sukses Jadi Pengusaha Tempe