Kondisi sekolah di Kabupaten Pamekasan ini memprihatinkan, siswa belajar beralas semen
Laporan Wartawan TribunMadura.com, Kuswanto Ferdian
TRIBUNMADURA.COM, PAMEKASAN - Sarana dan prasarana merupakan komponen penting dalam menunjang proses belajar mengajar di sekolah.
Sarana dan prasana pendidikan merupakan satu di antara sumber daya yang menjadi tolok ukur mutu sekolah.
Namun, kondisi pendidikan di Kabupaten Pamekasan, Madura, masih belum merata.
• Jauh-Jauh Datang dari Madura, Wanita ini Bongkar Perselingkuhan Suaminya dengan Bidan di Kamar Hotel
• Diam-Diam Masuk ke Rumah saat Dini Hari, Pria Misterius Teror dan Meraba Perempuan yang sedang Tidur
Seperti yang dialami lembaga pendidikan Misbahus Sudur di Dusun Aeng Nyonok, Desa Banyupelle, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan.
Sejumlah siswa Misbahus Sudur tidak merasakan sarana dan prasarana, seperti sekolah pada umumnya.
Pantauan TribunMadura.com, ruang kelas siswa beralas semen, berdinding gedek bolong, beratap genting merah, dan berpenyangga kayu yang hampir lapuk.
Mirisnya, ruang kelas tempat mereka belajar berhadapan dengan pemakaman umum warga setempat.
Bahkan pemakaman umum itu seringkali menjadi tempat para siswa-siswi tersebut bermain ketika jam istirahat.
• Tahanan Lapas Kelas IIB Tulungagung Meninggal Dunia, Tewas setelah 30 Menit Dirawat di Rumah Sakit
• Kronologi Mayat Wanita Ditemukan Terkunci dalam Mobil Plat Merah di Dinas Sosial Tuban, Terekam CCTV
Bel kelas yang menjadi penanda jam istirahat, memakai pelek mobil bekas, yang digantung pada batang pohon mangga.
Di ruang kelas, juga tak terlihat bangku dan meja sama sekali, sehingga siswa belajar dengan duduk bersila dengan alas berlantai semen.
Kepala Sekolah Lembaga Misbahus Sudur, Ramo (48) mengatakan, jumlah siswa yang mengenyam pendidikan di lembaga tersebut sebanyak 119 siswa.
Di lembaga itu, terdapat enam kelas yang terdiri dari jenjang pendidikan RA, MI, dan TPA.
Ketiga jenjang pendidikan itu pun dijadwalkan berbeda.
• BREAKING NEWS: Mayat Perempuan Ditemukan Terkunci di Mobil Plat Merah di Kantor Dinas Sosial Tuban
• Terungkap Misteri Wanita Tewas di Mobil Plat Merah, CCTV Rekam Aksi Korban Sempat Menggedor Jendela
RA dan MI dari pagi sampai sore, sedangkan TPA dijadwalkan malam hari karena keterbatasan kelas dan keterbatasan tenaga pendidik.
"Guru di sini totalnya ada 16, dan dari jumlah itu dibagi ngajarnya, di bagi enam kelas," katanya saat ditemui TribunMadura.com ketika selesai mengajar, Senin (23/9/2019).
Ramo menceritakan, sejak ruang kelas itu berdiri sekitar tahun 1983, mulanya alas yang menjadi tempat duduk siswanya belajar tidak di semen.
Jadi para siswa yang mengenyam di lembaga tersebut merasakan belajar dengan alas tanah.
Hingga sekarang, para siswanya ketika sedang belajar hanya duduk di bawah dengan cara bersila.
• Catat! Ini Syarat Pengembalian Barang Bukti Kendaraan yang Hilang pada Gebyar Expo Polda Jatim
• Polda Jatim Gelar Gebyar Expo Pengembalian Barang Bukti Hasil Kejahatan, Catat Tanggal dan Tempatnya
Sebab di ruang kelas itu tidak ada mejad dan tempat duduk seperti sekolah pada umumnya.
"Alas yang menjadi tempat duduk mereka ini baru di semen 2017," ujarnya.
"Kalau kondisi bangunannya ini tetap seperti ini. Cuma ada penambahan semen saja di bagian lantainya, supaya siswa kalau belajar tidak terkena debu," sambung dia.
Ramo juga mengutarakan, pernah suatu waktu, dirinya mengajar tiba-tiba diterpa hujan lebat.
Karena atap genting dan dinding gedek yang saat itu kondisinya bocor, air hujan masuk seketika, lalu membanjiri seluruh ruang kelas.
• Warga Pamekasan Blokir Jalan Truk Pengangkut Pasir, Protes Pembangunan Plengsengan Mantan Kades
• Syamsul Arifin Sebut Ada 99 Advokat yang Siap Dampingi Proses Hukum Mantan Menpora Imam Nahrawi
"Kalau hujan ditaruk di Musalla. Saya ngajar saat itu musim hujan, saat pelajaran berlangsung tiba-tiba hujan lebat turun, ya akhirnya airnya masuk ke dalam ruang kelas," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Baju kami semua basah, lalu dengan sendirinya semua siswa keluar berhamburan berteduh di musala," sambung dia.
Ramo mengaku pernah berdiskusi dengan semua wali murid untuk membicarakan terkait sarana dan prasana sekolah agar lebih baik demi menunjang nyamannya dalam pembelajaran.
Namun dari pihak sekolah memahami, jika rata-rata dari para wali murid yang sekolah di lembaga itu terbilang tidak mampu.
"Gak enak juga yang mau minta uang karena kami melihat, rata-rata dari para wali murid itu tidak mampu," ungkapnya.
• Kebakaran Hutan di Gunung Semeru, Dua Titik Api Berpotensi Kembali Menyala Meski Berhasil Dipadamkan
Ditanya mengenai biaya, semua siswa yang mengenyam pendidikan di lembaga tersebut digratiskan, termasuk seragam, kopyah, buku dan fasilitas sekolah lainnya.
Sebab biaya siswa yang mengenyam di lembaga itu dapat dana 'Bantuan Operasional Sekolah (BOS)'.
"Kelas ini ditempati mulai tahun 1990, dan sampai sekarang tidak pernah direhap karena tidak ada dana. Selain itu tidak ada bantuan juga dari pemerintah," ucapnya.
Ramo mengaku, prihatin melihat kondisi bangunan ruang kelas yang sudah tampak reyot serta dinding bolong-bolong.
Apalagi katanya banyak siswanya yang sering mengeluh kepanasan dan kelasnya tidak enak.
• Daftar Lengkap Nama 45 Anggota DPRD Kabupaten Madiun Periode 2019-2024 dan 4 Pimpinan Dewan
"Keinginan saya supaya ada bantuan dari pemerintah untuk melakukan perbaikan di ruang kelas ini," harapnya.
Disinggung mengenai honor, Ramo mengungkapkan setiap guru honorer di lembaga itu dibayar Rp 20 ribu per datang ke lembaga.
Namun, bagi guru honorer yang jarak tempuh rumahnya jauh untuk menuju lembaga itu ada tambahan bantuan biaya transportasi dari pihak lembaga sebesar Rp 7 ribu.
"Rata-rata siswa masyarakat disini. Ya semoga pemerintah daerah lebih peduli dengan keberadaan para siswa di sini yang semangat belajar," pintanya.
Sedangkan perintis lembaga Misbahus Sudur, Nasiruddin (64) mengatakan, mulanya lembaga itu berdiri tahun 1986 dan sempat pindah lokasi tiga kali yang tak jauh dari desanya.
• Deretan Aksi Unjuk Rasa Mosi Tidak Percaya yang Bakal Digelar di Jawa Timur Soal Revisi UU KPK
Alasan lembaganya berpindah-pindah karena bangunannnya yang reot dan ambruk.
Selain itu lembaga tersebut didirikan untuk menunjang dan memberikan ruang belajar bagi warga di desanya yang tidak punya biaya.
"Saya meneruskan dan merintis lembaga ini dari abah saya. Selama lembaga ini berdiri ya kondisi ruang kelasnya seperti yang sampeyan lihat," katanya.
Pria empat belas anak itu berharap, lembaganya dapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
Ia menginginkan lembaga yang layak seperti sekolah pada umumnya dengan berbagai fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang dan mendukung perkembangan siswanya dalam belajar.
"Kalau saya inginnya mau merehab ruang kelas itu. Karena siswa sudah banyak yang mengeluh. Tapi dananya masih belum ada," tandasnya.
• Ribuan Mahasiswa Gelar Unjuk Rasa Bertepatan dengan Pelantikan 4 Pimpinan Definitif DPRD Kota Malang