"Artinya saya tidak mengurusi Surabaya sebagai Wuhan atau sebagai zona hitam, pekat atau gelap atau enggak kelihatan."
"Yang saya urusi pasien dan warga saya," katanya.
Menurut Risma, lebih penting dari urusan itu adalah keselamatan warganya.
"Bagi saya keselamatan warga saya itu nomor satu."
"Jangankan risikonya, kena saya itu saya terima."
"Bagi saya warga saya dan pasien lah yang saya tangani."
"Mau dikatakan Surabaya seperti apa, monggo."
"Saya juga enggak pernah nyebut Surabaya seperti apa."
"Yang paling penting saya tangani pasien dan warga saya. Supaya tidak ada yang jadi korban."
"Iya kalau saya terlambat, kalau kemudian ada yang meninggal, dia menjadi anak yatim. Kan berat saya."
"Saya mending konsentrasi di sini."
"Kan jadi energi kami habis untuk melakukan itu."
"Padahal pasien-pasien ini butuh pertolongan," tegasnya.
Saat disinggung terkait hasil penelitian FKM Unair yang menjadi rujukan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, bahwa tingkat kepatuhan warga Surabaya Raya pada protokol pencegahan Covid-19 rendah, Risma langsung menampiknya.
"Mohon maaf, Mbak, coba dicek lagi, penelitian itu untuk mana. Bukan untuk Surabaya."