Daftar PTSL, Mbah Walem Syok Tanahnya Sudah Bersertifikat Atas Nama 'Waheti'

Walem (57) warga desa Pamulihan, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah, terkejut mengetahui tanah miliknya beralih nama kepemilikan ke orang lain.

Editor: Taufiq Rochman
Kompas.com/ Tresno Setiadi
PENYEROBOTAN TANAH - Walem (57) dan suaminya Tarhawi (65) warga Desa Pamulihan Kecamatan Larangan, Brebes menunjukkan bukti pembayaran pajak tanah miliknya yang berada di desa Cikeusal Lor, Kecamatan Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah yang setiap tahun dibayarkan, Rabu (1/10/2025). 

TRIBUNMADURA.COM - Walem (57) warga desa Pamulihan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terkejut mengetahui tanah miliknya beralih nama kepemilikan ke orang lain.

Sekitar 30 tahun lalu, Walem mendapat warisan dari ayahnya berupa tanah seluas 7.226 meter persegi di Desa Cikeusal Lor, Kecamatan Ketanggungan, Brebes.

Walem kemudian menjual sebagian tanah warisan itu kepada saudaranya, Riyono, Suhanto, dan Toro yang juga warga desa Pamulihan.

Tanah warisan itu belum bersertifikat hak milik (SHM), hanya berupa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) atas nama satu bidang tanah.

Lantas Walem dan saudaranya membuat patok pembatas di tanah masing-masing setelah jual beli.

Mereka pun bersama-sama mendaftar program PTSL dengan biaya Rp 250 ribu.

Tak lama kemudian, panitia PTSL bersama petugas ATR/BPN Brebes mengecek lokasi tanah untuk pengukuran.

Saat itu, petugas menyebut tanah tersebut sudah pernah diukur.

"Di lokasi petugas BPN bilang, tanah ini pernah diukur."

"Kita juga janjian ke Kantor BPN, dan setelah dicek saya kaget luar biasa, sudah ada sertifikat atas nama orang lain," kata Walem kepada wartawan di rumahnya, Rabu (1/10/2025).

Menurut Walem, kini tanah warisan tersebut sudah bersertifikat atas nama Waheti dengan Nomor Hak Milik 00904 yang diterbitkan tahun 2025 oleh Kantor ATR/BPN Brebes.

"Saya tidak kenal Waheti itu siapa, orang mana. Sama sekali tidak kenal. Tanah saya tiba-tiba berubah nama," ujarnya.

Pernah Menolak Jual ke Calo

Walem menambahkan, tanah miliknya masuk kawasan pembebasan lahan untuk Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Brebes.

Meski kerap didatangi calo, ia menolak menjual lahannya.

"Saya itu tidak pernah mau jual tanah. Ini tanah sawah saya untuk ditanami padi. Calo-calo itu banyak yang membujuk supaya saya menjualnya, tapi saya tidak mau dijual."

"Tapi tiba-tiba tanah saya berubah nama," ujar Walem.

Walem kemudian menanyakan hal tersebut kepada seorang calo bernama Dartam alias Nursidik.

Ia terkejut setelah mendengar pengakuan Dartam.

"Saat kita datangi rumahnya, Dartam itu sudah mengaku telah mengukur tanah saya bersama petugas BPN dan tanpa sepengetahuan saya. Yang akhirnya tiba-tiba berubah nama," kata Walem.

Dikonfirmasi terpisah, Dartam alias Nursidik menyebut persoalan itu lebih jelas ditanyakan ke notaris.

"Kami sebagai mediator lapangan cuman menunjukan lahan. Dan saya kemarin sudah koordinasi sama petugas ukur. Saya minta ketemu di notaris biar lebih jelas," kata Dartam lewat pesan singkat.
Kades Juga Kaget

Kepala Desa Cikeusal Lor, Irwan Susandi, juga mengaku kaget. Dari hasil pengecekan buku induk desa, tanah tersebut tercatat masih milik Walem.

"Kami juga kaget kenapa bisa terbit sertifikat atas nama orang lain. Karena tidak ada orang yang melakukan pengajuan untuk pembuatan sertifikat."

"Harusnya memang ke pemerintah desa dulu, baru ke notaris atau PPAT," kata Irwan.

Sementara itu, Kasubag Tata Usaha atau Humas Kantor ATR/BPN Brebes, Tribudi, mengatakan pihaknya akan mengecek riwayat tanah tersebut.

"Silakan sampaikan saja komplainnya apa nanti kita periksa. Yang jelas atas nama Walem sudah pernah ke sini dan sudah ditindaklanjuti petugas, tapi kami belum dapat laporannya seperti apa, nanti kami tindaklanjuti lagi," ujar Tribudi.

Kasus serupa juga menimpa Mbah Tupon (68), warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pria lansia itu terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi dan bangunan berupa dua rumah. 

Sebab, sertifikat pada tanah itu telah beralih nama.

Diduga, Mbah Tupon telah menjadi korban mafia tanah. Kasus ini telah dilaporkan ke Polda DIY. 

Mbah Tupon yang setiap hari bekerja sebagai petani ini hanya bisa meratapi nasibnya saat sore hari. 

Setelah selesai mencari pakan ternak, ia meletakkan rumput yang didapat dan lalu duduk di kursi teras rumah. 

Ia duduk dengan posisi kaki direntangkan ke depan, melepas lelah setelah seharian berada di ladang.

Anak pertama Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), menjelaskan kronologis peristiwa yang menimpa ayahnya. 

Bermula pada tahun 2020, saat itu Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi. 

Pembeli berinisial BR ingin membeli tanah milik Mbah Tupon seluas 298 meter persegi. Pada momen itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi, dan setelah itu ia menghibahkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT. 

"Terus dipecah sertifikatnya, untuk jalan itu sudah jadi sertifikatnya," katanya, Sabtu (26/4/2025). 

Lalu, BR menanyakan sertifikat dan berinisiatif untuk memecah sertifikat pada sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi 4 sertifikat

Empat sertifikat tanah itu rencananya akan atas nama Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang. "Bapak masih ada uang (piutang) di BR sekitar Rp 35 juta, itu untuk memecah. 

'Mbah kowe isih nduwe duit sak mene piye nek sertifikat dipecah dinggo anak-anakmu ben enteng' (Mbah, kamu masih punya uang sekian, bagaimana kalau untuk pecah sertifikat untuk anak-anakmu supaya enteng)," kata Heri menirukan ucapan BR.

Saat itu, Mbah Tupon menjual tanah dengan harga Rp 1 juta per meter, lokasinya berada di belakang rumah Mbah Tupon. 

"Sertifikat jadi 4, buat bapak sama anak-anaknya," kata dia. BR menawarkan memecah sertifikat menjadi 4 itu sekitar tahun 2021 setelah proses jual beli dengan ayahnya. 

"Bapak sering nanyain ke BR, sudah jadi atau belum (sertifikat)," katanya. Yang terjadi justru sertifikat milik Mbah Tupon dibalik nama dengan inisial IF dan diagunkan ke bank senilai Rp 1,5 miliar. 

Heri mengaku tak kenal sama sekali dengan IF dan tidak pernah bertemu sebelumnya. 

Ia baru mengetahui sertifikat diatasnamakan orang lain dan diagunkan ke bank pada Maret tahun 2024 lalu. "Bank ngabari ke sini, atas nama IF dari awal pinjam belum sempat mengangsur sama sekali. Sekitar 4 bulan setelah pencairan bank ke sini," katanya. 

"Di bank itu sertifikatnya masih utuh, tapi sudah dibalik nama. Bank bawa fotokopian sertifikat," ujarnya. Lanjut Heri, pihak bank memberitahukan bahwa tanah yang diagunkan atas nama IF itu sudah masuk lelang tahap pertama. 

"Bank ke sini itu sudah lelangan pertama. Kemarin itu Jumat (25/4/2025) bank ke sini kasih tahu seminggu lagi ada seperti ukur ulang," katanya. Mengetahui hal itu, pihak keluarga lalu mendatangi BR untuk menanyakan duduk perkara. "Dia bilang 'ini yang nakal notarisnya, besok saya urus'. 

Lalu BR menyuruh tangan kanannya (inisial TR) mengajak lapor ke Polda (DIY)," kata dia. 

Heri menjelaskan, pihak bank tak pernah melakukan survei ketika sertifikatnya diagunkan ke bank. Selama proses jual beli, lanjut dia, Mbah Tupon diminta tanda tangan dua kali oleh calo penghubung BR. 

"Disuruh tanda tangan pertama di daerah Janti, terus yang kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu tanda tangan dokumen apa, soalnya bapak enggak bisa baca dan tidak dibacakan," kata dia. 

Saat itu, lanjut Heri, ayahnya hanya didampingi oleh ibunya dan tidak didampingi oleh anak-anaknya. Tak hanya itu, tanda tangan ketiga dilakukan di rumah Mbah Tupon namun lagi-lagi tidak didampingi oleh anak-anaknya. 

Saat itu, tanda tangan ketiga dibubuhkan dengan alasan untuk urusan memecah sertifikat. Setelah tanda tangan, Mbah Tupon kembali dimintai uang sebesar Rp 5 juta oleh TR, perantara BR. 

"Sudah menanyakan ke BR, waktu itu BR ngomong 'wah nek saiki rung duwe duit, nek kowe ono cukupono sikik' (kalau sekarang belum ada uang, kalau kamu ada cukupi dulu)," kata Heri menirukan BR. 

Kasus ini lalu dilaporkan ke Polda DIY pada April 2025. Heri diminta penyidik untuk melaporkan semua orang yang terlibat. 

"Kata penyidik itu sudah mafia, laporkan TR, BR, TRY, AR, dan IF," katanya. 

Saat diwawancarai awak media, Mbah Tupon harus didampingi anaknya karena pendengarannya sudah berkurang. Mbah Tupon mengatakan sedih saat bank datang ke rumahnya untuk melelang tanah miliknya. 

"Sedih, susah to, bingung pikirannya. Seperti enggak biasanya," katanya. 

"Saya itu enggak bisa baca, enggak bisa nulis, buta huruf. Yang penting sertifikat kembali ke saya," kata Mbah Tupon. Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Ihsan mengatakan dirinya akan menanyakan kasus ini ke penyidik terleboh dahulu. "Mohon waktu ya, saya tanyakan ke penyidik (kasus Mbah Tupon)," kata dia.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved