Pilkada Surabaya

Jika Kepala Bappeko Eri Cahyadi Ikuti Jejak Risma, Berat Bagi PDIP Mengusungnya di Pilkada Surabaya

Jika Kepala Bappeko Eri Cahyadi Napak Tilas Jejak Risma, Berat Bagi PDIP Untuk Mengusungnya di Pilkada Surabaya 2020

Penulis: Fatimatuz Zahroh | Editor: Mujib Anwar
Tribunmadura/Kolase Surya.co.id dan bsuhariyadi.blogspot.com
Risma dan Bambang DH - Jika Kepala Bappeko Eri Cahyadi Ikuti Jejak Risma, Berat Bagi PDIP Mengusungnya di Pilkada Surabaya 2020. 

Jika Kepala Bappeko Eri Cahyadi Ikuti Jejak Risma, Berat Bagi PDIP Mengusungnya di Pilkada Surabaya 2020

TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Ramai munculnya sejumlah nama tokoh yang disebut-sebut layak maju menggantikan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam Pilkada Surabaya 2020 turut memunculkan tokoh dari kalangan birokrasi.

Salah satu yang cukup santer adalah nama Eri Cahyadi, yang kini menjabat sebagai Kepala Bappeko Surabaya.

Saat ditanyakan pada Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang DH terkait peluang mengusung Eri Cahyadi, pria yang juga mantan Wali Kota Surabaya ini menyebut tetap ada peluang.

Namun akan cukup berat.

"Kalau bicara peluang diusung, ya 1 sampai 100 persen," kata Bambang DH, pada Surya (Grup Tribunmadura.com), Minggu (16/6/2019).

Akan tetapi, ia menyebut bahwa untuk memutuskan nama siapa yang akan direkom oleh PDIP sebagai pemenang pileg di Surabaya, membutuhkan proses panjang.

Ada mekanisme partai yang berjalan. Mulai dari siapa yang akan dicalonkan oleh DPC PDIP Kota Surabaya untuk kemudian dibawa ke DPP.

Baru setelah itu DPP akan memutuskan siapa nama yang akan diusung maju dalam Pilkada Surabaya 2020.

Meski begitu, sosok politisi ulung yang dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ini menyebut, bahwa ada hasil kongres terakhir yang menjadi pertimbangan daerah dalam mengusung calon dalam Pilkada serentak mendatang.

Salah satunya adalah ada kriteria agar lebih diprioritaskan untuk mengusung kader sendiri.

"Kita punya pengalaman pahit, di sejumlah daerah. Bahkan kepala daerah yang kita usung dari unsur birokrasi, akhirnya menghasilkan kepala daerah yang sulit untuk berkomunikasi dengan partai," tegas Bambang DH.

Memang sudah ramai diberikan bahwa selama dua periode menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, Risma tak cukup baik untuk membangun komunikasi dengan PDIP sebagai partai pengusungnya.

Risma sendiri sebelum diusung PDIP sebagai wali kita tercatat sebagai Kepala Bappeko Surabaya.

Pengalaman ini, dikatakan Bambang DH sebagai pelajaran ketika akan mengusung calon dari unsur birokrasi khususnya calon non kader.

Serta hal ini juga terjadi di beberapa daerah lain.

"Maka ada keputusan untuk memprioritaskan calon internal atau kader dalam Pilkada serentak 2020 mendatang," tegasnya.

"Nah kalau Surabaya ini belum, belum. Kita lihat nanti siapa yang akan diusulkan dari internal dan perkembangannya," tegas Bambang DH.

Saat ini, ia menginstruksikan untuk dilakukan penjaringan di setiap daerah yang akan melangsungkan Pilkada.

PDIP telah memiliki mekanisme dalam pelaksanaan pilkada.

Yaitu, setahun sebelum pelaksanaan pemilu, struktur organisasi harus memulai penjaringan.

"Artinya, kalau Pilkada 2020 dilaksanakan pada September, mestinya September tahun ini juga bisa mulai penjaringan," kata mantan Wali Kota Surabaya dua peirode ini, menambahkan.

Penjaringan juga termasuk penelitian pada syarat-syarat yang sifatnya administratif.

Misalnya, penelitian ijazah yang seharusnya tak diverifikasi di DPP, harus sudah dirampungkan di daerah.

PDIP Sindir Keras Risma

Sebelumnya, Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPC PDIP Surabaya, Sukadar menghimbau agar semua elemen dan kader PDIP menjalin komunikasi yang baik menjelang Pilkada Surabaya 2020.

Termasuk siapa-siapa saja calon dan tokoh yang berpotensi untuk didorong dan dimunculkan menjadi calon wali kota (Cawali) di Pilkada Surabaya yang digelar tahun depan.

"Kami akan mengakomodir suara dari seluruh pengurus anak cabang (PAC) untuk kita jadikan pertimbangan dalam menentukan calon," kata Sukadar, Jumat (14/6/2019).

Sukadar enggan menanggapi potensi PDIP mengusung sosok alternatif dari luar partai, seperti pada Pilkada Surabaya 2010 dan Pilkada Surabaya 2015, dimana PDIP mengusung Tri Rismaharini (Risma).

Menurut Sukadar, walaupun Risma diketahui merupakan sosok yang sukses sebagai Wali Kota Surabaya selama dua periode, namun komunikasi Risma dengan PDIP tidak terjalin intensif, alias cukup buruk.

"Sepuluh tahun di dalam pemerintahan Bu Risma ini, komunikasi dengan partai biasa-biasa saja. Gol terakhir memang untuk kepentingan rakyat. Tapi, disamping itu partai politik juga punya kepentingan untuk membesarkan partai," tegas Anggota DPRD Kota Surabaya ini.

Bahkan, lanjut Sukadar, selama ini komunikasi antara eksekutif dengan partai banyak yang 'putus' dan tidak mulus.

Hal itu, katanya, akan berbeda jika kepala daerah tersebut merupakan kader internal partai.

Sukadar, jika yang menjadi wali kota Surabaya adalah kader sendiri, tentu akan lebih tahu bagaimana visi misi partai dan arah perjuangan partai.

"Berbeda dengan Bu Risma yang bukan dari kader partai," lanjutnya.

Namun, Sukadar enggan disebut, sikapnya itu seolah-olah membandingkan porsi antara kepentingan rakyat dengan kepentingan partai.

"Arahnya bukan di situ. Partai juga pro kesejahteraan rakyat. PDI Perjuangan juga bagian dari warga kota Surabaya." lanjutnya.

Harapan PDIP, lanjut Sukadar, tokoh yang diusung berkomitmen untuk berkomunikasi dengan partai (PDIP) sebelum mengambil langkah atau kebijakan.

Karena partai pun, dalam hal ini PDIP juga mempunyai saran, usulan, dan pemikiran yang konstruktif yang bisa menjadi pertimbangan Wali Kota Surabaya dalam mengambil keputusan.

Sukadar lantas mencontohkan kasus Pedagang Kaki Lima (PKL), kemudian soal kesenian dan budaya yang ditangani Risma tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan partai. 

"Penataan PKL misalnya, sebelum digusur harusnya ada tempat untuk relokasi lebih dulu. Ada solusi dulu. Kemudian di bidang olahraga, Persebaya itu kan kebanggan warga kota Surabaya. Mess kan diambil pemkot. Padahal itu kebanggaan warga kota, akhirnya Persebaya kesulitan cari tempat, tidak bisa di follow up," bebernya.

Sukadar juga mencontohkan kasus yang dialami seniman di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya yang ditutup. Banyak seniman dan budayawan yang mengeluh dan mengadu.

"Belajar dari itulah, kami bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya opini yang dibangun Pemerintah Kota Surabaya terkait keberhasilannya, tidak sebanding dengan di lapangan." pungkas Sukadar.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved