Berita Bangkalan
Beri Imbalan Rp 2.000, Pak Guru di Bangkalan ini Permalukan dan Renggut Masa Depan Dua Siswa SD
Beri Imbalan Rp 2.000, Pak Guru di Bangkalan Madura ini Permalukan dan Renggut Masa Depan Dua Siswa SD Kelas 1
Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Mujib Anwar
Kasus kekerasan seksual guru di Bangkalan terhadap siswinya di Kabupaten Bangkalan menyita perhatian Staf Pengajar di Departmen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura ( UTM ) Dr Rusmilawati Windari, SH, MH.
Menurutnya, dalam konteks penanggulangan kejahatan, penanggulangan represif dengan serangkaian aturan yang mengatur pengenaan pidana berat tentu saja tidaklah cukup.
"Bagaimanapun penanggulangan secara represif perlu dilengkapi dengan penanggulangan preventif. Yakni dengan serangkaian upaya non-penal lainnya," ungkapnya kepada Tribunmadura.com.
Ia menjelaskan, kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual pada anak bukan sekedar dengan merasa kasihan kepada korban, mengecam tindakan pelaku, dan menghukum pelaku dengan sanksi seberat-beratnya.
"Perlu ditempuh upaya-upaya lain secara strategis guna menciptakan kondisi dan situasi yang tidak hanya ramah anak, namun juga aman bagi anak," jelas Rusmilawati Windari.
Rusmilawati memaparkan, pihak guru, pengurus sekolah, orang tua termasuk keluarga, masyarakat sekitar juga perlu diberikan pemahaman secara tepat tentang perlindungan anak, bahaya-bahaya yang mengancam anak, aturan hukum yang berlaku, cara mencegah, merespon, dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungannya.
Bahkan, lanjutnya, pendidikan karakter dan berbagai penyuluhan yang dapat membangkitkan kesadaran sosial akan persoalan ini perlu dilakukan secara berkala.
"Kesadaran dan pemahaman anak, keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, pemerintah setempat, aparat penegak hukum akan persoalan ini harus dibangun," paparnya.
Hal itu dikarenakan, lanjutnya, persoalan kekerasan seksual utamanya pada anak-anak sudah pada tahap yang sangat mengkhawatirkan dan terus mengalami peningkatan secara kualitas maupun kuantitas dalam satu dekade terakhir.
Ia menyatakan, kemunculan revolusi industri 4.0 yang ditandai masifnya penggunaan internet tanpa adanya kontrol diri dan sosial yang turut menjadi faktor tingginya kekerasan seksual di masyarakat.
Catatan Rusmilawati, sejak 2013 sempat disebutkan darurat kekerasan terhadap anak.
Yang sangat disayangkan adalah beberapa studi menunjukkan, anak-anak justru lebih rentan menjadi korban kekerasan di tempat-tempat yang sepatutnya memberikan rasa aman dan perlindungan bagi anak.
"Seperti rumah, sekolah, panti-panti sosial tertentu bahkan masyarakat sekitar anak. Dan, pelakunya justru orang-orang terdekat anak," tegasnya.
Terlepas dari semua perdebatan dan kontroversi beberapa pasal dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Rusmilawati mengakui dan mengapresiasi bahwa RUU PKS telah memuat ketentuan penanggulangan kekerasan seksual ini secara lebih komprehensif dan integral.
Beberapa ketentuan dalam RUU PKS, lanjutnya, tidak hanya mengatur norma-norma delik kekerasan seksual saja.