Berita Pamekasan
Momentum HUT Bhayangkara ke-74, Ketua APSI Jatim Minta Aparat Tetap Jadi 'Polisi Janchuk'
Ketua DPW APSI Jatim memberikan apresiasi terhadap kinerja para polisi pada momen HUT Bhayangkara ke-74.
Penulis: Kuswanto Ferdian | Editor: Ayu Mufidah Kartika Sari
Laporan Wartawan TribunMadura.com, Kuswanto Ferdian
TRIBUNMADURA.COM, PAMEKASAN - 1 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Bertepatan dengan HUT Bhayangkara ke-74 tahun 2020 ini, semua kalangan memberikan apresiasi dengan perspektif yang beragam dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, dan advokat.
Seperti halnya disampaikan oleh Ketua DPW Asosiasi Advokat Syariah Indonesia (APSI) Jatim, Sulaisi Abdurrazaq.
• Gerakan Pemuda Ansor dan Banom NU Pamekasan Tolak RUU HIP, Minta Pembahasan Rancangan Dihentikan
• Risma Ciduk Pegawai Pemerintah Nongkrong saat Jam Kerja, Kepala Satpol PP Surabaya Ngaku Ditegur
• PNS Sumenep Terjaring OTT Dugaan Pungutan Liar di Pasar Lenteng, Terancam Dipenjara Seumur Hidup
Ia mengatakan, salah satu prestasi dirinya, sebelum merebahkan badan di tempat tidurnya adalah melahap buku kecil yang berjudul 'Polisi Janchuk' karya Prof Dr Hermawan Sulistyo yang akrab dipanggil Mas Kiki.
Buku kecil itu, kata dia sebenarnya sudah diterbitkan sejak tahun 2009.
Waktu itu, Sulaisi menceritakan pernah membaca habis buku tersebut semasih tinggal di Jakarta.
Bertepatan dengan HUT Bhayangkara ke-74 ini, ia mengaku merasa rindu dan ingin membaca buku 'Polisi Janchuk' itu kembali.
Sulaisi, menyatakan, ketika bayangan sesosok polisi tiba-tiba hadir selepas dirinya melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang terjerat kasus hukum, ia selalu terbayang kerinduan ingin membaca kembali buku yang berjudul 'Polisi Janchuk' tersebut.
Sulaisi mengutip tulisan Mas Kiki yang menjelaskan bahwa kata 'Janchuk' memang bermakna ganda yang berada pada dua titik ekstrem dan sama sekali tidak moderat.
Menurut perspektif Sulaisi, kata 'Janchuk' adalah makian sekaligus simbol keakraban.
Perspektif lain kata dia ada yang juga menganggap bahwa kata Janchuk diucapkan oleh orang yang sangat marah sebagai ungkapan kemarahan.
Namun di sisi lain juga, bagi Sukaisi kata Janchuk ini diucapkan sebagai tanda keakraban yang luar biasa.
"Meski tulisannya sederhana saya merasa sangat beruntung bertemu dengan buku berjudul Polisi Janchuk itu," kata Sulaisi kepada TribunMadura.com, Rabu (1/7/2020).
"Sehingga saya dapat melihat suatu perspektif tentang polisi yang dibenci sekaligus dirindu," tambahnya.
Menurut Sulaisi, polisi yang sesungguhnya di era reformasi ini, adalah polisi yang berusaha mencicil paradigma baru polisi dan perlahan mengubur masa lalunya yang kelam dan otoriter.
Ia menyatakan sepakat dengan pendapat Mas Kiki yang mengatakan bahwa polisi mestinya mendorong pemasyarakatan polisi sipil yang memupuk kemitraan dan sikap pro-aktif warga agar partisipasi mereka meningkat dalam membantu tugas-tugas polisi.
Kata dia, polisi mestinya tidak dimaknai sebagai occupation yang bekerja karena gaji, melainkan sebagai sebuah profesi sebagaimana profesi advokat atau pengacara, dokter maupun wartawan yang siap melayani masyarakat tanpa batas waktu.
Sehingga polisi yang Janchuk dalam makna positif, menurut Sulaisi benar-benar mengenal masyarakat komunitas tempatnya bertugas, siap melayaninya dengan baik dan dengan penuh tanggungjawab, bukan dengan wajah garang.
"Ketika saya masih kecil, mendengar kata polisi itu sungguh menakutkan, ibarat bayangan manusia garang dengan pistol yang siap dengan amunisinya untuk memaksa siapapun yang dianggap bertentangan dengan kekuasaan," ceritanya.
"Sebab zaman dulu polisi adalah bagian dari militer, pembina masyarakat, bukan pelayan masyarakat, alat kekuasaan, bukan alat negara," ujarnya.
Sulaisi kembali mengutip pernyataan Mas Kiki dalam bukunya yang berjudul Polisi Janchuk.
Isinya, kata dia jika seseorang tidak siap menjadikan roh polisi sebagai jati diri profesi, maka jangan pernah bercita-cita untuk menjadi polisi.
Polisi sipil menurut dia adalah polisi yang beradab.
Selain itu, kata Sulaisi, polisi sipil terletak pada etika dalam perilaku keadaban, seperti perilaku yang sopan dan santun, menghargai sesama dan menunjukkan ciri-ciri masyarakat yang beradab.
Sementara polisi gagal, menurut dia adalah polisi yang tidak menunjukkan perubahan budaya dari polisi yang semata-mata menekankan peran sebagai instrumen kewenangan dan kekerasan menjadi polisi yang ramah lingkungan.
"Memang dilema menjadi polisi, bahkan membahas tugasnya membuat kita perlu membuka ulang buku keempat Sistematika Filsafat Sidi Gazalba yang sangat purba tentang nilai (values) dan kebenaran," urainya.
"Asumsi itu saya dasarkan pada pertanyaan Mas Kiki sendiri, menjadi polisi yang baik itu seperti apa, baik hati ataukah berlaku benar?," ucapnya.
Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara ke-74 ini, Sulaisi meminta kepada para polisi agar menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat kecil.
Kriminalisasi bagi dia adalah perilaku mencari-cari kesalahan agar seseorang dijerat secara hukum.
Padalah, lanjut Sulaisi, publik sudah tahu ada konsep 'Alternative Dispute Resolution' sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum yang ringan.
Namun konsep tersebut, kata dia jarang diimplementasikan secara maksimal.
Ia juga meminta, agar polisi menghentikan pelanggaran HAM terhadap tahanan.
Namun, jika kalimat yang disampaikan pihaknya ini terasa klise, paling tidak dirinya sebagai Advokat peduli terhadap kehormatan institusi Polri.
"Ibarat rumah kaca, meski berusaha sekuat tenaga merahasiakan perilaku polisi yang melakukan kekerasan terhadap tahanan, tetap saja perilaku itu terbongkar dan perbuatan itu sangat bertentangan dengan spirit reformasi Polri," ungkapnya.
Selanjutnya, Sulaisi juga meminta kepada para polisi supaya jangan pernah mengganggu tugas profesi advokat dalam melakukan pendampingan terhadap tersangka.
"Pengalaman kami selama mendampingi klien selalu saja ada polisi janchuk (menurut buku karya Mas Kiki) yang membujuk rayu tersangka agar tidak menggunakan jasa pengacara," ucapnya.
"Bahkan diikuti dengan nada ancaman yang akan memberatkan masa hukuman jika menggunakan jasa pengacara," bebernya.
Perilaku tersebut yang menurut Sulaisi pihaknya berkesimpulan bahwa ada polisi yang manis di mulut tapi jahat di kertas.
Perilaku yang seperti itulah, yang kata dia, polisi yang biasa disebut sebagai 'macan kertas'.
Padahal menurut Sulaisi, advokat termasuk dalam catur wangsa penegak hukum.
"Patahan-patahan gagasan dalam opini ini sebenarnya berawal dari sebuah persepsi tentang 'superiority complex' polisi yang perlu saya bagi kepada khalayak dengan harapan agar dapat menjadi bahan untuk saling mengontrol perilaku polisi yang suka abai terhadap substansi penegakan hukum," sarannya.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pendampingan hukum yang pihaknya sudah pernah lalui, membuat dirinya perlu menimbang perspektif 'Polisi Janchuk'.
Menuut dia, apakah Polisi Janchuk dalam konteks hari ini lebih pada ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Kalau Janchuk dengan ekstrem kanan, maka, bagi Sulaisi bermakna positif yang berarti polisi dekat dengan masyarakat, benar-benar mengayomi dan patuh hukum.
Sementara, janchuk dengan ekstrem kiri, menandakan kemarahan publik atas perilaku polisi yang sewenang-wenang dan cenderung melakukan ‘abuse of power’.
"Sebagai pekerja bantuan hukum yang selalu berhadapan dengan polisi, sebagian pengalaman dan curahan perasaan yang saya sampaikan ini sebagai permintaan agar polisi janchuk dengan makna negatif segera disapu bersih dari institusi Polri atau paling tidak agar lekas diperbaiki," pintanya.
"Karena waktu belum mengizinkan saya untuk bertemu langsung dengan bapak Kapolri, semoga curahan hati saya ini dapat dibaca olehnya sebagai catatan dari kampung kecil dengan harapan besar agar polisi benar-benar bisa menjadi lebih janchuk dengan makna lebih akrab dan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat dengan wajahnya yang baru," inginnya.