Berita Sampang

Tajul Muluk Menjadi Suni, Bupati Sampang: Mereka Belum Bisa Pulang, Kami Hanya Sebagai Fasilitator

Pembacaan ikrar pengungsi Syiah, Tajul Muluk beserta keluarga dan pengikutnya untuk kembali ke pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah telah selesai.

Penulis: Hanggara Pratama | Editor: Elma Gloria Stevani
TRIBUNMADURA.COM/HANGGARA PRATAMA
Tajul Muluk atau Ali Murtadho (putih) saat baru tiba di Pendopo Trunojoyo Sampang Jalan Wijaya Kusuma Kecamatan/Kabupaten Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020). 

Slamet Junaidi menyampaikan terkait keinginan mantan penganut Syiah pulang kampung sepenuhnya diserahkan kepada tokoh ulama untuk melakukan pembinaan.

Namun sementara ini proses pemulangan belum ada bahkan mereka masih ingin tetap tinggal di Rusun Puspa Agro, Jemondu, Sidoarjo.

“Tergantung nanti proses ke depan, jadi sekarang mereka belum bisa pulang, kami pemerintah daerah hanya sebagai fasilitator dalam menyelenggarakan pembaiatan,” tuturnya.

Pengakuan Penganut Aliran Syiah di Sampang

Ratusan penganut aliran Syiah membacakan ikrar kembali ke ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) di Pendopo Trunojoyo Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020).

Pembacaan dilakukan secara bergantian di depan para ulama, kiai, tokoh masyarakat, bahkan di hadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sampang.

Seorang pengikut Syiah, Rusiyah mengaku sedih bercampur senang setelah membacakan ikrar.

Warga Desa Karang Gayam Kecamatan Omben itu mengaku sudah bertahun-tahun menunggu momen tersebut.

"Kami sudah delapan tahun di tempat pengungsian, rindu sama kampung halaman," ujarnya kepada TribunMadura.com.

 

Ikrar lepas dari ajaran syiah dan kembali di ajaran aswaja dengan diawasi oleh para ulama dan kiai di Pendopo Trunojoyo Sampang, Kamis (5/11/2020).
Ikrar lepas dari ajaran syiah dan kembali di ajaran aswaja dengan diawasi oleh para ulama dan kiai di Pendopo Trunojoyo Sampang, Kamis (5/11/2020). (TRIBUNMADURA.COM/HANGGARA PRATAMA)

Selama delapan tahun suka duka dilewati di tempat pengungsian bahkan, rela bekerja sebagai pengupas kelapa demi memenuhi kehidupan enam kekuarganya.

Ia mengatakan, sistem kerjanya pun tergantung terhadap pabrik si pemilik kelapa, dalam sepekan bisa bekerja selama enam hari dan juga bisa empat hari.

Namun, jika kondisinya sepi bisa sepekan tidak bekerja sama sekali.

"Untuk bayarannya tidak nentu, tapi sering mendapatkan Rp. 400 ribu dan hasinya cukup memenuhi ekonomi keluarga di sana," tuturnya.

Kendati demikian, setelah pembacaan ikrar ini dilakukan, Rusiyah menyampaikan tidak tahu setelah ini apakah langsung menuju tempat tinggalnya di Desa Blu'uran Kecamatan omben atau tidak.

Menurutnya, jika kembali ke tempat tinggalnya dirasa tidak mungkin lantaran rumahnya sudah ludes terbakar pada insiden 2012 lalu.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved