Berita Sumenep
Penulis Buku Dari Kelompok Sarinah Dukung Permendikbud No 30 Tahun 2021, Sebut Amanat Pancasila
Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari mendukung penuh Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Penulis: Ali Hafidz Syahbana | Editor: Ayu Mufidah Kartika Sari
Laporan Wartawan TribunMadura.com, Ali Hafidz Syahbana
TRIBUNMADURA.COM, SUMENEP - Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi kontroversi.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari mendukung penuh Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tersebut.
Ia menilai, penting dalam memperjuangan status perempuan agar mengalami perbaikan baik di ruang publik ataupun domestik.
Bersama para penulis buku kelompok sarinah, Eva Kusuma Sundari menegaskan bahwa Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu adalah amanat Pancasila.
"Terhadap Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 Sarinah Penulis mendukung implementasinya," kata Eva Kusuma Sundari saat dikonfirmasi TribunMadura.com, Sabtu (13/11/2021).
Menurutnya, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
"Soal kekerasan perempuan melalui tubuh harus dieliminasi sepenuhnya agar kekerasan-kekerasan bentuk lain dapat dicegah," kata Eva Kusuma Sundari.
Hal itu katanya, sudah menjadi diskusi dan disampaikan bertepatan pada Hari Pahlawan 2021, Kamis (11/11/2021) dengan tema "Sudut pandang Sarinah Terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021".
"Para penulis buku dari Kelompok Sarinah mengadakan Webinar membahas isu aktual terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu," katanya.
Perempuan penulis di buku ANOMALI itu mengapresiasi kawan-kawan Sarinah di GMNI, karena bersemangat sebagai motor acara webinar yang dikelola bersama dengan Institut Sarinah.
Acara webinar itu katanya dimoderatori oleh Ajeng Adinda Putri, yang juga baru saja launching buku pertamanya dengan judul "Mengupas Ekonomi Kreatif".
Menurutnya, para kaum Sarinah sudah pasti mendukung Permendikbud 30/2021. Alasannya, karena memang penghapusan kekerasan seksual merupakan problem sosial termasuk di lembaga pendidikan tinggi.
"Pancasila adalah berporos pada manusia, yaitu memuliakan martabat manusia dalam kesetaraan. Kekerasan seksual adalah praktek dehumanisasi bagi pelaku maupun korban," tambahnya.
Terpisah, Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lucy Sandra Amalia mengatakan bahwa Permendikbud sangatlah urgent, karena PT berkontribusi paling besar terhadap adanya kasus KS di dunia pendidikan yaitu 20 kasus walau KS adalah termasuk kejahatan kategori gunung es.
"Permendikbud No. 30 Tahun 2021 mengisi kekosongan hukum untuk penanganan kasus KS di PT," kata Lucy Sandra Amalia, penulis buku "Evaluasi Pileg 2014".
Menurutnya, relasi kuasa dan relasi gender masih timpang. Karena mahasiswa itu katanya ada di pihak lemah, sehingga perlu penguatan dalam memperjuangkan haknya sebagai korban.
Penulis buku "Selendang merah" yang juga tergabung dalam kelompok penulis buku Sarinah, yakni Sa'ada tegas mengkritisi pasal per pasal yang ada di Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Menurut Sa'ada, pada pasal 14 tentang Satgas Pendidikan, harus dipastikan mereka mempunyai kualitas perspektif gender, advokasi, ham dan sebagainya.
Sementara itu, Masiyatun yang juga penulis Buku "Pemikiran Kartini" yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas NU Indonesia ini merasa lega karena banyak kasus KS di kampus tidak terselesaikan di Madura.
"Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 ini bisa menjadi payung hukum untuk mengatasi banyaknya kasus KS tidak terselesaikan dan para korban tidak tertangani secara layak," kata Masiyatun.
Dia Puspitasari, yang juga tergabung dalam kelompok Sarinah mengatakan jika merujuk data KPPPA dan BPS tentang prevalensi KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan) hasil SPHPN (Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional) tahun 2016 menyatakan bahwa 1-3 perempuan indonesia usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan baik fisik ataupun seksual.
"32% perempuan berpendidikan tinggi ternyata lebih rentan menjadi korban kekerasan," katanya.
Fakta tersebut katanya, terverifikasi dengan kasus aktual yang dikawal BEM UNSRI di Riau yang barusan meledak dengan korban mahasiswi yang sedang bimbingan skripsi dilecehkan secara seksual oleh pembimbingnya.
"Dulu saya menginisiasi Gerakan Kampus Ramah Perempuan tahun 2018 di Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Indonesia. Alhamdulillah ada Permendikbud 30 di tahun 2021 sebagai payung hukum," kata Dia Puspitasari.