Berita Bangkalan Terkini

Pantas Kepsek di Bangkalan Maju Kritik Pembelajaran Mendalam: Cuma Ganti Nama Tanpa Substansi

Pelatihan pembelajaran mendalam ini terlalu menyita waktu para guru hingga mendapat kritikan.

Editor: Mardianita Olga
Pexels/Haidar Azmi
PROTES PEMBELAJARAN MENDALAM - Ilustrasi belajar di kelas. Meski bertujuan membuat kegiatan belajar dan mengajar menjadi menyenangkan dan bermakna, pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) menuai kritik dari para kepala sekolah di Bangkalan, Jawa Timur. Hal itu diungkap oleh Kepala UPTD SDN Jambu 2 Kecamatan Burneh, Bangkalan, Suraji. 

TRIBUNMADURA.COM - Pembelajaran mandalam atau deep learning menjadi program baru Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti.

Namun, perlu diingat bahwa pembelajaran mendalam ini bukanlah kurikulum namun pendekatan anyar dalam pembelajaran di kelas.

Melansir dari Kompas.com, sang menteri mencanangkan pembelajaran mendalam karena jiwa dan fokus siswa kerap melanglang buana meski tubuh hadir di kelas.

Hal itu bisa saja menyebabkan keterampilan berpikir anak-anak didik di Indonesia masih sangat rendah.

Abdul Mu’ti pun meminta guru melakukan kegiatan belajar dan mengajar yang bersifat berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan joyful (menyenangkan) dengan olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga.

Meski berniat baik, banyak kepala sekolah di Bangkalan, Jawa Timur, merasa keberatan.

Hal itu diungkap oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) SDN Jambu 2 Kecamatan Burneh, Bangkalan bernama Suraji.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Google News TribunMadura.com

Baca juga: Nasib Guru ASN di Pamekasan yang Pukul Muridnya di Ujung Tanduk, Kepsek Sebut Ada Polisi

Menurutnya, pengenalan program baru kepada tenaga pendidik sama dengan pelatihan baru.

Setelah program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak, para guru lagi-lagi harus menjalani pelatihan agar bisa menerapkan pembelajaran mendalam di kelas.

Tak dapat dipungkiri bahwa pelatihan sangat menyita waktu guru.

Pelatihan hanya diadakan secara singkat sekira 2 hingga 5 hari.

Tak hanya datang, guru-guru juga harus mengerjakan tugas melalui Learning System Management System (LSM) sehingga beban administratif menjadi berlebihan.

Cara itulah yang membuat program-program pendidikan baru pemerintah bak cangkang kosong; indah di luar namun tak berisi apa-apa.

Baca juga: Sudah Diizinkan Kepala Daerah Study Tour, Dedi Mulyadi Tetap Beri Sanksi Kepsek yang Ngotot Pergi

“Sementara hasilnya tidak memberikan dampak signifikan pada pembelajaran di kelas. Mengapa pola pelatihan guru di Indonesia masih seperti ini, mengapa reformasi seolah hanya berganti nama tanpa substansi yang berarti?,” ungkap Suraji kepada Tribun Madura, Minggu (3/8/2025).   

Suraji melanjutkan bahwa pelatihan akan mengganggu tugas utama guru di kelas.

Hal itu juga bertentangan dengan penegasan sang menteri soal pelatihan yang harus mempermudah guru.

“Namun kenyataannya, pelaksana teknis di bawahnya, khususnya Balai Besar Guru Penggerak (BBG TK) Provinsi Jawa Timur, masih menerapkan pola pelatihan top-down yang memaksa guru dan kepala sekolah menyelesaikan tugas-tugas LMS dalam waktu singkat. Ini bertentangan dengan semangat kebijakan menteri,” tegas Suraji.

Cara menyelenggarakan pelatihan juga perlu dibenahi.

“Mirisnya, biaya pelatihan ini dibebankan kepada sekolah-sekolah penerima BOS Kinerja, yakni sekolah-sekolah yang telah menunjukkan peningkatan nilai dalam Rapor Pendidikan. Dengan anggaran yang cukup besar, seharusnya pelatihan dirancang lebih profesional, berkualitas tinggi, dan menggunakan narasumber yang benar-benar ahli di bidangnya,” paparnya.

Baca juga: 2 Tragedi Manusia Tewas karena Ular: Kakek Dilahap Piton hingga Bocah SD Kritis Digigit Weling

Selama ini, narasumber pelatihan pembelajaran mendalam sering dinilai tak kompeten, yaitu rekan sesama guru bukan pakar atau akademinis dengan kualifikasi memadai.

Menurutnya, jika pelatihan dibiayai dari dana publik dan berstatus berbayar, seharusnya narasumber minimal bergelar S3 (doktor) dan memiliki pengalaman akademik atau praktis yang memadai.

“Jika hanya menghadirkan narasumber sesama guru sebagai fasilitator, lebih baik kegiatan tersebut dilaksanakan di tingkat KKG atau MGMP tanpa memerlukan biaya yang besar,” beber Suraji.

Suraji pun tak kuasa membandingkan sistem pendidikan di Tanah Air dengan di Finlandia yang sering kali dicap terunggul di dunia.

Finlandia disebutnya mengizinkan hanya 10 persen dari lulusan terbaik untuk masuk jurusan pendidikan guru.

Semua guru diwajibkan menempuh pendidikan magister (S2) sebagai syarat untuk mengajar, termasuk di tingkat sekolah dasar.  

Selain itu, lanjut Suraji, pelatihan guru di Finlandia diselenggarakan berdasarkan kebutuhan guru itu sendiri.

Dengan format kolaboratif yang tidak dipaksakan, tanpa beban administratif, tidak ada tugas LMS, unggahan file, atau laporan naratif yang menguras energi tanpa memberikan hasil pembelajaran yang sepadan.

Karena sosok guru diperlakukan sebagai profesional yang memiliki kepercayaan.

“Sistem pendidikan di negara unggul seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan telah lama meninggalkan pendekatan pelatihan massal yang seragam."

"Mereka lebih memilih model pelatihan berbasis kebutuhan lokal, refleksi sejawat, mentoring profesional, dan waktu yang cukup untuk belajar."

Baca juga: Pantas Wali Kota Solo Tempel Kertas No Jastip di Depan Kantor, Gerah Banyak Ortu Datang ‘Titip Anak’

"Tidak ada beban tugas administratif yang hanya mengukur kehadiran atau kepatuhan,” tuturnya.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan disebut Suraji sejatinya tidak kekurangan kebijakan yang baik.

Namun, kebijakan yang tidak dilaksanakan dengan semangat dan substansi yang sama di tingkat teknis akan gagal mencapai tujuannya.

Karena itu, Suraji menekankan perlunya reformasi secara menyeluruh dalam pelaksanaan pelatihan guru.

Mulai dari evaluasi total terhadap pola pelaksanaan pelatihan oleh BBGTK dan pelaksana teknis lainnya, menghentikan model pelatihan yang proyek-sentris dan administratif.

Selanjutnya, pelatihan difokuskan pada kebutuhan riil guru di kelas dan bukan sekadar pengumpulan tugas LMS, menggunakan narasumber berkualitas, bukan sekadar ‘pengisi waktu’ dengan gelar seadanya, serta membuka ruang bagi pelatihan kolaboratif di tingkat sekolah, KKG, dan MGMP yang terbukti lebih murah dan efektif.

“Transformasi pendidikan yang sesungguhnya dimulai dari kepercayaan terhadap guru."

"Jangan lagi membebankan mereka dengan pelatihan yang melelahkan, membingungkan, dan tidak berdampak."

"Dengan anggaran pelatihan yang besar, seharusnya kualitas dan manfaatnya pun sebanding,” pungkas Suraji.

----- 

Berita viral dan berita seleb lainnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved