TRIBUNMADURA.COM - Kue apem menjadi kue yang khas hadir pada beberapa acara keagamaan.
Satu di antaranya, apem akan muncul di acara Rabu Wekasan.
Ternyata terdapat makna yang sakral di balik kue apem.
Selain itu kuliner tradisional juga sarat makna.
Apem menjadi kuliner tradisional yang disajikan dalam rangkaian tradisi Rabu Wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten CiRabun.
Baca juga: Wakil Ketua PWNU Jatim Gus Salam Ajukan Surat Non-Aktif dari Kepengurusan Karena Pilkada Serentak
Baca juga: Kecelakaan Maut di Tempeh Lumajang, Perempuan Hendak Salip Truk Malah Terserempet, Tewas di Tempat
Baca juga: Lepas Masker Karena Merokok saat Berkendara, Wanita di Kota Blitar ini Dikenai Sanksi Tipiring
Dalam kesempatan itu, apem tampak dibagikan kepada masyarakat setelah seluruh rangkaian Rabu Wekasan dilaksanakan.
Bahkan, sejumlah warga juga tampak menikmati apem bersama yang disajikan dengan gula merah cair di atas piring.
Filolog CiRabun, Raffan S Hasyim, mengatakan, apem bisa disebut sebagai kuliner tradisional khas bulan Safar.
Menurut dia, selama bulan Safar hampir setiap rumah di CiRabun membuat apem dan membagikannya kepada tetangganya.
"Tujuannya sedekah, untuk menolak bala atau musibah," ujar Raffan S Hasyim kepada TribunciRabun.com, Rabu (14/10/2020).
Ia mengatakan, apem di CiRabun mempunyai bentuk khas, yakni kotak dan bulat.
Apem berbentuk kotak melambangkan badan, sedangkan apem bulat melambangkan bentuk kepala.
Bentuk apem itupun ada kaitannya dengan peristiwa Perang Karbala yang membuat cucu Nabi Muhammad Saw, Husain bin Ali, meninggal dunia.
Raffan menyampaikan, dalam naskah yang ditulis Jafar Assegaf, tradisi ngapem CiRabun digelar untuk memperingati wafatnya seluruh pasukan Husain bin Ali.
Dalam perang melawan pasukan militer Bani Umayyah tersebut, Husain bin Ali dibunuh dengan cara dimutilasi.
"Bentuk apem di CiRabun melambangkan wafatnya cucu Nabi, dan tujuannya menolak bala berawal dari peristiwa Karbala," kata Raffan S Hasyim.
Sementara Kuncen Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari, mengatakan, terdapat makna tersendiri dalam penyajian apem dalam tradisi Rabu Wekasan.
Baca juga: Kisah Raja Kaya Raya Tapi Terkenal Pelit, Gaya Hidupnya Kelewat Hemat, Tapi Begini Kondisi Hartanya
Baca juga: Ulah Iseng Nikita Mirzani di Depan Polisi yang Sedang Mengamankan Demo Penolakan UU Cipta Kerja
Menurut dia, salah satu cara agar masyarakat selalu diberi keselamatan ialah menjaga manisnya perkataan dan selalu menyampaikan hal yang baik-baik.
Karenanya, perkataan baik itu harus diawali dengan menyantap makan manis seperti apem yang dicocol gula merah.
"Filosofi apem ini kita harus mengatakan yang manis-manis dan jangan menyinggung orang lain supaya selalu selamat," ujar R Hasan Ashari.
Apem sendiri dibuat dari tepung beras yang dicampur air hangat dan tape singkong, kemudian diaduk hingga rata.
Biasanya apem dibuat pada sore hari dan didiamkan semalaman, agar tekstur apem menjadi lebih lembut dan mengembang.
Setelah didiamkan, pagi harinya adonan akan dicetak, dan apem bisa digarang maupun dikukus.
Tape singkong sendiri memberikan rasa asam pada apem. Namun, tidak terlalu asam, sehingga terasa lembut.
Apem disajikan bersama gula merah cair. Untuk menyantapnya pun apem harus dicocol ke gula merah agar rasanya semakin nikmat.
Sejarah Rabu Wekasan
Tradisi Rabu Wekasan digelar di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten CiRabun, Rabu (14/10/2020).
Kuncen Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari, mengatakan, tradisi tersebut berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Menurut dia, Rabu Wekasan digelar pada Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Hijriyah.
"Tradisi ini ada sejak era Wali Sanga, dan memang tidak lepas dari pengaruh ajaran Islam," kata R Hasan Ashari saat ditemui seusai kegiatan.
Ia mengatakan, seluruh rangkaian tradisi Rabu Wekasan juga mempunyai makna dan sejarah tersendiri.
Misalnya, Tawurji atau membagikan uang koin kepada masyarakat yang disebut warga CiRabun sebagai surak.
Tawurji sendiri berasal dari dua suku kata. Yakni tawur yang berarti melempar uang, dan aji artinya tuan haji atau orang yang mampu.
"Tawurji ini bermula dari upaya perlindungan terhadap murid Syekh Lemah Abang yang dianggap sesat," ujar R Hasan Ashari.
Kala itu, Sunan Gunung Jati memutuskan melindungi mereka dan memberikan uang untuk bekal bertahan hidup.
Peristiwa itu bertepatan doa bersama yang digelar di Bangsal Paseban Keraton Kanoman pada Rabu terakhir di bulan Safar.
Kini, tawurji dianggap sebagai sedekah agar terhindar dari malapetaka yang turun selama bulan Safar.
Pasalnya, Allah Swt menurunkan 320 ribu malapetaka ke bumi pada bulan Safar.
Karenanya, doa-doa pun dipanjatkan saat tawurji berlangsung. Bahkan, sebelumnya salat hajat berjemaah juga dilaksanakan.
Usai tawurji, warga pun ngirab atau mandi bersama di Sungai Cipager yang berada persis di belakang Situs Makam Pangeran Pasarean.
"Isim Kala Caka disimpan di aliran sungai sebelum digunakan mandi oleh masyarakat," kata R Hasan Ashari.
Hasan menyampaikan, Isim Kala Caka merupakan janur kelapa yang dipercaya sebagai jimat pusaka penangkal jin.
Selain itu, Isim Kala Caka juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Tradisi mandi di sungai itu dimulai sejak masa Sunan Kalijaga sering berkhalwat di wilayah CiRabun.
Saat itu, CiRabun dilanda pagebluk atau wabah penyakit, sehingga Sunan Kalijaga menyimpan Isim Kala Caka di Sungai Drajat, Kota CiRabun.
Sunan Kalijaga pun meminta warga yang terjangkit pagebluk untuk mandi di Sungai Drajat.
Mereka pun secara ajaib sembuh dari penyakit yang menjangkitinya setelah mandi di sungai yang diberi Isim Kala Caka tersebut.
Menurut Hasan, Isim Kala Caka merupakan janur yang diberi tulisan huruf arab, Jaa (datang) dan Nuur (cahaya).
"Maksudnya melalui Isim Kala Caka itu menjadi media tawasul datangnya cahaya atau rahmat Allah Swt," ujar R Hasan Ashari.
Di Situs Makam Pangeran Pasarean sendiri kegiatan ngirab atau mandi bersama dimulai sejak enam tahun lalu.
Namun, mandi bersama itu tidak dilaksanakan di Sungai Drajat, tetapi di Sungai Cipager yang berada di belakang situs.
Dalam tradisi Rabu Wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, warga yang mandi bersama juga langsung doa bersama setelahnya.
Doa bersama itu tentunya dipanjatkan untuk menolak bala dan malapetaka yang turun di bulan Safar.
Setelah seluruh rangkaian tradisi Rabu Wekasan dilaksanakan, para pengurus tampak membagikan makanan khas CiRabun, apem.
Sejumlah tamu undangan juga terlihat duduk santai sambil menyantap apem yang dibuat pengurus situs.
Hasan menyampaikan, apem sendiri mengandung filosofis agar ucapan dan tingkah laku sehari-hari selalu manis sesuai rasa gula merah cair yang disantap bersama apem.
"Inti dari tradisi ini adalah meningkatkan silaturahmi, mengharap keberkahan dunia dan akhirat, serta menjaga warisan budaya," kata R Hasan Ashari.