Kilas Balik

Cerita Karomah Syaikhona Kholil Bangkalan, Maling Timun Kaku Tak Bisa Duduk, Sembuh karena Percikan

Penulis: Ahmad Faisol
Editor: Januar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi berita Cerita Karomah Syaikhona Kholil Bangkalan, Maling Timun Kaku Tak Bisa Duduk, Normal karena Percikan

Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol

TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Inilah kisah tentang karomah Syaikhona Kholil Bangkalan.

Karomah adalah kejadian luar biasa di luar akal dan kemampuan manusia biasa yang terjadi pada pribadi-pribadi unggul berpangkat wali.

Salah seorang diantaranya adalah Syaikhona Kholil atau Mbah Kholil, ulama besar asal Bangkalan, Madura.

Ucapan dan kehendak Mbah Kholil adalah kenyataan karena selalu didengar Allah.

Berbicara Mbah Kholil seolah tidak pernah ada habisnya. Apalagi mengupas kisah tentang karomah-karomah dan isyarat-isyarat Mbah Kholil yang memang tidak pernah lekang oleh zaman.

Bahkan, karomah Mbah Kholil dibukukan oleh Saifur Rahman yang berjudul, Surat Kepada Anjing Hitam.

Salah satu ‘khariqun lil adat’ atau karomah Mbah Kholil yaitu perihal tubuh para pencuri timun terbujur kaku, tegak berdiri, tidak bisa didudukkan usai mencuri timun di ladang para petani.

Baca juga: Cerita Gus Dur Kena Omel Istri Protokol karena HP, Sang Suami Syok Bukan Kepalang: Ma, Itu Presiden

Persitiwa itu berawal dari keresahan para petani timun di Bangkalan. Di mana dalam setiap masa panen, timun selalu dicuri maling. Kondisi ini kemudian mendorong para petani bersepakat untuk sowan ke Mbah Kholil, dengan harapan mendapatkan solusi.

Saat ditemui para petani, Mbah Kholil sedang mengajarkan Kitab Nahwu Jurmiyah, kitab tentang tata bahasa arab untuk para santri tingkat pemula. Para petani pun melontarkan bahwa akhir-akhir ini ladang timun para perani selalu menjadi sasaran maling.

“Kami mohon kepada kiai (Mbah Kholil) untuk penangkalnya,” keluh seorang petani.

Keluh kesah atas maraknya kasus pencurian timun itu disampaikan para petani di kala pembahasan Kitab Nahwu Jurmiyah oleh Mbah Kholil sampai pada kalimat Qoma Zaidun yang berasal dari kata Zaid, artinya telah berdiri.

“Karena pengajian ini sampai pada Qoma Zaidun, ya Qoma Zaidun ini saja dipakai debagai penangkalnya,” ungkap Mbah Kholil.

Berbekal keyakinan dari Mbah Kholil, para petani keesokan harinya kembali beraktifitas di ladang mereka.

Namun setiba di ladang, para petani dibuat kaget dengan keberadaan beberapa sosok pria yang berdiri seperti patung, tidak bisa didudukkan.

Ternyata pria-pria itu adalah pencuri timun yang selama ini meresahkan di kala setiap masa panen. Upaya para petani membuat tubuh para pencuri timun itu duduk tidak pernah membuahkan hasil.

Kejadian di luar akal manusia itu merebak di khalayak masyarakat.

Para petani kemudian memutuskan kembali ke Mbah Kholil untuk menceritakan peristiwa yang terjadi di ladang-ladang timun mereka.

Setelah berbincang sejenak, Mbah Kholil kemudian membekali para petani dengan segelas air penangkal yang nantinya dipercikkan ke tubuh para pencuri timun. Hanya sekali percik, tubuh para pencuri timun jatuh, lunglai dengan posisi duduk.

Sejak saat itu, tidak pernah lagi terjadi pencurian timun di ladang-ladang para petani. Sebagi ungkapan terima kasih, para petani timun berbondong-bondong bersedekah timun ke pesantren dengan diangkut dokar.

Dari peristiwa tersebut bisa dipetik pelajaran bahwa kalimat Qoma Zaidun hanyalah sebaris huruf. Tidak ada daya dan kekuatan, siapapun bisa mengucapkannya. Namun si pengucap kalimat itulah yang lebih penting.

Ada juga kisah menarik lainnya dari Syaikhonna Kholil.

Meski sudah wafat puluhan tahun silam, kita masih bisa mengambil hikmah dan pelajaran inspiratif dari sosok Syaikhona Kholil Bangkalan (Mbah Kholil).

Salah satunya adalah dengan karomah-karomah yang Allah SWT berikan saat beliau masih hidup.

Berikut ini salah satu kisah karomah Syaikhona Kholil yang berhasil menemukan sumber mata air hanya dengan menancapkan sebuah tongkat.

Mbah Kholil Bangkalan adalah sosok ulama panutan yang sangat dihormati.

Sebutan mahaguru ulama Nusantara memang cocok disematkan ke Mbah Kholil lantaran ia telah melahirkan banyak ulama yang tersebar di penjuru Nusantara.

Di antara murid Mbah Kholil adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.

Mbah Hasyim merupakan seorang pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan ulama yang sangat dihormati oleh kalangan Nahdliyin.

Seperti diketahui, Mbah Klholil mendirikan dua pesantren; Jangkebuan dan Kademangan di Kota Bangkalan sebagai simbol perlawanan etik di masa penjajahan.

Kala itu, pesantren menjadi cara paling efektif dalam kegiatan syiar Islam sekaligus mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di sektor pendidikan.

Mbah Kholil lahir pada 11 Jumadil Akhir 1235 H dan wafat pada 29 Ramadhan 1343 H atau di tahun 1925 Masehi.

Mbah Kholil akrab dikenal sebagai guru dari para ulama Indonesia, seperti KH Hasyim Asy'ari (1871-1947), KH Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), KH Bisri Syamsuri, dan sejumlah besar lainnya di Jawa.

Para murid Mbah Kholil itu menjelma sebagai ulama besar di nusantara.

Bersama Mbah Kholil, mereka berperan penting atas lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).

Energi spiritualitasnya hingga saat ini mampu menjadi magnet bagi sebagian besar umat Islam untuk datang berziarah di komplek wisata religi Pesarean Mbah Kholil, Desa Martajasah, Kota Bangkalan.

Selepas berziarah, masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia hingga Malaysia juga berbondong menuju sebuah Bujuk Lagundih yang memiliki kolam air atau yang dikenal dengan sebutan Kolla Al Asror, di Kampung Lagundih, Desa Ujung Piring.

Dari wisata religi, jaraknya tidak lebih dari 1 KM ke arah barat. Lokasi Kolla Al-Asror itu disebut Bujuk Lagundih.

“Mbah Kholil menancapkan tongkatnya dan air kembali muncrat, sampai sekarang debit air tidak pernah surut."

"Sumber mata air itu awalnya ditemukan Kyai Asror, namun tidak terawat hingga tertutupi rawa, ditemukan lagi oleh Mbah Kholil,” ungkap juru rawat Kolla Al Asror, Abdul Jalil (70), warga Kampung Lagundih, Sabtu (11/3/2023).

Kyai Asror, berdasarkan silsilah yang disematkan pada tembok Bujuk Lagundih disebutkan, keturunan ketujuh dari Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dan Siti Mutmainnah.

Sementara Mbah Kholil merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah.

Jalil menjelaskan, keberadaan sumber mata air tak kunjung surut itu awalnya ditemukan oleh Kyai Asror.

Namun karena lokasi tersebut masih berupa rawa dan hutan sehingga titik sumber mata air tidak terawat hingga tertutup lumpur dan ilalang.

Ditemukannya kembali sumber mata air Kolla Al Asror itu, lanjutnya, berawal ketika Mbah Kholil berjalan kaki bersama sejumlah santri dari Demangan menuju wakaf untuk melakukan syiar Islam.

Wakaf atau mushola itu kini berubah menjadi masjid megah di tengah kawasan komplek Pesarean Syaikhona Kholil, Desa Martajasah.

“Usai melakukan syiar Islam, Mbah Kholil melanjutkan perjalanan bersama para santri ke Kampung Langgundih menuju kolla yang sudah tertutup lumpur, rawa, dan ilalang."

"Di situlah Mbah Kholil menancapkan tongkat, air muncrat ketika tongkat dicabut oleh para santri,” jelas Jalil yang rumahnya bersebelahan dengan Bujuk Lagundih.

Kolla Al Asror di komplek Bujuk Lagundih, bangunan masjid megah di komplek wisata religi Pesarean Syaikhona Kholil, serta dua pesantren; Jangkebuan dan Kademangan menjadi beberapa di antara upaya Mbah Kholil melakukan syiar Islam di Kabupaten Bangkalan.

Benak Jalil pun tiba-tiba terseret ke masa silam saat dirinya masih berusia sekolah dasar sekitar tahun 1965.

Kala itu, almaghfurlah KH Kholil Yasin, pengasuh pondok pesantren Kepang Bangkalan yang juga cucu dari Mbah Kholil mengerahkan para santri untuk mengeruk lumpur, membabat ilalang, membuang rawa di titik sumber mata air Kolla Al Asror.

“Saat itu saya masih SD kelas IV, belum ada rumah di sekitar sini karena memang hutan di pesisir pantai."

"KH Kholil Yasin, beliau itu paman dari Ra Makki (KH Makki Nasir, Ketua MUI dan PCNU Bangkalan) berpesan agar kolla ini dirawat karena peninggalan para ulama besar yakni Kyai Asror dan Mbah Kholil,” kenang Jalil.

Bagi masyarakat Bangkalan dan Madura, lanjut Jalil, banyak yang sudah kenal dengan Bujuk Lagundi.

Termasuk bagi sebagian masyarakat dari Jember dan Pasuruan, dari Jawa tengah.

Bahkan dari Sumatera, Banjarmasin, hingga Malaysia datang menggunakan bus setelah berziarah ke Pesarean Mbah Kholil.

“Alhamdulillah sampai sekarang Kolla Al Asror di komplek Bujuk Lagundih ini masih terjaga sebagaimana yang dipesankan KH Kholil Yasin karena air barokah."

"Pesan beliau (KH Kholil Yasin) terbukti, bahwa kelak akan banyak pengunjung setelah mereka berziarah ke Pesarean Mbah Kholil,” pungkas Jalil.

Jejak syiar Islam di Bangkalan berupa masjid di komplek Pesarean Syaikhona Kholil dan Kolla Al Asror di komplek Bujuk Lagundih hingga sekarang seolah tak surut dari para pengunjung.

Yasin, pengunjung Pesarean Mbah Kholil asal Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah mengungkapkan, mengenal Mbah Kholil Bangkalan melalui sejarah sebagai salah seorang sosok waliyullah penyebar agama Islam di Madura, Jawa, serta guru dari hadratus syaikh KH Hasyim Asy'ari yang melakukan syiar Islam di tanah Jawa sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama.

“Saya sering ke sini, agenda tahunan setiap masa di Bulan Sya'ban atau jelang Ramadhan."

"Kali ini satu bus bersama rombongan Jamaah Mujahadah Rotibul Haddad dari Kabupaten Temanggung,” singkat Yasin beberapa waktu lalu.

 


Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Berita Terkini