Laporan Wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol
TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Konsulat Jenderal RI di Jeddah dalam keterangan resminya pada 31 Mei 2025 melampirkan bahwa tiga Warga Negara Indonesia (WNI), salah seorang di antaranya berinisial SM (42) ditemukan tewas di gurun area wilayah Jumun, Makkah pada 27 Mei 2025.
SM diketahui berasal dari Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur ditemukan tewas karena diduga menderita dehidrasi setelah dipaksa turun dari taksi gelap.
Kondisi terkurasnya cairan tubuh karena terik panas di gurun itu juga menimpa dua WNI lainnya berinisial J dan S, namun keduanya ditemukan dalam kondisi selamat dan menjalani perawatan medis.
Tragedi itu tidak hanya menyulut duka mendalam bagi keluarga besar Universitas Islam Madura (UIM) yang menjadi tempat SM bekerja sebagai dosen, namun juga menyayat hati pengusaha Biro Perjalanan Haji dan Umroh, At-Taufiq di Bangkalan, H Bahri, SH.
“Padahal kementerian agama sudah menganjurkan jangan, karena pelaksanaan ibadah haji tanpa visa resmi akan membuat orang yang berangkat menjadi sengsara. Si oknum tahu dan paham resikonya akan seperti itu,” ungkap H Bahri kepada Tribun Madura sambil menghela nafas, Rabu (4/6/2025) petang.
Ia menjelaskan, faktor penyebab yang menjadi pemicu masyarakat agar lekas melaksanakan ibadah haji salah satunya adalah lamanya masa tunggu.
Untuk calon jemaah haji yang mendaftar keberangkatan haji di Jawa Timur, maka harus antre hingga sekitar 39 tahun.
Dengan situasi seperti ini, H Bahri mengimbau, masyarakat agar lebih banyak mencari informasi seluas-luasnya kepada perwakilan-perwakilan kementerian agama yang ada di kabupaten/kota maupun banyak berkonsultasi kepada biro-biro resmi perjalanan haji dan umroh.
“Hanya saja terkadang ketika dihadapkan dengan kalimat, kalau sudah ‘Panggilan Allah’ sudah pasti bisa masuk, pasti ada jalan."
"Itulah yang repot, apalagi didukung dengan kemampuan ekonomi, fisabilillah berangkat dan nanti pasti ada jalan kalau Allah sudah memanggil, pasti sudah bisa masuk,” terang H Bahri.
Selain iming-iming berangkat haji meski dengan visa ilegal, ada beberapa masyarakat disebut H Bahri juga terjebak, terpedaya dengan janji-janji atau promosi Haji Furoda yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ia menjelaskan, Visa Furoda atau Mujamalah merupakan program Visa Undangan yang menjadi otoritas mutlak dan langsung diberikan tanpa melalui kuota resmi negara oleh Pemerintah Arab Saudi kepada individu atau lembaga.
Kebijakan itu disebutnya memang ada setiap tahun melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia dengan jumlah maksimal biasanya di kisaran 200 sampai 300 jamaah se Indonesia.
Itu pun khusus pejabat teras nasional, seperti kapolri, panglima.
Tetapi di tahun ini, lanjutnya, pemerintah Arab Saudi tidak menerbitkan Visa Furoda untuk Indonesia, kecuali visa haji reguler dan haji khusus.
Kendati demikian, masih saja ada oknum-oknum memanfaatkan minimnya informasi untuk melancarkan modus penipuan dengan diajukan jalur mandiri namun seakan-akan dilewatkan perusahaanya.
“Sayangnya teman-teman hanya mengambil keuntungan dari perjalanan haji yang sakral dengan jaminan, ‘oh bisa nanti ada teman’. Padahal sama sekali tahun ini, pemerintah Arab Saudi tidak mengeluarkan selain regular Visa Haji dan Haji Khusus atau Haji Plus,” pungkasnya.
Sementara Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kantor Kementerian Agama Bangkalan, Arif Rochman mengungkapkan, pihaknya tidak bisa memantau pergerakan oknum-oknum ataupun kelompok masyarakat yang berangkat ke Arab Saudi menggunakan visa ilegal
“Rata-rata mereka jalannya agak apa ya, dan mereka tidak ada laporan kepada kami."
"Biasanya pemberangkatannya menggunakan jasa travel. Kalau jalur ilegal seperti (korban SM) di Pamekasan itu tidak perlu ke Jakarta, ilegal itu di mana pun bisa,” ungkap Arif.
Ia membenarkan bahwa, motivasi sebagian masyarakat menempuh jalur ilegal untuk melaksanakan ibadah haji salah satunya adalah faktor masa tunggu yang mencapai hingga 35 tahun.
“Semisal diimingi Visa Furoda, namanya undangan itu kan pastinya bukan sembarangan orang."
"Pastinya orang yang mempunyai prestasi luar biasa, mungkin di bidang keilmuan atau tokoh agama."
"Kalau masyarakat biasa menggunakan Visa Furoda, itu malah bisa dipertanyakan. Itulah kemudian yang dijadikan modus oknum travel, diperjual belikan,” pungkasnya.