Berita Bangkalan
Beri Imbalan Rp 2.000, Pak Guru di Bangkalan ini Permalukan dan Renggut Masa Depan Dua Siswa SD
Beri Imbalan Rp 2.000, Pak Guru di Bangkalan Madura ini Permalukan dan Renggut Masa Depan Dua Siswa SD Kelas 1
Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Mujib Anwar
Beri Imbalan Rp 2.000, Pak Guru di Bangkalan Madura ini Permalukan dan Renggut Masa Depan Dua Siswa SD Kelas 1
TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN - Kekerasan seksual yang dilakukan Pak Guru terhadap siswa dan siswinya sendiri masih terjadi di wilayah Madura.
Padahal sebagai guru, mestinya Pak Guru mengajari siswa dan muridnya pelajaran dan berbagai hal tentang ilmu dan kebaikan.
Bukan malah sebaliknya, mempermalukan dan merenggut masa depan murid dan siswinya sendiri.
Kasus di Kabupaten Bangkalan beberapa waktu lalu, sebagai contohnya.
Seorang Pak Guru alias oknum guru SD bernama NYN (58), dua kali melakukan kekerasan seksual terhadap siswi dan siswa SD kelas I.
Pak Guru yang berasal dari Kecamatan Arosbaya Kabupaten Bangkalan Madura ini merenggut kehormatan siswinya, sebut saja Mawar pada 23 Nopember 2019 dan 25 Nopember 2019.
Padahal Pak Guru NYN merupakan guru PNS yang sangat dihormati oleh muridnya. Terlebih dia juga menjabat sebagai wali kelas I.
Kini Pak Guru dengan dua anak dan satu cucu itu dijebloskan tahanan ke Markas Polres Bangkalan.
"Ulah bejat NYN pertama kali dilakukan di ruang perpustakaan. Kedua, pencabulan dilakukan NYN di depan kelas saat pelajaran sekolah, di depan siswa lainnya," ungkap Kapolres Bangkalan AKBP Rama Samtama Putra, Senin (2/12/2019).
Ia menjelaskan, di perpustakaan pelaku menanggalkan seragam korban dan menempatkan tangan korban pada kemaluan NYN.
"Selanjutnya, korban direbahkan di lantai.
Upaya menyetubuhi korban gagal karena kelamin NYN gagal ereksi," jelasnya.

Di ruang kelas, lanjut Rama, saat pelajaran berlangsung, NYN meminta korban maju ke depan kelas untuk membaca.
Pelaku menyuruh korban duduk di sampingnya.
"Saat itu, tangan korban ditarik dan ditempatkan di kemaluan korban.
Perbuatan ini memprihatinkan," katanya.
Di hadapan AKBP Rama Samtama Putra, NYN menyesali perbuatannya.
Dengan suara lirih, ia mengaku telah kerasukan setan.
"Setan tekko endi (Setan dari mana)?. Apa tidak kasihan, siswa-siswi itu punya masa depan.
Bagaiman mereka mengalami trauma setelah digitukan sama gurunya,' ujar Rama.
Hasil pengembangan, muncul korban kedua yang juga masih satu kelas dengan korban Mawar.
Namun korban kedua ini adalah laki-laki.
"Kami terus menggali keterangan korban kedua ini.
Untuk korban pertama, pelaku memberi imbalan Rp 2.000," paparnya.
Akibat perbuatannya melecehkan siswa dan siswinya sendiri, Pak Guru NYN dijerat Pasal 82 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang (UU) RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU nomor 23 Tahun 2002.
Tentang Perlindungan Anak menjadi UU jo Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
AKBP Rama Samtama Putra menegaskan, sebagai tenaga pendidik, Pak Guru NYN terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.
"Bahkan karena pelaku adalah tenaga pendidik, hukuman penjara ditambah sepertiga," tegasnya.

Pidana Berat Tak Cukup
Kasus kekerasan seksual guru di Bangkalan terhadap siswinya di Kabupaten Bangkalan menyita perhatian Staf Pengajar di Departmen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura ( UTM ) Dr Rusmilawati Windari, SH, MH.
Menurutnya, dalam konteks penanggulangan kejahatan, penanggulangan represif dengan serangkaian aturan yang mengatur pengenaan pidana berat tentu saja tidaklah cukup.
"Bagaimanapun penanggulangan secara represif perlu dilengkapi dengan penanggulangan preventif. Yakni dengan serangkaian upaya non-penal lainnya," ungkapnya kepada Tribunmadura.com.
Ia menjelaskan, kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual pada anak bukan sekedar dengan merasa kasihan kepada korban, mengecam tindakan pelaku, dan menghukum pelaku dengan sanksi seberat-beratnya.
"Perlu ditempuh upaya-upaya lain secara strategis guna menciptakan kondisi dan situasi yang tidak hanya ramah anak, namun juga aman bagi anak," jelas Rusmilawati Windari.
Rusmilawati memaparkan, pihak guru, pengurus sekolah, orang tua termasuk keluarga, masyarakat sekitar juga perlu diberikan pemahaman secara tepat tentang perlindungan anak, bahaya-bahaya yang mengancam anak, aturan hukum yang berlaku, cara mencegah, merespon, dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungannya.
Bahkan, lanjutnya, pendidikan karakter dan berbagai penyuluhan yang dapat membangkitkan kesadaran sosial akan persoalan ini perlu dilakukan secara berkala.
"Kesadaran dan pemahaman anak, keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, pemerintah setempat, aparat penegak hukum akan persoalan ini harus dibangun," paparnya.
Hal itu dikarenakan, lanjutnya, persoalan kekerasan seksual utamanya pada anak-anak sudah pada tahap yang sangat mengkhawatirkan dan terus mengalami peningkatan secara kualitas maupun kuantitas dalam satu dekade terakhir.
Ia menyatakan, kemunculan revolusi industri 4.0 yang ditandai masifnya penggunaan internet tanpa adanya kontrol diri dan sosial yang turut menjadi faktor tingginya kekerasan seksual di masyarakat.
Catatan Rusmilawati, sejak 2013 sempat disebutkan darurat kekerasan terhadap anak.
Yang sangat disayangkan adalah beberapa studi menunjukkan, anak-anak justru lebih rentan menjadi korban kekerasan di tempat-tempat yang sepatutnya memberikan rasa aman dan perlindungan bagi anak.
"Seperti rumah, sekolah, panti-panti sosial tertentu bahkan masyarakat sekitar anak. Dan, pelakunya justru orang-orang terdekat anak," tegasnya.
Terlepas dari semua perdebatan dan kontroversi beberapa pasal dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Rusmilawati mengakui dan mengapresiasi bahwa RUU PKS telah memuat ketentuan penanggulangan kekerasan seksual ini secara lebih komprehensif dan integral.
Beberapa ketentuan dalam RUU PKS, lanjutnya, tidak hanya mengatur norma-norma delik kekerasan seksual saja.
"Namun juga ketentuan tentang pencegahan, hak-hak korban maupun saksi, penanganan kasus kekerasan seksual, hingga partisipasi masyarakat," katanya.
Namun demikian, ketidaksetujuan atau kekhawatiran sebagian masyarakat terkait dengan beberapa pasal yang dipandang kontroversi juga perlu menjadi perhatian, dikaji lebih lanjut dan segera dicarikan solusi.
"Jangan sampai aturan yang harusnya mampu melindungi masyarakat justru menjadi trigger munculnya persoalan sosial lainnya," pungkasnya. (*)