Tak Disangka, Minuman Keras Merek Cap Tikus Kini Sudah Mulai Merambah ke Pasar Mancanegara
Merek minuman fermentasi beralkohol ini meski masih kental rasa lokalnya, namun Cap Tikus sudah menyebar di seluruh Indonesia.
"Kita koleksi minuman. Kita tempatin guci tinggal izin kelas dan lainnya kita akan buka nanti. Semua tinggal menunggu izin. Kita masih tradisional sekali jadi citarasa berbeda dengan yang lain karena masih pakai bambu, itu kenapa warna arak kita kuning," jelas Nyoman.
Sama seperti Cap Tikus 1978, inovasi juga dilakukan guna terus eksis. Rasa lain dari arak Bali Desa Les selain original adalah arak nangka. Mengenai rasa nangka tersebut dijelaskan merupakan inovasi yang muncul dari banyaknya buah nangka saat panen di Desa Les.
"30 sampai 40% kadar alkohol, ada yang 53% cuma kadar alkohol itukan pengaruh dari cuaca karena kita masih alami belum pakai mesin. Kalau musim panas bisa tinggi kadar alkoholnya. Kita sedang berjuang agar ini bisa ada izin," kata Nyoman.
Pasar arak Desa Les sendiri baru di wilayah Bali lantaran belum terbitnya izin yang diajukan. Selain minuman fermentasi ada pula Juruh yang disebut Nyoman tak kalah dari maple syrupnya luar negeri.
"Juruh kita juga ngga kalah, tuak manis nggak kalah dari mapple syrup, tuak jadi gula. Ada dua jenis lontar cewek dan cowok yang berbuah cowok, setelah itu tuak dimasak dengan kayu ke sambi itu kenapa jadi tuak manis atau juruh itu, dididihkan hingga jadi setengah karamel. Maple syrup Bali lah," sebut Nyoman seraya menunjukkan Juruh.
Produksi minuman fermentasi di Desa Les sendiri terutama di Dapur Bali Mula adalah setiap 100 botol nira yang disetor petani desa maka 60% akan dibuat minuman fermentasi dan 40% sebagai juruh. Harga sendiri tergolong sangat terjangkau yaitu satu botol ukuran 600 ml dibanderol Rp 125 ribu.
"Kalau dilihat sih memang profit kecil tapi bangga karena ini minuman lokal dan lestarikan budaya lokal. Kalau itungan bisnis kita bisa katakan rugi karena pakai bambu, bambu itukan pasti ada yang nyerep cairannya kan. Tapi kita bangga karena lestarikan tradisi dan juga berdayakan masyarakat," kata Nyoman.
Sama seperti Mario, Nyoman juga sepakat jika tren minuman fermentasi tengah bergeliat. Angin segar dari pemerintah dimana semakin membuat minuman fermentasi dipandang juga sebagai produk pariwisata.
"Sebenarnya mindset orang kalau tidak aman diminum, tapi yang salah adalah cara minum, kalau tidak benar ya tidak aman, padahal kita buat semua alami," tegas Nyoman.
Saat ini tantangan yang dirasa dikatakan Nyoman ada pada ketersediaan bahan baku. Produksi minuman fermentasi dilakukan saat semester pertama atau musim panas. Hal tersebut lantaran banyak home industri yang masih sangat alami dalam pembuatan yang membuat musim hujan jadi kendala.
Ke depan Mario dan Nyoman berharap potensi minuman fermentasi lokal semakin eksis, semakin tingginya perhatian pemerintah akan membuat stigma negatif akan hilang.
Ditegaskan bahwa minuman fermentasi merupakan budaya atau tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang. Bahkan Cap Tikus 1978 kini sudah dapat ditemukan di store bandara di Minahasa sebagai oleh-oleh.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id yang berjudul Minuman beralkohol lokal yang ingin mendunia