Virus Corona di Surabaya
36 Pelajar SMP di Surabaya Terpapar Covid-19, Komnas Perlindungan Anak: Ada Sekolah Tak Taat Prokes
Masih adanya SOP protokol kesehatan di Kota Surabaya yang tidak dijalankan menjadikan sekolah tatap muka hingga menjadi kerentanan.
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Elma Gloria Stevani
TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Rencana sekolah tatap muka kini harus ditindaklanjuti dengan hati-hati, pasalnya hasil tes swab pada siswa sebagai persiapan pembelajaran tatap muka di Surabaya menunjukkan 36 pelajar SMP di Surabaya positif Covid-19.
Menurut Saiful Bachri Ketua Lembaga Perlindungan Anak Komnas Perlindungan Anak Kota Surabaya, terkait sekolah tatap muka jauh-jauh hari pihaknya telah berkirim surat kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ada 14 klausal yang perlu diperhatikan sebelum menggelar sekolah tatap muka, salah satunya yakni kondisi lingkungan.
Ia menjelaskan secara tidak disadari lingkungan di khawatirkan bisa menjadi kluster di Sekolah.
Baca juga: Klaster Perkantoran Menjadi Perhatian Tim Satgas, Razia Masker Digelar di Lingkungan Pemkab Ponorogo
Baca juga: Detik-detik Kebakaran Bangunan Kios di Kecamatan Semanding Tuban, Bermula dari Botol Bensin Pecah
Baca juga: Promo Alfamart Rabu 2 Desember 2020, Dapatkan Diskon Harga Detergen dan Promo Serba Beli 2 Gratis 1
Masih adanya SOP protokol kesehatan yang tidak dijalankan menjadikan sekolah tatap muka menjadi kerentanan.
"Selama protokol kesehatan, baik itu di rumah, di sekolah, di jalan, di lingkungan bisa ditatati, kami tidak masalah," ungkap Saiful Bachri.
Dikatakan Saiful di tataran lingkungan justru banyak orang tua yang abai membiarkan anaknya main tanpa diimbangi protokol kesehatan.
Hal ini dikhawatirkan menjadi ancaman baru ketika sekolah tatap muka diterapkan.
"Kita tidak tahu dilingkungan itu siapa yang tertular, kalau itu dibawa di sekolah akan memunculkan kluster sekolah," urainya.
Saiful Bachri tidak menampik kegiatan belajar di rumah atau terlalu lama anak di rumah akibat pandemi Covid-19 berdampak pada psikologis dan sosial.
Begitu juga kasus kekerasan anak yang mengalami peningkatan.
Hal ini harusnya dicarikan jalan keluar, jika pemerintah tetap memaksakan untuk anak masuk sekolah maka harus ada aturan jelas.
"Yang perlu ditekankan bagaimana sekolah bisa melakukan, yang kedua ada pembatasan jam, jadi setiap anak ada bekal selain buku dan alat prtokol kesehatan pribadi, untuk bangku-bangku yang tidak dipakai yang selama ini dibiarkan dimohon dikeluarkan, kenapa anak tidak bisa melihat, kondisi dia bagus tapi disekitar dia tidak," paparnya.
Dalam klausal yang dilayangkan LPA Komnas Perlindungan Anak, Surabaya, juga meminta adanya pembatasan-pembatasan di dalam sekolah.