Penularan Omicron Lebih Cepat dari Varian Delta, Dokter Ungkap Fakta Menariknya
Namun ada harapan puncak Omicron juga akan lebih cepat melandai tanpa harus banyak pasien yang dirawat maupun menelan korban jiwa
Penulis: Sri Handi Lestari | Editor: Aqwamit Torik
TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Menghadapi pandemi Covid 19 selama dua tahun
belakangan ini, para ahli kesehatan sudah lebih memahami pola-pola dan karakteristik penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2.
Meski kecepatan penularan varian Omicron lebih cepat dari Delta, namun ada harapan puncak Omicron juga akan lebih cepat melandai tanpa harus banyak pasien yang dirawat maupun menelan korban jiwa, melebihi gelombang Delta terdahulu.
“Tanpa bermaksud mensyukuri suatu musibah, Omicron ini kita ketahui bisa menyebar
dengan cepat, tapi harapannya puncaknya nanti segera turun. Kita bersyukur walaupun
angka penularannya cepat, namun angka perawatan pasien di rumah sakit masih
signifikan di bawah gelombang Delta Juli 2021 lalu,” kata dr Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD., Juru Bicara Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS), Sabtu (26/2/2022).
Subvarian Omicron BA.1 menurut dr Tonang memiliki karakteristik cepat berkembang di saluran pernapasan, tapi lambat berkembang di paru-paru.
“Inilah yang kita duga menjadi salah satu faktor gejala yang dialami pasien terinfeksi Omicron cenderung lebih ringan daripada varian Delta. Tapi kita patut khawatir dengan subvarian Omicron BA.2 yang kemampuan berkembang di paru-paru bisa mendekati kemampuan Delta,” jelas dr Tonang.
Baca juga: Antisipasi Penularan Covid-19 Omicron, 64 Pegawai Lapas Narkotika Pamekasan Divaksin Booster
Diakui oleh dr Tonang, rata-rata derajat keparahan penyakit pada pasien terinfeksi
Omicron ini memang lebih ringan daripada varian Delta tahun lalu.
Tapi ia mewanti-wanti subvarian Omicron BA.2.
Namun begitu ia berharap dengan banyaknya yang mendapat kekebalan alami dari infeksi dan ditambah makin banyak yang divaksinasi, varian virus ini tidak akan berkembang lebih jauh lagi.
“Saya yang termasuk mempercayai apabila varian baru mendominasi maka pelan-pelan varian sebelumnya berkurang. Tapi sebenarnya kita tidak perlu terjebak dengan Omicron dan Delta. Karena semuanya sama-sama virus Covid 19. Hanya saja semua varian virus ini berisiko membuat pasiennya bergejala berat. Perkara Omicron atau bukan itu kepentingannya untuk epidemiologis, agar bisa memetakan dan melihat tren ke depan," beber dr Tonang.
Tapi bagi masyarakat, apapun varian Covid 19 yang menginfeksinya, cara
penanganannya sama.
Saat ini jumlah kasus dirawat di rumah sakit UNS sedikit mengalami peningkatan.
Akan tetapi saat dibandingkan dengan gelombang Delta yang lalu relatif lebih rendah.
“Kalau di saat gelombang Delta yang lalu kita mengalih fungsikan lebih dari separuh
tempat tidur, hampir 70 persen disediakan untuk penanganan Covid-19. Saat ini hanya
sekitar 40 persen yang kami siapkan dan itu belum penuh,” papar dr Tonang.
Selain saat ini mampu mempertahankan fasilitas pelayanan kesehatan, diketahui juga perbandingan kasus kematian periode Omicron dengan Delta juga berbeda secara signifikan.
Namun dr Tonang menyarankan Kemenkes untuk mengkaji lebih mendalam
mengenai kasus kematian saat ini.
Menurut pengamatan dr Tonang, Di Jakarta apabila diambil rata-rata kasus mingguan, maka puncaknya terjadi 10 Februari lalu, lalu diikuti penurunan angka kematian pada 20
Februari.
Apabila polanya seperti ini, maka angka kematian akan ikut turun atau melandai beberapa pekan setelah kasus konfirmasi harian menurun juga.
Masyarakat perlu mengetahui beberapa hal untuk menghadapi periode Omicron. Ini tidak berbeda jauh dengan cara-cara yang sudah dilakukan saat menghadapi gelombang Delta.
“Apabila timbul gejala, maka saat itu juga kita harus periksa (testing) PCR/Antigen. Saat
hasilnya negatif, maka jangan langsung senang dahulu, tunggu dua hari lagi untuk
memastikan kembali melalui tes PCR/Antigen apakah benar-benar negatif atau tidak," ungkapnya.
Apabila kontak erat, maka dilakukan tes PCR/Antigen pada awalnya (entry test). Baik hasilnya positif maupun negatif, kontak erat harus melakukan karantina 5 hari.
Nanti di hari kelima diulang kembali tes kedua (exit test). Apabila hasil exit test negatif, maka karantina dianggap selesai.
“Tapi secara keseluruhan kita berharap periode ini segera mencapai puncak dan segera
turun agar bulan Ramadan tahun ini kita tidak terjebak lagi dengan polemik shalat tarawih maupun lebaran yang dua tahun ini jadi terganjal akibat Covid-19,” tandas dr Tonang.(rie/Sri Handi Lestari).