Bangga Madura
Mengulas Sejarah Pamekasan, Dikenal sebagai Pamelingan, Negara Boneka Belanda pada Tahun 1948
Wilayah Pamekasan sebelumnya dikenal sebagai Pamellengan atau Pamelingan, dengan rajanya Ki Wonorono, keturunan dari Raja Majapahit Wikramawardhana.
TRIBUNMADURA.COM - Tribunners kali ini kita akan mencoba mengulas sejarah Pamekasan.
Informasi di artikel ini bersumber dari website https://pamekasankab.go.id/sejarah.
Wilayah Pamekasan sebelumnya dikenal sebagai Pamellengan atau Pamelingan, dengan rajanya Ki Wonorono, keturunan dari Raja Majapahit Wikramawardhana (1389-1429). Pamelingan memerdekakan diri saat Majapahit mulai runtuh sekira tahun 1478. Pemerintahan Ki Wonorono dilanjutkan oleh putrinya yaitu Nyi Banu (Ratu Pamelingan), selanjutnya oleh putra Nyi Banu yaitu Pangeran Bonorogo (Nugroho), dan putra Pangeran Bonorogo yaitu Raden Aryo Seno (Panembahan Ronggosukowati).
Islam masuk ke Pamelingan pada masa Walisanga. Disebarkan pertama oleh Aryo Menak Senoyo yang membuka wilayah Parupuh (Proppo). Pada tahun 1515 berdiri Pondok Pesantren Sombher Anyar Tlanakan yang dipimpin oleh Kiai Syuber, yang juga menjadi pengajar keluarga kerajaan sehingga disebut Keyae Ratoh.
Setelah Panembahan Ronggosukowati bertahta wilayah ini baru dikenal sebagai Pamekasan. Sesuai semboyan Mekkas Jatna Paksa Jenneng Dibi’ yang artinya pesan untuk memerintah dengan kemampuan sendiri. Naik tahtanya Panembahan Ronggosukowati pada tanggal 12 Rabiul Awwal 937 H / 3 November 1530 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pamekasan (Perda 17/2004). Panembahan Ronggosukowati adalah raja beragama Islam pertama di Pamekasan.
Panembahan Ronggosukowati sebagai raja baru memindahkan keraton dari Labangan Daja (sekitar RS Mohammad Noer) ke Mandhilaras (sekitar gedung Bakorwil). Beliau mewariskan tata kota Pamekasan yang ada sampai saat ini. Di antaranya membangun Maseghit Ratoh di lokasi Masjid Agung Asy Syuhada’ saat ini, asrama tentara di area asrama A Kodim saat ini dalam rangka reorganisasi militer, seppir (penjara) di area asrama B Kodim saat ini (dipindahkan ke Jungcangcang pada tahun 1912), pasar di area Pasar Sore saat ini, dan jalan Se Jimat di area Monumen Arek Lancor saat ini.
Baca juga: Bupati Pamekasan Baddrut Tamam Raih Penghargaan dari Dekopin sebagai Tokoh Pembina Koperasi Terbaik
Nama-nama kampung yang digunakan sampai saat ini juga menunjukkan fungsinya di masa kerajaan. Di antaranya Parteker (gelar tikar, untuk mengaji), Pangeranan (kediaman pangeran), Menggungan (kediaman tumenggung), Pongkoran (belakang keraton), Duko (pemukiman penduduk), Kolpajung (pembawa payung), Kowel (kawula kerajaan). Panembahan Ronggosukowati juga dikenal dengan legenda keris Joko Piturun miliknya, kemenangannya memukul mundur serangan pasukan Bali di wilayah Jungcangcang, dan kisah pertemuannya dengan Kiai Agung Rabah di Pademawu.
Panembahan Ronggosukowati memerintah sampai tahun 1616 dan digantikan oleh putranya Pangeran Jimat dan Pangeran Purboyo sebagai wali raja. Beliau wafat pada Agustus 1624 bersama hampir seluruh keluarga kerajaan dalam perang menghadang invasi Sultan Agung dari Mataram ke Pulau Madura. Keluarga kerajaan yang selamat hanya Raden Dhaksena (Pangeran Gatukkoco) putra Pangeran Purboyo, yang menjadi Adipati Pamekasan pada tahun 1685-1708 dengan gelar Raden Tumenggung Ario Adikoro I. Keraton Mandhilaras dan Maseghit Ratoh juga dihancurkan oleh pasukan Mataram. Masjid kemudian dibangun kembali dengan bangunan bergaya Mataram beratap tumpang tiga. Panembahan Ronggosukowati dikebumikan di wilayah Kolpajung.
Perlawanan terhadap kekuasaan Mataram di Madura di antaranya dilakukan oleh Pangeran Trunojoyo (l. 1649) pada tahun 1671 yang menjadikan Pamekasan sebagai pangkalan pemberontakan. Pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menguasai ibukota Mataram pada 2 Juli 1677. Pemberontakan ini bisa dipatahkan oleh Mataram pada akhir 1679 dengan meminta bantuan Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan Pangeran Trunojoyo dihukum mati pada 2 Januari 1680.
Kongsi Dagang Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Pamekasan pada tahun 1705-1706 sesuai perjanjian dengan Mataram. Pada tahun 1743 VOC memindahkan keraton Pamekasan ke wilayah Bugih, yang hingga saat ini menjadi pendopo kabupaten. Sedangkan bekas keraton Mandhilaras dijadikan kompleks perkantoran atau loji VOC, dan kemudian menjadi kantor Residen Madura.
Baca juga: Mengenal Sejarah dan Asal-usul Sumenep, Kabupaten Berjuluk The Soul of Madura, Sung dan Eneb
Pada tahun 1749 meletus pemberontakan Ke’ Lesap yang bertujuan menguasai Madura. Setelah sebelumnya menguasai Sumenep, pasukan Ke’ Lesap bergerak ke Pamekasan dan berhasil membunuh Adipati Pamekasan Raden Tumenggung Ario Adikoro IV (1743-1750) di Desa Bulangan. Ke’ Lesap akhirnya terbunuh di Bangkalan.
Pada masa VOC, Daendels (1808-1811), dan Raffles (1811-1816) bentuk kerajaan dipertahankan dan dikenakan sistem upeti. Sistem kerajaan dihapus pada tahun 1858 masa kolonial Belanda dengan pengukuhan bupati pertama Pamekasan Pangeran Ario Moh. Hasan (1854-1891). Pada tahun 1857 dibentuk Karesidenan Madura dengan Pamekasan sebagai ibukotanya dengan pejabat residen Belanda. Pada tahun 1928-1931 dibentuk Karesidenan Madura Timur meliputi Pamekasan dan Sumenep, beribukota di Pamekasan.
Pada tahun 1831 Belanda membentuk Korps Barisan Madura sebagai bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang direkrut dari pribumi. Korps Barisan Madura bertugas untuk menjaga keamanan dan juga dikerahkan untuk memadamkan perlawanan kepada Belanda di daerah-daerah di Nusantara. Korps Barisan Madura berada di bawah masing-masing raja di Madura, ditempatkan di Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep.
Pada tahun 1835 usahawan Belanda memulai penanaman tebu di lahan Kerajaan Pamekasan. Areal tebu sempat meluas ke seluruh Madura dengan sistem tanam paksa, hingga dibangun pabrik gula di Pamekasan. Masa keemasan tebu berakhir setelah menyebabkan kekeringan karena menyerap banyak air. Tebu kemudian berganti dengan tembakau yang mulai ditanam dengan sistem kerja kontrak pada tahun 1861 di Desa Proppo.
Bagi Belanda Pamekasan juga bernilai ekonomis sebagai salah satu sentra garam di Madura. Madura adalah pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh Nusantara. Belanda mengontrol langsung produksi dan memonopoli perdagangan garam, yang kerap memicu konflik dengan petani garam. Untuk mengangkut garam Belanda membangun jalur kereta api antara Kalianget dan Kamal pada 1898-1901 yang melewati Kota Pamekasan. Pabrik garam dibangun di Mangunan pada tahun 1904, yang kemudian dipindah ke Desa Bunder. Jalur kereta api resmi ditutup pada tahun 1987 karena kurang diminati penumpang.
TribunMadura.com
sejarah Pamekasan
Pamellengan
Tribun Madura
Pamelingan
Ki Wonorono
Raja Majapahit Wikramawardhana
madura.tribunnews.com
Tradisi Warga Sampang Membuat Ketupat Jelang Maulid Nabi, Gotong Royong Lalu Diserahkan ke Pesantren |
![]() |
---|
Mengenal Baju Pesaan atau Baju Sakera, Pakaian Adat Khas Madura, Kaus Warna Belang Merah-Putih |
![]() |
---|
Ternyata Ini Letak Madura yang Dijuluki Pulau Garam, Punya Keunikan Bentuknya Bak Badan Sapi |
![]() |
---|
Madura United Unggul, Inilah Makna dari Sapeh Kerrab, Anak-anak di Madura Punya Permainan Pe-Sapean |
![]() |
---|
Meriahnya Madura Culture Festival di Sumenep, Achmad Fauzi Sebut Bangkitkan Etnis Seni Budaya Madura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.