Kilas Balik
Siapa Untung Syamsuri, Pelaku G30S/PKI: Pernah Dapat Kenaikan Pangkat Istimewa, Nangis Divonis Mati
Peristiwa sejarah Gerakan 30 September (G30S) 1965 atau G30S PKI tak bisa dilepaskan dari sosok Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsuri.
Karier militer Untung terbilang baik. Ia dipercaya untuk menjabat Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Seperti yang diketahui, Untung kemudian mengangkat diri sebagai Ketua Dewan Revolusi sekaligus memimpin Gerakan 30 September hanya untuk melindungi bapak nasionalis Indonesia, Sukarno yang sekaligus menjadi atasan Untung.
Saat menjadi Ketua Dewan Revolusi, dirinya dikenal dengan nama baru yaitu Untung Syamsuri.
Sosok Frans Pangkey
Masih teringat jelas peristiwa G30S PKI dalam kenangan Frans Pangkey.
Frans Pangkey merupakan mantan pasukan Cakrabirawa.
Pria yang kini berumur 80-an ini tahu banyak hal tentang peristiwa seputar G30S PKI.
Baca juga: Mahfud MD Tantang Bukti Permintaan Maaf Pemerintah ke PKI: Siap Bayar Rp 1 Miliar
Berbincang dengan Frans Pangkey sudah seperti belajar sejarah dari pelakunya langsung.
Seperti pengalaman Frans Pangkey.
Frans Pangkey dulunya adalah pasukan Cakrabirawa.
Potret masa muda Frans Pangkey saat masih bertugas dalam pasukan Cakrabirawa.
Sebelum peristiwa G30S PKI tersebut, Frans Pangkey yang anti PKI disingkirkan dari Cakrabirawa.
Ditemui tribunmanado.co.id akhir pekan lalu di kediamannya di Kelurahan Malalayang, Manado, Frans Pangkey mengaku diusir dari Cakrabirawa karena bentrok dengan Komandan Batalyon 1 Cakrabirawa, Letkol Untung.
"Saya diejek seorang rekan dan kami bertengkar," katanya.
Baku hantam terjadi dan Frans Pangkey menang.
"Saya berhasil pukul bibirnya hingga giginya patah," kata dia.
Ternyata rekannya itu adalah teman sekampung Letkol Untung.
Frans Pangkey pun dipanggil Untung dan diancam.
"Saya balik mengancam, Anda boleh tembak saya, tapi kalau tak mempan Anda akan saya hajar," kata dia.
Untung jengah.
Sudah lama Frans Pangkey dikenal sebagai pria kebal peluru yang punya nyali besar.
Frans Pangkey pun disingkirkan dari Cakrabirawa.
"Saya dipindahkan," kata dia.
Frans Pangkey memaknai peristiwa itu bukan kebetulan.
Sesungguhnya ia sudah lama ingin disingkirkan.
"Saya kan dari Permesta, yang tentu saja anti PKI. Mungkin mereka telah mengamati saya dan mencari cara untuk menyingkirkan saya," katanya.
Frans Pangkey menuturkan, ia punya ilmu kebal yang tak terkalahkan.
Peragaan ilmu kebal Frans Pangkey berhasil memukau Komandan RPKAD Sarwo Edhi.
Itu terjadi saat tes masuk Cakrabirawa.
"Saat itu Sarwo Edhi menantang siapa yang mau maju, hanya saya yang berani," katanya.
Sarwo lantas menunjukkan kemampuannya menembak dan melempar pisau komando.
Beberapa tembakan dari Sarwo Edhi kena kaleng susu.
Namun, ada pula yang sempat mengenai Frans.
"Tapi saya tak luka, pak Sarwo lantas mengagumi keberanian saya," katanya.
Ilmu kebal Frans Pangkey beberapa kali menyelamatkannya dari beberapa palagan pertempuran, salah satunya saat peristiwa Permesta.
Pun saat mendarat di Papua.
"Kala itu saya sudah gabung di TNI dan menyusup dalam rangka pembebasan Irian Barat. Pasukan kami orang Manado semua dan tak ada yang mati," katanya.
Kini di usia senjanya, Frans Pangkey punya pegangan baru, yaitu pencipta alam semesta.
"Tuhan Yesus adalah segalanya bagi saya kini. Saya sudah bertobat, saya sudah jadi murid Yesus, ilmu kebal saya sudah dibuang," katanya.
Frans Pangkey mengaku memperoleh kedamaian dalam Yesus, berbeda dengan saat ia masih memakai ilmu kebal dahulu.
"Saat itu terasa tak ada damai," kata dia.
Kehidupan baru Frans Pangkey berbuah manis, dua anaknya jadi pelayan Tuhan.
Di sisi Tuhan, Frans Pangkey menjalani hidup yang tangguh.
Ia beberapa kali mengidap penyakit kronis.
Terakhir penyakit ginjal, tapi masih sehat wal afiat.
Jenderal A Yani
Cerita lain, sebelum peristiwa Gerakan 30 September 1965 ternyata Jenderal Ahmad Yani sempat melakukan wawancara bersama awak media.
Dalam wawancara itu tidak pernah ada yang menyangka bahwa 30 September akan terjadi peristiwa berdarah.
Dalam peristiwa itu, Kolonel A. Latief yang merupakan Komandan Brigade Infanteri atau Brigif I Kodam V Jakarta Raya (Kodam V Jaya) terlibat karena rumahnya digunakan sebagai tempat rapat persiapan operasi.
Sedangkan Letkol Untung Sjamsuri menggerakkan pasukan untuk menculik sejumlah perwira TNI.
Para perwira yang diculik itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.
Yani gugur akibat ditembak oleh para penculik di kediamannya.
Sedangkan Kapten Czi (Anumerta) Pierre Tendean yang menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution ikut diculik.
Sedangkan Nasution berhasil menyelamatkan diri.
Mereka yang diculik itu dituduh membentuk kelompok Dewan Jenderal dan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Para korban kemudian dibawa ke daerah Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, kemudian dieksekusi.
Jasad mereka dibuang ke dalam sebuah sumur.
Mereka kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.
Wawancara terakhir
Sebelum menjadi korban G-30-S, Ahmad Yani ternyata sempat meladeni awak media pada pagi harinya.
Pada saat itu Yani dan sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat menghadiri upacara penyerahan tanda penghargaan Sam Karya Nugraha di kapal Tampomas, seperti dikutip dari surat kabar Kompas edisi 12 Oktober 1965.
Yani saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Pangkatnya ketika itu letnan jenderal.
Dalam upacara itu Yani bertindak sebagai inspektur upacara.
Tidak ada yang pernah menyangka kalau Yani dan sejumlah perwira tinggi TNI AD yang hadir pada kegiatan itu akan menjadi korban peristiwa berdarah tersebut.
Selepas upacara, Yani dan sejumlah perwira tinggi beristirahat sejenak.
Akan tetapi, tidak lama kemudian Yani menyambangi para jurnalis yang diberi tugas meliput upacara itu.
Yani kemudian mempersilakan para wartawan mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Jullie boleh tanya apa saja. Akan tetapi jangan tanya soal Angkatan Kelima," kata Yani.
Para jurnalis kemudian mengajukan berbagai pertanyaan kepada Yani.
Jenderal lulusan Korps Pembela Tanah Air (PETA) itu kemudian menceritakan pengalamannya saat terlibat dalam operasi menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara.
Bahkan Yani sempat menyapa jurnalis kantor berita Antara yang sempat meliput operasi itu.
"Jij dulu pernah ikut operasi sama saya di Manado bukan," ujar Yani.
Itulah kenangan terakhir para jurnalis dalam mewawancarai Yani sebelum peristiwa berdarah tersebut.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com
Ikuti berita seputar kilas balik
Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsuri
Gerakan 30 September (G30S) 1965
Untung Syamsuri
pasukan Tjakrabirawa
Tribun Madura
TribunMadura.com
G30S PKI
Pemuda Kaffa Ledakkan Diri di Jembatan Junok, Hadang Belanda Masuk Bangkalan, Makamnya Tak Terurus |
![]() |
---|
Sosok Kapolri Jujur yang Diberhentikan Presiden, Semua Dilakukan Demi Bela Nasib Korban Perkosaan |
![]() |
---|
Aksi Berani Paspampres Soeharto Lawan 4 Pengawal PM Israel yang Berulah, Sampai Todongkan Senjata |
![]() |
---|
Aktor Film Pengkhianatan G30S/PKI Ungkap Alasan Soeharto Makamkan Soekarno di Blitar |
![]() |
---|
Profil Joseph Goebbels Menteri Propaganda Nazi, Namanya Disinggung Presiden Prabowo saat Pidato |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.