Berita Bangkalan

Sosok Haji Rawi, Tokoh Madura di Balik Digratiskannya Jembatan Suramadu: Saya Punya Beban Moral

Inilah sosok Haji Rawi, tokoh Madura di balik digratiskannya Jembatan Suramadu oleh Presiden Jokowi.

|
Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Januar
TribunMadura/ Ahmad Faisol
Sebuah kenangan kebersamaan Ketua Umum DPP IKAMA, H Muhammad Rawi bersama Presiden RI Joko Widodo dalam kesempatan Peresmian Pembebasan Jembatan Suramadu pada 27 Oktober 2018 silam. Foto itu dipajang di Sekretariat DPC IKAMA Istimewa Madura di Jalan Raya Desa Jukong, Kecamatan Labang, Bangkalan, Selasa (7/11/2023) 

Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol

TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Inilah sosok Haji Rawi, tokoh Madura di balik digratiskannya Jembatan Suramadu.

Bagi kalangan para pejabat di Istana Negara bahkan Presiden RI Joko Widodo sekalipun, sosok Ketua Umum DPP Ikatan Keluarga Madura (IKAMA) H Muhammad Rawi (63) sudah tidak asing lagi.

Pengusaha sukses di Jakarta asal Dusun Mragung, Desa Sanggra Agung, Kecamatan Socah itu bahkan yang mendorong presiden agar Jembatan Suramadu gratis.

‘Pak Haji (Rawi), jangan sampai setelah Jembatan Suramadu gratis, tidak ada pembangunan di Madura’. Begitulah kalimat yang dilontarkan Presiden Joko Widodo kepada Haji Rawi ketika keduanya berada di bentang tengah Jembatan Suramadu pada momen Peresmian Pembebasan Jembatan Suramadu pada 27 Oktober 2018 silam.

Dua pekan sebelum Peresmian Pembebasan Jembatan Suramadu, Haji Rawi dalam sebuah kesempatan mengatakan kepada Presiden Jokowi bahwa Madura sejatinya belum merdeka karena Jembatan Suramadu masih berbayar.

Baca juga: Rombongan Pesepeda Masuk Jalur Mobil di Jembatan Suramadu, Polres Bangkalan: Itu Lebih Berbahaya

Mendengar itu, lanjut Haji Rawi, Presiden Jokowi tersenyum dan meminta waktu satu minggu.

Seminggu kemudian, Haji Rawi dihubungi Menteri Sekretaris Negara, Pratikno dengan informasi bahwa ‘Madura Merdeka’.

“Nah di situlah (saat di bentang tengah Jembatan Suramadu) Pak Jokowi menagih. Sejak itulah saya mempunyai beban moral. Akhirnya saya mengajak teman-teman investor datang agar mau bersedia berinvestasi di Madura,” ungkap H Rawi kepada Tribun Madura di Sekretariat DPC IKAMA Istimewa Madura di Jalan Raya Desa Jukong, Kecamatan Labang, Bangkalan, Selasa (7/11/2023).

Tidak tanggung-tanggung, H Rawi tidak sekedar mengajak para pengusaha nasional namun juga para pengusaha asal Dubai dan Australia berkeliling ke lokasi-lokasi potensi investasi di Bangkalan. Kala itu masih ada lembaga adhoc kepanjangan tangan pemerintah pusat, yakni Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS).

Seperti di sepanjang akses Jembatan Suramadu sisi Madura hingga ke kawasan Pelabuhan Tanjung Bulu Pandan di Kecamatan Klampis. Para investor disebut Haji Rawi tertarik untuk berinvestasi, bahkan ada yang ingin membangun pembangkit listrik di akses Suramadu.

“Saya ajak rapat di sini (Sekretariat DPC IKAMA Istimewa Madura). Saya fasilitasi hampir habis Rp 1,4 miliar, mulai dari pesawat hingga penginapan hotel bintang 5 saya yang tanggung. Tetapi semua bubar setelah Covid-19 menerjang,” kenang H Rawi.

Disinggung apakah saat ini para investor itu bisa bisa dihadirkan kembali?. Haji Rawi menjawab dengan tegas bahwa peluang tersebut masih terbuka lebar. Mengingat Bangkalan dan tiga kabupaten lain di Pulau Madura dengan kekayaan alamnya, masih mempunyai tempat di hati para investor untuk mengembangkan usahanya.

“Saya masih yakin lah, mudah-mudahan pemerintahan berikutnya betul-betul konsisten untuk membangun Madura,” pungkasnya.

Ada juga sosok lainnya dari Madura yang menarik perhatian.

Sosok Haji Her alias H. Khoirul Umam pengusaha sukses asal Madura Pamekasan yang membeli mobil bekas Gus Dur Presiden ke-4 Indonesia. 

Haji Her adalah Chief Executive Officer (CEO) PT Bawang Mas Grup, perusahaan rokok asal Pamekasan. 

H. Khoirul Umam menceritakan, alasan membeli mobil berwarna hitam ini karena ngefans dengan almarhum Gus Dur.

Kata dia, mobil tersebut dibeli dari salah satu pengusaha di Jakarta Selatan seharga Rp 350 juta.

Sebelumnya, mobil tersebut sudah pindah pemilik beberapa kali.

"Harganya Rp 350 juta, hampir Rp 400 juta lah sama komisinya," kata H. Khoirul Umam saat diwawancarai usai jadi pemateri di acara Halaqah Tembakau di Kantor PCNU Pamekasan, Sabtu (29/7/2023).

Mobil tersebut dibeli di Showroom Point Auto Gallery, Jakarta Selatan.

Mobil itu pernah dipakai Gus Dur saat menjadi Presiden RI ke - 4.

Mobil ini bermerek Kia Enterprise V6, 3600 Cc dengan plat nomor B 1 KIA.

Penuturan pria yang akrab disapa Haji Her ini, sekira dua tahun lalu, mobil eks Presiden Gus Dur itu pernah dia tawar ke pemiliknya sekitar Rp 500 juta.

Namun sewaktu itu, pemiliknya belum mengizinkan untuk dibeli.

Tak disangka, saat Haji Her kembali menawar untuk membeli mobil tersebut di tahun ini, pemiliknya akhirnya membolehkan.

"Tawaran kedua baru dijual oleh pemiliknya, mungkin butuh uang," kelakar Haji Her.

Di mata Haji Her, mobil eks Presinden Gus Dur yang kini dimilikinya ini tidak bisa dinilai dengan uang.

Komitmen dia, meski ada yang mau membeli mobil tersebut seharga Rp 3 miliar tidak akan dijual.

Sebab mobil tersebut merupakan mobil istimewa milik almarhum Gus Dur yang diberi oleh Presiden Korea.

"Ini BPKB mobilnya ada dua, ada BPKB dari Korea dan BPKB Indonesia yang khusus dari Kepresidenan. Ya lengkap suratnya," ungkap Haji Her.

Tak hanya itu, cerita Haji Her, mobil Kia Enterprise berwarna hitam ini merupakan mobil yang dibuat khusus Presiden Korea untuk diberikan kepada Gus Dur.

Tempat duduk di dalam mobil itu dirancang khusus agar penumpangnya bisa selonjoran.

"Ini mobil satu-satunya di Indonesia. Kalau rencana memang tidak mau dijual lagi meski ada yang nawar Rp 4 miliar tidak saya kasih," tutupnya.

Sosok Gus Dur Bapak Pluralisme Bangsa

30 Desember 2009 atau 11 tahun yang lalu, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, berpulang.

Gus Dur merupakan guru bangsa, tokoh pruralis yang dirindukan banyak kalangan, terutama kaum minoritas di Indonesia. 

Kepergiannya menjadi duka mendalam dan kehilangan besar bagi Indonesia.

Gus Dur mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pada Rabu (30/12/2009), pukul 18.45 WIB.

Melansir Harian Kompas, 31 Desember 2009, Gus Dur masuk rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun setelah melakukan perjalanan ziarah ke makam sejumlah ulama di Jawa Timur.

Selama perawatan, kondisinya sempat membaik.

Namun, pada Rabu (30/12/2009) sekitar pukul 11.30 WIB, kesehatannya kembali memburuk terkait komplikasi penyakit yang dideritanya, yaitu ginjal, diabetes, stroke, dan jantung.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Tribun Bali)
Pukul 18.15 WIB, tim dokter menyatakan bahwa kesehatan Gus Dur dalam kondisi kritis. Setengah jam kemudian, Gus Dur meninggal dunia.

Kabar wafatnya presiden keempat RI ini kemudian dengan cepat tersiar secara luas.

 Sejumlah tokoh bangsa dan masyarakat pun berbondong-bondong datang ke RSCM untuk memberikan penghormatan.

Ratusan orang berdesakan mengiringi keranda jenazah Sang Guru Bangsa.

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO)
Mengenang 10 tahun kepergian Gus Dur, berikut perjalanan yang dilalui semasa hidupnya.

Gus Dur lahir di Jombang, 7 Agustus 1940. Ia merupakan anak dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Hj. Solechah wahid Asyim.

Kakeknya, KH Hasyim Asy'ari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama.

Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di Jakarta dan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada 1956.

Selanjutnya, Gus Dur menjadi santri di Pesantren Tambakberas Jombang, Jawa Timur.

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah pada 11 Juli 1968 dan dikaruniai empat anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Pada tahun 1970, ia menempuh pendidikan tinggi di Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar, Kairo dan juga pada Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Irak.

Perjalanan karier dan politik

Pada tahun 1959 hingga 1963, Gus Dur menjadi guru Madrasah Mu'allimat, di Jombang, Jawa Timur.

Ia juga pernah menjadi dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, pada tahun 1972 dan menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang sebagai sekretaris pada 1974.

Kemudian, ia mendirikan Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta, pada tahun 1976.

Gus Dur juga menjadi anggota Syuriah Nahdlatul Ulama dan terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama empat periode (1984-1989, 1989-1994, 1994-1999, 2000-2005).

Pada tahun 1998, ia turut membidani terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan di Ciganjur.

Kemudian, bersama Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X, dan Megawati Soekarnoputri, mengadakan dialog nasional di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Dialog ini menghasilkan 8 butir kesepakatan, di antaranya adalah mengenai penghapusan Dwifungsi ABRI dan pengusutan harta kekayaan soeharto.

Pada 20 Oktober 1999, Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI keempat, menggantikan BJ Habibie. Ia memperoleh 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilihnya.

Gus Dur mengumumkan Kabinet Persatuan Nasional pada 26 Oktober 1999. Dalam susunan kabinet tersebut, Departemen Sosial dan Departemen Penerangan tidak dicantumkan (dibubarkan).

Selain itu, ia juga membentuk Kementerian Negara Urusan HAM dalam kabinetnya.

Kebijakan lain dari Gus Dur di masa pemerintahannya yang singkat adalah menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat Cina.

Ia juga mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1996 tentang pelarangan penyebaran marxisme, komunisme, dan leninisme.

Namun, mandat Gus Dur selaku Presiden RI kemudian dicabut melalui Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001.

Saat itu, ia memberlakukan sejumlah dekrit, antara lain membekukan MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan membentuk badan-badan yang diperlukan untuk mengadakan pemilu satu tahun.

Selain itu, Gus Dur juga menyelamatkan gerakan reformasi total dan membekukan Partai Golkar sembari menunggu putusan MA.

Setelah tidak lagi menjadi Presiden, Gus Dur masih aktif di PKB dan tetap menjadi Ketua Umum Dewan Syuro PKB.

Tokoh Pluralisme dan Anti Diskriminasi

Gus Dur adalah tokoh Muslim yang menjunjung tinggi persatuan nasional dan kebhinekaan di tanah air.

Ia sosok yang sangat anti diskriminasi dan lantang membela minoritas. 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, di era kepemimpinanya, Gus Dur menunjukkan bahwa ia tak hanya bicara.

Salah satunya adalah mengembalikan hak-hak umat beragama Konghucu yang terpasung selama orde baru, atau mencabut peraturan yang melarang kegiatan adat warga Tionghoa secara terbuka.

Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono , sebagaimana yang diberitakan kompas.com pada tanggal 31 Desember 2009, menyebut Gus Dur sebagai "Bapak Pluralisme Indonesia".

"Sebagai pejuang reformasi almarhum selalu ingat akan gagasan universal, bahwa kita menghargai kemajemukan melalui ucapan, sikap, dan perbuatan. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik, dan kedaerahan. Beliau adalah bapak multikulturalisme dan plurasme di Indonesia," kata SBY

Lebih lanjut SBY yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Negara, mengatakan sejarah Indonesia mencatat, Gus Dur adalah tokoh yang memiliki jasa besar terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia dalam segi keagamaan, demokrasi dan anti diskriminasi.

Bapak Tionghoa Indonesia

Sebagaimana yang diterbitkan di Kompas, tanggal 21 Januari 2020, Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menyudahi satu permasalah diskriminasi pada etnis Tionghoa hingga akhirnya mereka bisa merayakan Imlek secara bebas dan terbuka. 

Keppres tersebut mematahkan aturan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Di dalam peraturan lama, kelompok Tionghoa di Indonesia tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga.

Alasannya, saat itu Presiden Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi. 

Kala itu, etnis Tionghoa juga diminta untuk mengganti identitas menjadi nama Indonesia.

Ketika resmi menjabat sebagai Presiden, Gus Dur banyak tidak sependapat dengan pemikiran Soeharto.

Etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia karena itu harus mendapatkan hak-hak yang setara. Termasuk dalam menjalankan ibadah keagamaan. 

Gus Dur juga sempat menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.

Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama. Dia kemudian menjadikan hari raya Imlek sebagai hari libur fluktuatif. Artinya hanya yang merayakan yang diperbolehkan libur. 

Baru pada 2003, tepatnya pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari libur nasional. 

Selain pemikirannya, Gus Dur juga sempat mengaku sebagai keturunan Tionghoa.

"Saya ini China tulen sebenarnya, tetapi ya sudah nyampurlah dengan Arab, India," ungkap Gus Dur, seperti diberitakan Kompas.com pada 30 Januari 2008 silam. 

Ucapan Gus Dur itu memang bukan yang pertama kalinya. Tetapi kala itu memang cukup membuat terperangah. Berdasarkan cerita Gus Dur, dia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menjadi selir dengan raja di Indonesia.

Dari situ, Putri Cempa memiliki dua anak, yakni Tan Eng Hwan dan Tan A Hok. Tan Eng Hwan kelak dikenal sebagai Raden Patah, sementara Tan A Hok adalah seorang mantan jenderal yang sempat menjadi duta besar di China. 

Dari garis Raden Patah itulah kemudian Gus Dur mengaku mendapatkan keturunan Tionghoa-nya. Pengakuan Gus Dur itu juga dikuatkan oleh tokoh NU lainnya, Said Aqil Siradj, pada tahun 1998 seperti yang ditulis dalam buku Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia. 

Said Aqil bercerita, Tan Kim Han memiliki anak bernama Raden Rachmat Sunan Ampel. Salah satu keturunannya adalah KH Hasyim As'ari yang selanjutnya memiliki anak bernama KH Wahid Hasyim. Wahid Hasyim pun memiliki anak bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

"Jadi, Gus Dur itu Tionghoa, maka matanya sipit," ujar Said sambil tersenyum. "Dengan demikian, tidak ada istilah pro dan nonpro serta Muslim dan non-Muslim," ungkap Said Aqil waktu itu. 

Tidak hanya keturunan Tionghoa, Gus Dur juga mendapat gelar 'Bapak Tionghoa Indonesia' pada 10 Maret 2004 silam dari kelenteng Tay Kek Sie. Gelar itu bukan didasarkan pada keturunan Tionghoa yang diklaim Gus Dur, melaikan gelar didapat karena kebijakan dan pemikiran-pemikirannya yang plural. 

Saat penobatan, dia hadir dengan menggunakan baju cheongsam, meski harus duduk di kursi roda. Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009, makam ulama NU ini masih didatangi warga Tionhoa yang ingin berdoa. Bahkan foto mendiang Gus Dur masih terpampang sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa-jasanya.

 

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved