Berita Bangkalan

Kisah Warung Legendaris Mak Cenneng Bangkalan, Pertahankan Racikan Sate Kambing dari Rumah Sederhana

Sajian khas bumbu kecap menjadi salah satu resep sederhana penunjang eksistensi kuliner sate dan gule

Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Januar
TribunMadura.com/ Ahmad faisol
GENERASI KEDUA : Astamin (87), anak dari Mak Cenneng, pemilik warung sate-gule legendaris di Bangkalan sejak tahun 1914 saat ditemui di rumahnya, Kampung Keranan, Kelurahan Pangeranan, Minggu (27/4/2025). Kini Astamin sudah tidak ke warung sate lagi setelah berjualan sejak tahun 1965, warung sate dipasrahkan kepada anak dan menantunya atau generasi ketiga Mak Cenneng 

Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol

TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Sajian khas bumbu kecap menjadi salah satu resep sederhana penunjang eksistensi kuliner sate dan gule Kabupaten Bangkalan, Madura, Mak Cenneng sejak tahun 1914.

Racikan sederhana bumbu kecap itu ternyata mampu menjaga cita rasa sate kambing hingga 111 tahun, secara terumurun para pelanggannya pun bukan saja dari Madura dan Pulau Jawa, namun juga berasal dari Sumatera dan Kalimantan.  

Konsep sederhana ternyata juga tergambar pada suasana rumah Astamin (87), anak dari Mak Cenneng di Kampung Keranan, Kelurahan Pangeranan, Kota Bangkalan. Dijumpai pada Minggu (27/4/2025), Astamin tengah menyiapkan ratusan tusuk sate bersama menantunya, Hakam (57).  

Gemericik suara air dari kran tempat cuci piring terdengar lirih dari tempat duduk Astamin. Setelah berjualan sejak tahun 1965, Astamin belakangan ini sengaja dilarang datang ke  Warung Sate Mak Cenneng yang berlokasi sekitar 600 meter di Jalan Letnan Sunarto, Kampung Buja’an, Kelurahan Pangeranan.

“Abah (Astamin) sudah tidak boleh ke (warung) sana karena lalu lintas ramai, jadi saya bersama adik yang berjualan. Saya kalau sudah jam 8 malam, pasti ke sana menggantikan adik,” ungkap Hakam kepada Tribun Madura.

Mak Cenneng mengawali berjualan sate di tahun 1914 di kawasan pasar terminal pasar lama, sekarang menjelma sebagai Gedung Rato Ebu dan Taman Wisata Paseban. Kemudian Mak Cenneng berpindah di sekitar jembatan kawasan pecinan dan saat ini menetap di Jalan Letnan Sunarto atau sekitar 50 meter dari jembatan pecinan.

“Isteri saya adalah generasi ketiga, insya Allah tetap kami pertahanakan nama Mak Cenneng, termasuk racikan bumbunya selagi kami bisa,” jelas Hakam.

Meski berjualan sejak tahun 1914, namun harga seporsi sate-gule Mak Cenneng masih terbilang ramah di kantong. Bayangkan selama 111 tahun, harga sepuluh tusuk sate kambing tidak jauh berbeda yakni seharga Rp 25 ribu. Harga serupa juga untuk seporsi atau semangkuk gule kambing

Hakam mengatakan, ada beberapa pelanggan lama tetap meminta untuk disajikan bumbu kuno, yakni kecap. Tetapi ada juga pelanggan generasi baru, meminta tambahan bumbu kacang. Bahkan ada juga pelanggan yang penasaran dengan memesan dua bumbu sekaligus, bumbu kecap dan bumbu kacang untuk mengetahui perbedaan cita rasanya.

“Produksi sate itu tergantung besar kecilnya kambing yang disembelih, kadang satu ekor kambing bisa jadi 800 tusuk, 1000 tusuk hingga 1500 tusuk. Sejak adanya akses Suramadu,  rombongan peziarah dari Pesarean Syaikhona Kholil kan banyak dari luar pulau, mereka singgah ke warung,” pungkas Hakam.

Selama menggantikan Mak Cenneng, Astamin mengaku banyak kenangan bersama para pelanggan dari berbagai daerah seperti Semarang, termasuk dari Pulau Sumatera dan Kalimantan yang masih menjaga silaturahmi sambil menyantap sate dan gule yang disajikan di warung Mak Cenneng.  

“Pernah ada rombongan satu bus dari Semarang, cari nama saya Pak Astamin. Setiba di warung bertanya, masih banyak satenya?. Saya jawab masih ada sekitar 500 tusuk. Begini pak Astamin, sajikan masing-masing orang sebanyak 5 tusuk nanti kalau cocok biar nambah sendiri. Belakangan ternyata diborong semua,” kenang Astamin sambil tersenyum.

Kenangan tidak kalah menarik ketika Astamin melayani rombongan satu mobil dari Pulau Sumatera yang datang ke Warung Mak Cenneng hanya untuk memakan sate dan gule tanpa menyantap nasi atau lontong.

“Setelah selesai naiklah ke mobil tetapi turun lagi dan bertanya, nama warung satenya apa?. Saya jawab yang terkenal Pak Cenneng, nanti di Sumatera mau dipromosikan katanya,” pungkas Astamin sambil mengiris daging sate yang juga disediakan sebagai pelengkap daging sate kambing.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved