"Saya mengerti maksud saudara, tapi tolonglah argumentasinya disodorkan. Misal rumah sakit, adakah di kabupaten ini yang tidak setuju Pak Said (MH Said Abdullah) bangun rumah sakit, rasanya tidak."
"Adakah di kabupaten ini yang tidak setuju Pak Said memperbaiki jalan di sekitar rumah sakit, rasanya tidak ada," tuturnya.
"Belum pula kita tidak tahu kalau rumah sakit itu selesai, pak Said gratiskan semua. Kan kita tidak tahu juga."
"Jadi, menyalah pahami ini konsekuensi paling dekat dengan cara berfikir tidak lengkap," kata Darul Hasyim Fath.
"Jadi kalau serius barang ini jadi soal, dorong dengan interplasi dan kita tarung di parlemen. Karena tidak bisa ber-agitasi, mempropaganda semua urusan seolah-olah rezim ini tak ada benarnya," paparnya.
Jika soal pengentasan kemiskinan yang disinggung M Khalqi KR (kubu Final) hasil dari kreatif setiap individu di perantauan, Darul Hasyim Fath mengakuinya.
Tetapi jika pemerintah daerah tidak berpangku tangan, tidak begitu juga.
RTRW itu dibuat kata politisi PDI P yang dibesarkan dari tradisi Bugis dan Madura ini, melalui asas-asas legal drafting dan salah satu asasnya mutatis mutandis.
"Jadi tidak ada satupun perda yang disahkan, diterbitkn registernya oleh pemerintah Provinsi, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sebagai perwujudan dari sistem pemerintahan dekonsentrasi menerbitkan peraturan daerah yang dianggap melawan undang-undang diatasnya," papar pria asal Desa Masalima, Kecamatan Masalembu ini.
"Jadi RTRW terbaru itulah yang berlaku dan sesuai dengan asas mutatis mutandis," tutur pendiri Yayasan Pusat Studi Bung Karno (YPSBK) Madura ini.
Ikuti berita seputar Pilkada Sumenep 2024