Salah satunya, pabrikan tidak menyampaikan secara terbuka kepada publik atau pemerintah tentang kebutuhan serapan selama masa penen.
Untuk itulah, pihaknya mencurigai banyak pabrikan yang memanipulasi angka serapan. Jika kebutuhannya dua ribu ton, pabrikan hanya melaporkan butuh seribu ton.
Setelah target yang sesungguhnya terpenuhi, maka pabrikan menutup gudang alias menghentikan pembelian.
"Sebenarnya pembelian tembakau ini masih terus dilakukan. Tetapi, pada prosesnya melalui perantara pihak lain," katanya.
Modal biaya pembelian tembakau yang menggunakan perantra pihak lain biasanya ditanggung oleh pabrikan. Sedangkan tembakaunya disimpan di gudang khusus yang dikelola oleh pihak non korporasi.
Setelah semua pabrikan tutup gudang lanjutnya, maka tembakau yang disimpan secara terpisah itu dipindahkan ke gudang asli milik perusahaan.
Strategi ini lanjutnya, ternyata banyak diterapkan pabrikan untuk menghindari bengkaknya pembayaran pajak pembelian tembakau. Sebab, makin banyak pembelian hasil panen tembakau, maka pajak yang dikenakan juga makin tinggi.
"Maka dari itulah, pengawasan ini harus dilakukan secara optimal. Tujuannya, gar peluang terjadinya permainan itu dapat diminimalisir," tegas Irwan Hayat.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com