Menurutnya, keluarga tidak pernah melakukan jual beli maupun hibah atas tanah tersebut.
Dirinya juga rutin membayar tagihan PBB yang terakhir dibayarkan pada 2024 lalu, dengan luas tanah 260 meter persegi dan bangunan 120 meter persegi.
Baca juga: Kendaraan Pengangkut Sampah DLH Bangkalan Nunggak Pajak, Bupati Kerahkan Satgas Aset Daerah
“Tidak pernah menjual tanah, hibah atau apapun. Bapak juga saya bilang jangan menandatangani apapun,” terang Sawali.
Ia membenarkan pada 2023 keluarganya sempat dimintai uang sebesar Rp 80 juta oleh W.
Karena keberatan, pihak keluarga kemudian mengikuti mediasi di balai desa yang terakhir berlangsung pada 2024.
Pada mediasi itu, Sawali sempat diperlihatkan fotokopi sertifikat tanah atas nama W.
“Nuntutnya (W) harus bayar Rp 80 juta nanti sertifikat mau dikasihkan,” tuturnya.
Sawali menyebut, orang tuanya telah menempati lahan itu sejak 1963, jauh sebelum terbit Letter C.
Saat ini rumah tersebut dihuni Mbah Wajib bersama dirinya serta salah satu dari tiga anak Mbah Wajib.
Meski masih menghuni rumah tersebut, keluarganya berharap hak kepemilikan kembali diakui atas nama Wajib.
Baca juga: Ismanto Ketar-ketir Usai Viral Didatangi Petugas Pajak Perkara Rp2,8 M, Kini Minta Video Dihapus
“Harapan kami munculnya sertifikat atas nama bapak. Belum ada titik temu sampai 8 kali mediasi di balai desa. Tuntutannya harus mengeluarkan uang 80 juta,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pihaknya sudah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mungkid serta melapor ke Polresta Magelang.
Namun, gugatan yang diajukan dinyatakan bukan kewenangan pengadilan, sementara penyidikan di kepolisian juga dihentikan.
“Belum ada hasilnya karena pengadilan memutuskan tidak berwenang mengadili. Lalu kalau kayak gini siapa lagi yang berwenang,” terang Sawali.
Sementara itu, Kepala Desa Madyogondo, Sawal, menjelaskan bahwa berdasarkan ricik desa tahun 1959, tanah tersebut tercatat atas nama Buang, yang berdomisili di Temanggung.