Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk

Apa Itu PTSD? Luka Tak Kasat Mata yang Mengintai Korban Tragedi Ponpes Al Khoziny Sidoarjo

Duka mendalam menyelimuti insiden ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny Jawa Timur, yang menelan sebagian besar korban dari kalangan anak-anak.

Editor: Taufiq Rochman
Tribun Jatim Network/M Taufik
PROSES EVAKUASI - Petugas melakukan evakuasi santri korban reruntuhan bangunan Ponpes Al khoziny, Buduran, Sidoarjo, Rabu (1/10/2025). Seorang korban masih selamat satu lainnya meninggal. 

TRIBUNMADURA.COM - Duka mendalam menyelimuti insiden ambruknya mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menelan sebagian besar korban dari kalangan anak-anak.

Hingga kini, upaya pencarian menemukan 61 jenazah dalam kondisi utuh dan tujuh bagian tubuh.

Namun, perhatian kini harus tertuju pada para korban yang berhasil diselamatkan.

Di balik luka fisik yang perlahan pulih, dampak psikologis yang kompleks mengintai.

Psikolog Klinis Analisa Widyaningrum mengingatkan bahwa bencana semacam ini berpotensi memicu trauma berat pada anak.

Pendampingan mental intensif menjadi krusial agar tragedi ini tidak meninggalkan luka tak kasat mata berupa gangguan mental berkepanjangan bagi generasi muda Al Khoziny.

Bahkan dalam banyak kasus, trauma itu bisa berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

PTSD dalam Bahasa Indonesia disebut Gangguan Stres Pasca-Trauma.

Baca juga: Operasi Pencarian Ponpes Al Khoziny Selesai: 171 Korban, 67 Meninggal Dunia

PTSD adalah gangguan mental yang dapat terjadi pada seseorang setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang ekstrem, seperti: kecelakaan serius, kekerasan fisik atau seksual, perang atau konflik bersenjata, bencana alam, kematian orang terdekat secara mendadak.

Orang yang mengalami PTSD sering kali terus terbayang-bayang oleh kejadian tersebut, seperti mimpi buruk atau kilas balik seolah kejadian itu terjadi lagi.

Kadang mereka jadi menghindari hal-hal yang mengingatkan mereka pada peristiwa itu, seperti tempat, orang, atau pembicaraan tertentu.

Mereka juga bisa jadi lebih mudah marah, takut, gelisah, atau sulit tidur.

Beberapa orang merasa kosong, sedih terus-menerus, dan menjauh dari orang lain. PTSD bisa sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi kabar baiknya adalah kondisi ini bisa diobati.

Dengan bantuan psikolog, terapi yang tepat, obat jika diperlukan, dan dukungan dari orang sekitar, banyak orang bisa pulih dan merasa lebih baik.

Jadi, kalau seseorang merasa terganggu terus-menerus setelah mengalami sesuatu yang traumatis, penting untuk mencari bantuan agar tidak merasa sendirian dan bisa sembuh.

“Ada satu kekhawatiran ketika trauma terhadap disaster itu terjadi post-traumatic stress disorder atau PTSD."

"Nah, PTSD ini mengarah pada ketakutan berlebih sampai mengganggu aktivitas, membuat anak sulit belajar, bahkan bisa sampai tidak bisa tidur atau menggigil ketakutan,” ujar Analisa saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).

Ketakutan yang Tidak Hilang Meski Luka Telah Pulih

PTSD pada anak-anak bisa muncul dalam berbagai bentuk. 

Ada yang menjadi sangat takut ketika mendengar suara keras, ada yang menolak kembali ke tempat gelap atau tertutup.

Bahkan ada yang menolak tidur sendirian.

Reaksi ini adalah respons alami tubuh yang berusaha melindungi diri dari hal-hal yang diasosiasikan dengan peristiwa traumatis.

Analisa menegaskan, jika kondisi tersebut tidak segera ditangani, trauma dapat mengakar dan memengaruhi tumbuh kembang anak di masa depan.

“Kalau tidak tertangani dengan baik, PTSD ini akan menjadi trauma berkepanjangan."

"Biasanya muncul ketakutan seperti fobia terhadap ruangan gelap atau tertutup,” jelasnya.

Dampak pada Pertumbuhan Mental Anak

Trauma yang tidak diatasi bisa menghambat berbagai aspek perkembangan anak, termasuk sosial, emosional, hingga akademik. 

Anak mungkin sulit fokus, kehilangan semangat belajar, atau menarik diri dari lingkungan sosial.

Beberapa anak bahkan bisa menjadi hiperwaspada, merasa seolah bahaya bisa datang kapan saja.

“Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak yang setiap kali mendengar suara keras langsung ketakutan."

"Itu bukan sekadar takut biasa, tapi bentuk memori trauma yang terus aktif,” kata Analisa.

Tanggung Jawab Bersama

Dalam situasi pascabencana, Analisa menekankan bahwa masyarakat juga perlu memahami pentingnya memberi ruang aman bagi anak-anak korban.

Anak perlu didengar, bukan dihakimi, dipeluk, bukan ditekan untuk cepat melupakan.

“Anak mungkin tidak akan lupa kejadian itu. Tapi yang penting adalah bagaimana ia bisa mengendalikan diri ketika ketakutan muncul,” ujarnya.

Analisa berharap pemerintah dan lembaga sosial memberi perhatian lebih pada pemulihan psikologis anak-anak di lokasi bencana. 

Karena luka batin yang tak terlihat bisa berdampak jauh lebih lama daripada luka fisik yang sembuh di permukaan.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved