Berita Pamekasan
Sejarah Singkat Vihara Avalokitesvara Pamekasan, Mengandung Situs Peradaban Kerajaan Majapahit
Vihara Avalokitesvara merupakan Tempat ibadah umat Tri Dharma terbesar di Madura.
Penulis: Kuswanto Ferdian | Editor: Ayu Mufidah Kartika Sari
Laporan Wartawan TribunMadura.com, Kuswanto Ferdian
TRIBUNMADURA.COM, PAMEKASAN - Vihara Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu situs peninggalan peradaban manusia masa lampau yang sangat menarik dan berarti.
Menurut Ketua Vihara Avalokitesvara, Kosala Mahinda, Vihara Avalokitesvara merupakan TITD (Tempat Ibadah Tri Darma) Kwan Im Kiong yang terletak di pantai Talang Siring Kampung atau Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis.
Tempat ini terletak kurang lebih 17 km sebelah timur Kabupaten Pamekasan.
"Bagi kalangan warga Tionghoa, Kelenteng Kwan Im Kiong sebutan lain untuk Vihara Avalokitesvara, mempunyai keunikan tersendiri," katanya kepada TribunMadura.com, Selasa (5/2/2019).
• Vihara Avalokitesvara Raih Rekor MURI, Gelar Festival Dalang Wayang Kulit Diikuti 10 Negara
Vihara Avalokitesvara merupakan Tempat ibadah umat Tri Dharma terbesar di Madura.
Sejumlah warga Tionghoa mengaku tertarik datang ke Vihara Avalokitesvara mempunyai sejarah yang panjang.
Ada semacam legenda atau cerita lisan yang telah berlangsung turun-temurun termasuk sisa-sisa peninggalan budaya jaman Majapahit.
"Pada awal abad ke-14 terdapat sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit," jelas Kosala Mahinda
• Pantai Talang Siring Pamekasan Jadi Destinasi Populer saat Libur Imlek, Spot Ini Banyak Dikunjungi
"Raja-raja Jamburingin yang masih keturunan Majapahit itu mempunyai rencana membangun candi untuk tempat beribadah, tepatnya di kampung Gayam, kurang lebih dua kilometer ke arah timur Kraton Jamburingin dan mendatangkan perlengkapannya lewat Pantai Talang Siring dari Kerajaan Majapahit," sambung dia.
Kosala Mahinda menjelaskan, dahulu, Pantai Talang dijadikan tempat berlabuh perahu-perahu dari seluruh penjuru nusantara karena karena pantainya yang landai dan bagus pemandangannya.
Terlebih bagi armada Kerajaan Majapahit untuk mensuplai bahan-bahan keperluan keamanan ataupun spiritual di wilayah Pamekasan. Di antaranya, pengiriman patung-patung dan perlengkapan ibadah.
• Pencuri Motor di Pamekasan Jadi Bulanan Warga, Tertangkap Setelah Ban Kendaraan Curiannya Bocor
Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin sama sekali tidak terangkat setelah tiba di Pelabuhan Talang.
"Penduduk pada waktu itu hanya bisa mengangkat beberapa ratus meter saja dari pantai. Akhirnya, penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pantai Talang," terangnya.
Tempat Candi yang tidak terwujud itu, sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung merupakan salah satu desa di Kecamatan Poppo, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Jamburingin.
Dalam bahasa Madura, Burung diartikan sebuah kegagalan (tidak jadi).
• Polres Jember Lacak Lokasi Produksi Rokok Tanpa Pita Cukai usai Tangkap 3 Pengantar Asal Pamekasan
Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai pudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan yang sangat baik di Pulau Madura, termasuk daerah Pamekasan.
"Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang, serta lenyap terbenam dalam tanah," ujarnya.
Sekitar tahun 1800, lanjut Kosala Mahinda, Pak Burung tidak sengaja menemukan patung-patung dari Majapahit tersebut di ladangnya.
Kabar penemuan itu sangat menarik perhatian penjajah Belanda dan meminta Bupati Pamekasan, Raden Abdul Latif Palgunadi alias Panembahan Mangkuadiningrat I (1804-1842), untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan.
• Duta Lalu Lintas Polres Pamekasan Ajak Generasi Millenial Tertib dan Taat Peraturan
"Tetapi, karena keterbatasan peralatan saat itu, proses pemindahan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan gagal juga. Patung-patung tersebut tetap berada di lokasi ketika ditemukan," terangnya.
Kurang lebih 100 tahun kemudian, sebuah keluarga Tionghoa membeli ladang tempat penemuan patung-patung tersebut.
Setelah dibersihkan, diketahui bahwa patung-patung tersebut bukan sembarang patung. Patung-patung tersebut memiliki khas Buddha beraliran Mahayana yang punya banyak penganut di daratan Tiongkok.
"Salah satu patung itu ternyata patung Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara. Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah: 36 cm dan tebal bawah: 59 cm," terang Kosala Mahinda.
• Kepergok Isap Sabu di Rumahnya, Pria di Malang Mengaku Dapat Narkoba dari Napi Lapas Klas I Malang
Kosala Mahinda melanjutkan, kabar ini pun tersebar luas di kalangan orang Tionghoa di Pamekasan dan Pulau Madura umumnya.
Sejak itulah dibangun sebuah kelenteng untuk menampung patung Kwan Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Tionghoa.
"Kelenteng Kwan Im Kiong Vihara Avalokitesvara Madura yang mempunyai sejarah dan kekhasan inilah sejak dulu menjadi tujuan warga Tionghoa," jelas Kosala Mahinda.
• Dishub Kabupaten Malang Terapkan E-Parsel, Sistem Elektronik Parkir Cegah Kebocoran Retribusi
"Tidak hanya pengunjung dari Jawa Timur, dari luar Pulau Jawa bahkan luar negeri pun kerap memanfaatkan kesempatan untuk datang bersembahyang di kelenteng Kwan Im Kiong," sambung dia.
Kini, setelah adanya Jembatan Suramadu, kunjungan wisatawan, khususnya warga Tionghoa, ke kelenteng Kwan Im Kiong meningkat pesat.
Hampir setiap hari ada warga yang mampir ke Vihara Avalokitesvara di sekitar kawasan pantai wisata Talangsiring ini, baik sekadar melihat maupun khusus bersembahyang.
• Jelang Tahun Baru Imlek, Klenteng Kwan Sing Bio Tuban Ramai Dikunjungi Masyarakat