Berita Blitar

Datangkan Hujan Dengan Ritual Tiban, Warga Blitar Rela Dicambuk Bergantikan Hingga Kulit Terkelupas

Datangkan Hujan Dengan Ritual Tiban, Warga Blitar Rela Dicambuk Secara Bergantikan Hingga Kulit Terkelupas.

Penulis: Imam Taufiq | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNMADURA/IMAM TAUFIQ
Rohman (44), saat bertarung dengan Siswoko (pakai helm) pada saat Acara Ritual Tiban di kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Senin (30/9/2019). Ritual Tiban merupakan ritual meminta hujan yang selalu dilakukan oleh warga setiap tahunnya. 

Begitu aturan mainnya sudah jelas, mereka bermutar-mutar di atas panggung, sambil mencari kesempatan atau kelengahan Siswoko.

Tiga kali pukulan cambuk Rohman, hanya sekali yang mengenai punggung Siswoko. Dua kali cambukannya berhasil ditahan oleh cambuk Siswoko.

Namun demikian, punggung Siswoko berdarah. Berikutnya, gantian Siswoko yang mencambuk dan Rohman yang bertahan.

Dari tiga kali cambukan Siswoko itu, semuanya tak berhasil ditangkis oleh Rohman.

Akibatnya, perutnya mengalami luka memar, dan punggung berdarah.

Sehabis bertarung, mereka harus berjabat tangan atau berpelukan, supaya tak ada dendam.

Keduanya harus legowo, meski pertarungan adu ketangkasan menahan cambuk itu tak ada yang menang atau kalah.

Setelah kedua peserta turun, kedua wasit kembali berjoget-joget sambil memutar-mutarkan cambuk di atas kepalanya.

Itu pertanda mereka mempersilakan peserta untuk naik ke atas panggung. Dan, itu dilakukan terus-menerus setiap mencari peserta dan penantang.

"Acara ini berlangsung selama 20 hari, atau sampai turun hujan.

Dan, setiap hari, juga berlangsung adu cambuk di atas panggung," ujar Ny Yeni Fera Anggraini, Kaur Keuangan Desa Sawentar.

Bagaimana, jika tak turun hujan selama berlangsung ritual tiban selama 20 hari itu? Yeni mengatakan, ya waktunya akan ditambah lagi. Biasanya, itu ditambah 10 hari.

"Namun, pengalaman yang sudah terjadi selama ini, sebelum 20 hari, sudah turun hujan. Biasanya, hujan turun malam hari atau sehabis ritual," paparnya.

Mengapa ritual ini dilakukan, menurutnya, selain sudah jadi turun-temurun dari nenek moyangnya, saat ini kondisi warga sudah mengalami kekeringan.

Tak hanya buat kebutuhan rumah tangga, namun air di sawah sudah tak ada.

Padahal, di Desa Sawentar, ada lahan persawahan seluas 312 hektare (Ha). Dan, itu sudah mengalami kelangkaan air.

"Selain itu, acara ritual tiban ini juga bisa mendatangkan rejeki bagi warga setempat.

Ada yang berjualan makanan, jajan, atau minuman. Bahkan, anak-anak muda bisa membuka lahan parkir," tegasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved