Kilas Balik

Sosok Syaikhona Kholil Bangkalan, Waliyullah Madura, Lahirkan Ulama Besar di Nusantara: Mahaguru

Syaikhona Kholil Bangkalan (Mbah Kholil) merupakan ulama tersohor di Tanah Air. Mbah Kholil menjadi salah satu waliyullah di Pulau Madura.

Editor: Taufiq Rochman
TribunMadura.com/Ahmad Faisol
Makam Syaikhona Kholil di Komplek Wisata Religi Desa Martajasah, Kota Bangkalan, Minggu (10/7/2022). 

Ia menyebutkan, Syaikhona Muhammad Kholil merupakan salah satu ulama besar yang berperan dalam melawan kolonialisme.

Kemudian Syaikhona Muhammad Kholil juga disebut berperan mengonstruksi Islam Nusantara.

"Eksistensi dan kontribusi Syaikhona Muhammad Kholil dalam bidang agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik dan sebagainya sangat besar," tulis Muhaimin, dalam lampiran yang dibacakan saat seminar.

Muhaimin menjelaskan, Syaikhona Muhammad Kholil mengawali jejaring ulama-santri sejak belajar di beberapa pesantren di Jawa.

Setelah itu, Syaikhona melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Timur Tengah, yaitu Haramain.

"Sehingga secara transmisi intelektual bersambung ke tokoh-tokoh ulama besar di masanya," tutur Muhaimin.

Setelah mengembara di Timur Tengah, Syaikhona Muhammad Kholil kembali ke Madura.

Di sana, ia mendirikan pesantren yang kelak menjadi persemaian jejaring ulama-santri di Tanah Jawa.

Ajaran ngetan dan masantren

Menurut Muhaimin, banyak sejarawan mengungkapkan keberadaan Syaikhona Muhammad Kholil sebagai puncak tujuan pengembaraan ilmiah di Jawa.

Salah satu sejarawan yang disebutnya adalah Snouck Hurgronje.

Muhaimin mengatakan, Snouck menulis soal temuan ajaran ngetan dan masantren yang terkait dengan Syaikhona Muhammad Kholil.

Adapun ajaran ngetan dan masantren populer di kalangan masyarakat Sunda.

Catatan yang sama juga disampaikan oleh seorang peneliti dari Jepang yaitu Hiroko Horikoshi saat melakukan penelitian di Garut pada 1972-1973.

"Dalam wawancaranya dengan sejumlah ulama di Garut, Hiroko Horikoshi mengungkap bahwa mereka mengingat-ingat kakek-neneknya dulu yang mengembara dan nyantri di sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Madura di abad ke-19," ujar Muhaimin.

Hal serupa, lanjut Muhaimin, juga terungkap dalam catatan perjalanan Snouck Hurgronje di pesantren-pesantren Priangan pada 1890-an.

Disebut dalam catatan tersebut, banyak anak-anak santri Garut yang berguru ke pesantren-pesantren di Surabaya untuk belajar fiqih atau ke Madura untuk belajar ilmu Nahwu.

"Orang-orang Priangan punya istilah waktu itu ngetan, yang berarti berkelana ke timur, yakni nyantri ke pesantren-pesantren terkenal di Madiun, Surabaya dan Madura," jelas Muhaimin.

Ia mengatakan, belajar ilmu Nahwu di Madura tak lain adalah belajar kepada Syaikhona Muhammad Kholil.

Para murid Syaikhona Muhammad Kholil, dari para pendiri NU hingga Soekarno

Menurut Muhaimin, Syaikhona memiliki banyak santri yang menjadi ulama besar dan memiliki peran penting dalam pembangunan kebangsaan.

Dalam catatannya, santri-santri Syaikhona antara lain para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pendiri pondok pesantren besar di Jawa, termasuk Presiden Pertama RI Soekarno.

Syaikhona Muhammad Kholil juga disebut kerap menuliskan catatan-catatan yang bersinggungan dengan nasionalisme.

Menurut Muhaimin, hal ini menjadi bukti penanaman nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan Syaikhona Muhammad Kholil kepada santri-santrinya.

Adapun catatan tersebut masih tertuang dalam manuskrip asli.

Berdasarkan manuskrip tersebut, kata Muhaimin, bukti otentik penanaman rasa kebangsaan dengan memberikan pemahaman kepada para santri bahwa mencintai bangsanya merupakan bagian dari iman.

"Manuskrip ini menegaskan bahwa ajaran tentang nasionalisme kepada santri menjadi hal yang utama, di samping pembelajaran tentang agama, seperti kajian fikih, nahwu, sharrof dan sebagainya."

"Hal ini menyiratkan komitmen kebangsaan yang luar biasa dari Syaikhona Muhammad Kholil," tutur Muhaimin.

Ikuti berita seputar Kilas Balik

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved