Hikmah Ramadan

The Power of "Puasa"

Alhamdulillah, kita sangat bersyukur diberi kesempatan berpuasa ramadhan. Kesempatan yang selalu kita impikan, dan sejak memasuki bulan rajab

Editor: Taufiq Rochman
Istimewa
Wakil Ketua Umum MUI Jawa Timur, Prof Dr H Abd Halim Soebahar MA mengulas tentang The Power of Puasa pada artikel hikmah Ramadan 2024 

Kenapa dalam perintah puasa Allah tidak menggunakan amar yang lugas dan tegas seperti perintah shalat (aqimish shalāta lidzikrĩ), zakat (khudz min amwālihim shadaqatan tuthahhiruhum), dan haji (wa atimmul hajja wal umrata lillāh)?.

Jika ditelaah ayat-ayat al-qur’an, kata “kutiba” yang digandengkan dengan kata “‘alaikum” biasanya digunakan untuk perkara yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan) yang membuat manusia enggan menjalankannya.

Misalnya ayat kutiba ‘alaikumul qitāl wahuwa kurhun lakum (diwajibkan atas kamu berperang padahal engkau tidak menyukainya) atau ayat kutiba ‘alaikumul qishāshu fĩl qatlā (diwajibkan bagimu qishash dalam perkara pembunuhan), ini semua mengandung kesulitan dan keberatan sehingga bentuk perintahnya bersifat pasif (kutiba) dan persuasif ketimbang perintah hirarkhis vertikal.

Allah memupuk moral dan mental orang beriman, bahwa didalam kesulitan terdapat kebaikan, sehingga tanpa perintah yang tegaspun, kelak manusia akan memetik buah kebaikan dari perbuatan itu.

Misalnya, puasa penting untuk kesehatan manusia (shũmũ tashihhũ), puasa penting untuk kebaikan manusia (waantashũmũ khairul lakum…).

Ketiga, Allah Swt menjelaskan bahwa kewajiban puasa pernah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu (kamā kutiba ‘alal ladzĩna min qablikum).

Ini berarti bahwa puasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak dialog pada masa turunnya ayat ini, tahun ke-2 hijrah, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu, walaupun kaifiyahnya berbeda-beda.

Pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang Mesir kuno (sebelum mereka mengenal agama samawi) telah mengenal puasa.

Dari mereka praktek puasa beralih kepada orang-orang Yahudi dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, Agama Budha, Yahudi dan Kristen.

Ibn an-Nadim dalam Al-Fahrasat, menyebutkan bahwa agama para penyembah bintang berpuasa 30 hari setahun, ada pula puasa sunnah 16 hari dan ada yang 27 hari.

Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, dan juga kepada matahari. Dalam ajaran Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari.

Mereka melakukan puasa 4 hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha”, pada hari-hari ke-1, ke-9, ke-15, dan ke-20.

Orang Yahudi mengenal puasa selama 40 hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agamanya, untuk mengenang para nabi atau peristiwa-peristiwa penting.

Agama Kristen juga demikian, walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek dikenal beragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka agama.

Semua ini menunjukkan, bahwa ajaan Islam khususnya puasa, sebagai kelanjutan dan penyempurnaan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved