Hikmah Ramadan

Hari Raya, Antara Tradisi dan Tuntunan Syariat

Cara beragama Umat Islam di Indonesia sudah memiliki tradisi dan berjalan bertahun-tahun tanpa ada yang mempermasalahkan.

Editor: Taufiq Rochman
Istimewa
KH Makruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim 

Sungguh Al Qur'an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yang diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yang dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum” (Fatawa Al-Azhar, 10/160)

Menurut guru saya, KH Muhyiddin Abdussamad Jember, pemberian ketupat ke tetangga adalah bagian dari menjalankan perintah Nabi shalallahu alaihi wa sallam: "Jika kamu memasak kuah maka perbanyak airnya, lalu perhatikan keluarga tetanggamu. Kemudian beri bagian kepada mereka dengan baik" (HR Muslim dari Abu Dzar)

Ucapan Selamat Hari Raya

Beberapa kalangan mulai mempermasalahkan ucapan hari raya di masyarakat kita, yakni Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Menurut mereka ini tuntunan dari siapa? Riwayat dari para Sahabat adalah saling mendoakan, seperti dari Habib bin Umar Al-Anshari berkata bahwa ayahnya berkata: “Saya bertemu Wasilah di hari raya, maka saya ucapkan: “Semoga Allah menerima amal kita dan amal anda” (HR Thabrani).

Bagi saya, mereka yang gegabah menyalahkan sebuah tradisi yang berangkat dari minimnya literasi bacaan fatwa para ulama, cara menjawabnya adalah dengan menyampaikan fatwa ulama dari kalangan mereka sendiri sehingga argumen diskusi lebih berbobot.

Salah satu Mufti di Arab, Syaikh Utsaimin, ditanya hukum ucapan selamat dan adakah redaksi khusus? Jawab: “Ucapan selamat di hari raya adalah boleh. Tidak ada redaksi khusus. Kebiasaan yang sudah berlaku adalah boleh selama tidak ada dosa” (Majmu’ Fatawa, 16/129)

Halal Bihalal

Ada satu lagi tradisi yang khas hanya ditemukan di Indonesia, yaitu Halal Bihalal.

Sebuah momen saling meminta dan memberi maaf secara bersama, dimulai di dalam rumah antara anak dan orang tua, dilanjut di masjid bersama para jemaah, hingga tempat kerja dan instansi pemerintahan, baik daerah hingga di ibu kota.

Untuk istilah Halal Bihalal, menurut KH Maghrobi Chayadi (Rais Syuriah PCNU Surabaya 2005-2010) diambil dari sebuah hadis: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa pernah berbuat dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya ia minta kehalalannya (minta maaf)…” (HR al-Bukhari No 6534).

Meminta halal artinya minta agar dimaafkan. Secara kebahasaan memang kurang tepat jika dibuat bahasa Halal Bihalal.

Jika saling memberi halal atas kesalahan masing-masing lebih tepat adalah Tahallul, saling menghalalkan.

Tapi kata tahallul sudah lumrah dipakai saat akhir ibadah haji dan umrah dengan memotong rambut.

Justru saya lebih suka istilah Halal Bihalal, karena menunjukkan ciri khas Islam di Nusantara.

Para pendakwah lulusan Timur Tengah jelas menolak tradisi ini. Di samping karena tidak dijumpai di masa Nabi hingga saat ini di Negeri Arab, kata mereka bermaafan tidak harus menunggu hari raya, melainkan setiap melakukan kesalahan kepada sesama diharuskan meminta maaf.

Di sinilah letak perbedaan dalam berdakwah. Menurut mereka setiap amalan harus ada perintah dari Nabi secara khusus.

Sementara menurut kita, jika berkaitan dengan tradisi dan kebiasaan maka boleh saja selama tidak ada dalil yang melarangnya secara khusus. Termasuk perintah: “Saling bermaafanlah kalian. Maka kebencian akan hilang di antara kalian” (HR Al-Bazzar dari Ibnu Umar).

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved