Berita Madura

Apa Itu Carok? Tradisi di Madura, Pertarungan Senjata untuk Mempertahankan Harga Diri dan Kehormatan

Budaya Carok di Madura muncul pada masa penjajahan Belanda pada abad ke-18 M. Sejarah ini bermula dari seorang mandor kebun tebu di Pasuruan.

Via Sonora
TRADISI CAROK MADURA - Foto Ilustrasi untuk berita apa itu carok. Tradisi masyarakat Madura untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. 

TRIBUNMADURA.COM – Carok melekat dengan sosok orang Madura

Untuk diketahui, carok merupakan pertarungan antar orang Madura menggunakan senjata tajam berupa celurit untuk memulihkan harga diri seseorang.

Bagi masyarakat di luar Madura, carok dinilai sebagai aksi berbahaya untuk menyelasaikan masalah.

Bahkan carok cenderung dinilai sebagai stereotip negatif.

Lantas apa itu carok sebenarnya? 

Hal ini ternyata berkaitan dengan tradisi Madura

Carok bukan hanya sekedar tindakan kekerasan, tetapi juga memiliki dasar filosofi yang berkaitan dengan kehormatan, khususnya kehormatan laki-laki dalam mempertahankan martabat dirinya atau keluarganya.

Berikut asal-usul tradisi carok di Madura.

Baca juga: Madura United Tetap Latihan saat Ramadan, Pemain Ungkap Misi Ingin Keluar dari Zona Degradasi 

Apa itu Carok?

Mengutip dari situs Universitas Esa Unggul, carok adalah suatu bentuk pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Inti dari tindakan ini adalah untuk mempertahankan kehormatan.

Sebuah ungkapan etnografi yang menyatakan, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah), menjadi motivasi terjadinya tindakan carok.

Setiap kasus carok dimulai dengan adanya konflik, seperti masalah perempuan, tuduhan pencurian, perebutan warisan, atau pembalasan dendam.

Baca juga: Malam Berdarah, Pria di Situbondo Mendadak Muntab dan Carok Tetangga, 4 Orang Jadi Korban

Baca juga: Diejek Sering Utang Rokok di Warung, Warga Benjeng Gresik Murka, Tetangga Jadi Sasaran Carok

Seorang laki-laki yang dilecehkan harga dirinya, namun tidak berani untuk melakukan carok, maka masyarakat Madura akan mencemooh dan menganggapnya sebagai bukan laki-laki (lo’lake). Bahkan beberapa orang menyebutnya sebagai bukan orang Madura.

Pelaku carok yang menang dan dianggap jago cenderung akan selalu menyimpan celurit yang pernah digunakan untuk membunuh musuh sebagai tanda kemenangannya.

Celurit tersebut dirawat dengan baik dan tetap mempertahankan sisa-sisa darah yang melekat, meskipun pada akhirnya darah tersebut mengering dan membentuk bercak-bercak hitam.

Bercak darah ini berfungsi sebagai tanda bahwa celurit tersebut pernah digunakan untuk membunuh musuhnya

Sejarah tradisi carok di Madura

Pada abad ke-12 M di era kerajaan Madura yang dipimpin oleh Prabu Cakraningrat, serta pada abad ke-14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal.

Bahkan, pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, yang merupakan putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M, istilah Carok juga tidak ada.

Budaya Carok di pulau Madura mulai muncul pada masa penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Sejarah ini bermula dari seorang mandor kebun tebu di Pasuruan, Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Pak Sakera.

Pak Sakera hampir tidak pernah meninggalkan celurit setiap kali pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Baginya, celurit dianggap sebagai simbol perlawanan.

Pada saat itu, perusahaan Belanda membutuhkan banyak lahan dan berkeinginan untuk membelinya dengan harga murah. Perusahaan tersebut kemudian menugaskan carik Rembang, yang berhasil mendapatkan lahan murah dengan menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat.

Tak ingin melihat rakyat menderita, Pak Sakera melakukan perlawanan dan akibatnya ia menjadi buronan pemerintah. Akhirnya, Pak Sakera ditangkap dan dipenjarakan di Bangil, Pasuruan.

Ketika berada di penjara, istri Pak Sakera yang bernama Marlena direbut oleh Brodin. Mendengar kabar tersebut, Pak Sakera kabur dari penjara dengan tujuan untuk membunuh Brodin.

Pak Sakera juga melakukan pembalasan terhadap banyak orang, termasuk carik Rembang, para pejabat perkebunan, dan kepala polisi Bangil.

Namun, pemerintah mampu menjebak Pak Sakera dan segera mengeksekusinya. Sejak peristiwa itu, orang-orang mulai berani melawan dengan senjata celurit, yang dianggap Pak Sakera sebagai tanda perlawanan. 

Untuk menghadapi pemberontakan, Belanda menggunakan taktik licik dengan mengutus blater (jagoan desa yang secara sosial-budaya amat ditakuti), yang juga dilengkapi dengan senjata celurit. Dari sinilah sejarah carok bermula, yang melibatkan pertempuran celurit di antara warga pribumi.

Belanda dengan sengaja memberikan celurit kepada para blater untuk merusak reputasi Pak Sakera. Celurit digunakan oleh Pak Sakera sebagai lambang perlawanan rakyat terhadap penjajah, namun Belanda justru mengartikannya sebagai senjata para penjahat dan jagoan.

Adu domba Belanda telah mempengaruhi sebagian masyarakat Madura, sehingga mereka percaya bahwa setiap masalah, terutama yang berkaitan dengan perselingkuhan, sengketa tanah, dan isu-isu yang menyentuh harga diri, harus diselesaikan dengan carok.

Seiring berjalannya waktu, carok menjadi simbol pertarungan yang dilakukan demi harga diri, yang dilakukan oleh masyarakat Madura dengan menggunakan senjata celurit.

Meskipun Belanda telah meninggalkan Indonesia selama bertahun-tahun, tradisi carok masih tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakat Madura.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di TribunMadura.com

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved