Hikmah Ramadan 2025

Ramadhan dan Peradaban: Membangun Masyarakat Moderat dalam Perspektif Islam Nusantara

Ramadhan bukan sekadar ibadah, tetapi juga sarana membangun peradaban berbasis disiplin spiritual.

Editor: Taufiq Rochman
Istimewa
HIKMAH RAMADAN - Dr H Muhammad Ghufron, Lc., M.H.I (Pengurus Lembaga Dakwah Khusus MUI Jawa Timur) menulis artikel Hikmah Ramadan 2025 berjudul "Ramadhan dan Peradaban: Membangun Masyarakat Moderat melalui Disiplin Spiritual dalam Perspektif Islam Nusantara" tayang Jumat (14/3/2025). 

Oleh: Dr H Muhammad Ghufron, Lc., M.H.I (Pengurus Lembaga Dakwah Khusus MUI Jawa Timur)

TRIBUNMADURA.COM - Ramadhan bukan sekadar ibadah, tetapi juga sarana membangun peradaban berbasis disiplin spiritual.

Puasa melatih kesabaran, empati, dan keseimbangan dalam beragama nilai-nilai yang selaras dengan konsep wasathiyah (moderat) dalam Islam.

Di Indonesia, nilai-nilai ini telah lama hidup dalam tradisi Islam Nusantara yang menekankan harmoni, toleransi, dan kebersamaan sosial.

Puasa dan Disiplin Spiritual dalam Islam Nusantara

Menurut teori self-control (Baumeister, 1994), kemampuan menahan diri berkontribusi pada kesuksesan sosial.

Dalam Islam Nusantara, hal ini tampak dalam tradisi megengan (penyambutan Ramadhan dengan doa dan silaturahmi), yang mengajarkan pengendalian diri dan persiapan spiritual.

Puasa juga membentuk kebiasaan baik, sebagaimana dijelaskan dalam The Power of Habit (Duhigg, 2012).

Selama Ramadhan, masyarakat Muslim Indonesia terbiasa dengan ibadah bersama, tadarus, dan berbagi dalam tradisi ngabuburit atau takjilan, yang memperkuat solidaritas dan kepedulian sosial.

Moderasi Islam dan Harmoni Sosial

Islam Nusantara dikenal dengan pendekatan moderatnya, sebagaimana dikonsepkan dalam wasathiyah oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradawi. Allah SWT berfirman:

"Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu umat yang wasath (moderat), agar kamu menjadi saksi atas manusia..." (QS. Al-Baqarah: 143)

Ramadhan mengajarkan keseimbangan, yang dalam konteks Islam Nusantara tercermin dalam sikap toleran terhadap budaya lokal, seperti tradisi haul ulama dan kenduri, yang memperkuat kebersamaan antarumat.

Puasa sebagai Perekat Sosial

Teori social bonding (Hirschi, 1969) menyebutkan bahwa hubungan sosial yang kuat mengurangi konflik dan meningkatkan solidaritas.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved