Poin Penting:
- Program Deep Learning dinilai menambah beban administratif dan tidak berdampak nyata pada pembelajaran di kelas.
- Banyak pelatihan menghadirkan narasumber yang tidak kompeten atau hanya sejawat
- Pelatihan harus berbasis kebutuhan guru di lapangan, tanpa beban administratif, dan dilakukan secara kolaboratif seperti di Finlandia
TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN – Kepala UPTD SDN Jambu 2 Kecamatan Burneh, Bangkalan, Suraji, MPd menyoroti model pelatihan Program Deep Learning atau Pembelajaran Mendalam, ia lantas membeberkan sistem pendidikan di Finlandia.
Menurut Suraji model pelatihan Program Pembelajaran Mendalam justru dikeluhkan para guru.
Pasalnya pembelajaran tersebut dinilai menambah beban administratif dan menyita waktu.
Pemerintah meluncurkan program Deep Learning atau Pembelajaran Mendalam setelah program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak.
Namun substansinya hampir identik, yakni pelatihan singkat selama 2–5 hari dengan tugas yang menumpuk melalui Learning System Management System (LMS) atau Sistem Manajemen Pembelajaran, dan beban administratif berlebihan yang tidak berdampak pada pembelajaran di kelas.
“Sementara hasilnya tidak memberikan dampak signifikan pada pembelajaran di kelas."
"Mengapa pola pelatihan guru di Indonesia masih seperti ini, mengapa reformasi seolah hanya berganti nama tanpa substansi yang berarti?,” ungkap Suraji kepada Tribun Madura, Minggu (3/8/2025).
Padahal, lanjut Suraji, sudah jelas bahwa para guru tidak boleh terjebak dalam pekerjaan administratif yang justru mengganggu tugas utama mereka di kelas.
Baca juga: Kepsek SD di Bangkalan Berani Kritisi Pembelajaran Mendalam, Sebut Guru Terjebak Administratif
Sebagaimana instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof Dr Abdul Mu’ti, Med yang menegaskan, pelatihan guru harus mempermudah, bukan membebani.
“Namun kenyataannya, pelaksana teknis di bawahnya, khususnya Balai Besar Guru Penggerak (BBG TK) Provinsi Jawa Timur, masih menerapkan pola pelatihan top-down yang memaksa guru dan kepala sekolah menyelesaikan tugas-tugas LMS dalam waktu singkat. Ini bertentangan dengan semangat kebijakan menteri,” tegas Suraji,
Dalam hematnya, permasalahan ini bukan terletak pada niat melainkan berkaitan pendekatan yang digunakan.
Tak heran jika banyak yang mempertanyakan pola pelatihan guru di Indonesia masih seperti ini dan reformasi seolah hanya berganti nama tanpa substansi yang berarti.
“Mirisnya, biaya pelatihan ini dibebankan kepada sekolah-sekolah penerima BOS Kinerja, yakni sekolah-sekolah yang telah menunjukkan peningkatan nilai dalam Rapor Pendidikan."
"Dengan anggaran yang cukup besar, seharusnya pelatihan dirancang lebih profesional, berkualitas tinggi, dan menggunakan narasumber yang benar-benar ahli di bidangnya,” paparnya.