Berita Bangkalan

Ciptakan Keadilan di Kampus, Satgas PPKPT Universitas Trunojoyo Madura Perkuat Budaya Antikekerasan

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menginisiasi

Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Januar
TribunMadura.com/ Ahmad Faisol
PERKUAT BUDAYA ANTIKEKERASAN : Inspektur Jenderal Kemendikti Saintek Dr Chatarina Muliana Girsang, (kiri), Ketua WCC Jombang, Ana Abdillah, Kadis Pendidikan Bangkalan, H Moh Yakub, Warek Bidang Kerjasama, Kemahasiswaan, dan Alumni UTM, Surokim, Rektor UTM, Prof Dr Safi’, serta Kadis KBP3A Bangkalan, Sudiyo, (kiri) usai penandatanganan Perjanjian Kerja Sama tentang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat Khususnya Berkaitan dengan Sosialisasi atau Pencegahan Kekerasan di Lingkungan Sekolah dalam Workshop Sahabat Sebaya dengan tema, ‘Bersama Jaga Diri, Lindungi, dan Ciptakan Budaya Antikekerasan’ di Ruang Satgas Aula Syaikhona Muhammad Kholil Lantai 10 Gedung Graha Utama, Rabu (8/10/2025). 


Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol

TRIBUNMADURA.COM, BANGKALAN Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menginisiasi tergelarnya Workshop Sahabat Sebaya dengan tema, ‘Bersama Jaga Diri, Lindungi, dan Ciptakan Budaya Antikekerasan’ di Ruang Satgas Aula Syaikhona Muhammad Kholil Lantai 10 Gedung Graha Utama, Rabu (8/10/2025).  

Didapuk sebagai Keynote Speaker yakni Dr Chatarina Muliana Girsang, SH, SE, MH selaku Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Eks Plt Rektor Universitas Negeri Manado itu mengusung materi berjudul, ‘Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi’.

Adapun dua pemateri, yakni Ketua Womens Crisis Centre (WCC) Jombang, Ana Abdillah, SHI serta Kepala Dinas Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBP3A), Sudiyo, SKep, Ners, MM. 

Dr Chatarina mengungkapkan, kebijakan tentang antikekerasan telah menjadi suatu program pemerintah sejak tahun 2021 melalui lahirnya Peraturan Kementerian Riset dan Teknologi (Permenristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Terwujudnya lingkungan belajar yang sehat, aman, dan nyaman diharapkan mampu menghadirkan keseimbangan tubuh, pikiran, dan emosi warga untuk mengukir prestasi atau holistic wellness. Sehingga semua warga kampus terhindar dari berbagai tindakan kekerasan,” ungkap Dr Chatarina.

Selain itu, lanjutnya, telah hadir upaya pencegahan kekerasan di lingkungan akademik lainnya. Mulai dari jenjang pendidikan tingkat PAU hingga SMA untuk wilayah kab/kota dan provinsi melalui Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Permendikbud) Nomor 46 Tahun 2023. Disusul Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024 yang memperluas kebijakan, di mana kekerasan itu tidak hanya meliputi kekerasaan seksual tetapi juga kekerasan terhadap guru-guru dan juga kekerasan intoleransi.

“Karena kita menyadari bahwa isu kekerasan masih menjadi pekerjaan bersama, bagaimana tata kelola pendidikan hingga saat ini sebagaian besar masih memahami bahwa kekerasan merupakan bagian dari  pendidikan, bagian dari proses pembelajaran yang katanya akan menguatkan karakter,” jelas Dr Chatarina.

Ia memaparkan, Kanal Lembaga Negara periode 2015-2020 mencatat tindak kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan, 27 persen di antaranya terjadi di jenjang pendidikan tinggi. Kanal Aduan Eksternal periode 2019 menyebutkan, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, 89 persen perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan 4 persennya adalah laki-laki.

Sementara hasil Survei Direktorat Jenderal Kemenristek Dikti di tahun 2020, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus. Di mana 63 persen mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Adapun bentuk kekerasan berdasarkan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024 PPKPT mencakup 6 bentuk kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14. Meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung unsur kekerasan.

“Seharusnya paradigma itu harus kita hapuskan, budaya kekerasan bukanlah bagian dari proses pembelajaran untuk pembentukan karakter. Karena masih banyak cara yang bisa kita lakukan dalam upaya mendisiplinkan anak-anak tanpa harus melakukan kekerasan yang merendahkan martabatnya dan menyakiti secara fisik,” tegas Dr Chatarina.

Kehadiran sejumlah siswa SMP dan SMA membuat Dr Chatarina sangat bangga karena UTM menjadi satu-satunya kampus yang bisa menghadirkan lintas sektoral seperti Pemda Bangkalan hingga WCC Jombang selaku lembaga pendampingan psikologis, hukum, dan sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender.   

Selai itu, hadir pula Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan, H Moh Yakub, beberapa kepala desa di Kecamatan Kamal, tokoh masyarakat, hingga sejumlah civitas akademika di lingkungan kampus UTM.

Dr Chatarina menekankan, semua stakeholder di lingkungan pendidikan termasuk masyarakat harus berada dalam satu bingkai pemahaman, yakni mempunyai tanggung jawab bersama untuk menjauhkan kekerasan dari lingkungan belajar. Sehingga setiap insan yang ada di lingkungan pembelajaran harus mencegah dan melaporkan jika terjadi kekerasan fisik maupun tindak kekerasan lainnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved