Rumah Politik Jatim

Swing Voters Masih Tinggi Jelang Pilpres 2019, Pengamat Sebut Black Campaign Jadi Satu Penyebab

Masih tingginya angka swing voters untuk Pemilu 2019 turut menjadi perhatian pengamat dan pakar komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo.

Penulis: Fatimatuz Zahroh | Editor: Aqwamit Torik
istimewa
Pemilu 2019 

TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Masih tingginya angka swing voters untuk Pemilu 2019 turut menjadi perhatian pengamat dan pakar komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo. 

Terutama di survei Polmark yang baru saja dirilis pekan lalu,  dimana swing voters untuk Pilpres 2019 masih berkisar di angka 48 persen. Hampir menyentuh angka 50 persen. 

Padahal kampanye sendiri sudah dilangsungkan sejak bulan September dan kurang dan 50 hari lagi sudah coblosan.  

Kejati Jatim Tunggu Pelimpahan Berkas Kasus Dugaan Pungli Pejabat PDAM Surya Sembada

Winger Tottenham Hotspur Son Heung-min Akui Akan Melajang Sampai Pensiun, Alasannya Keluarga

Biasakan Minum Sambil Duduk, Jika Sambil Berdiri Ternyata Menimbulkan Banyak Penyakit Dalam

Suko Widodo mengatakan, ada banyak faktor yang membuat survei swing voters bisa masih tinggi.  Yang pertama karena banyak orang yang tidak terlalu tertarik dengan politik.

Politik masih dianggap sebagai hal yang negatif sehingga doktrin alergi politik masih menjangkit banyak masyarakat.

Tidak hanya itu,  faktor yang juga menurutnya menjadi pengaruh adalah pelaksanaan pemilu legislatif yang saat ini bersamaan dengan pemilu presiden. 

Ajukan Ijin Hadiri Konser, Kuasa Hukum Ahmad Dhani Sebut Pengadilan Tinggi DKI Gantungkan Jawaban

Mulan Jameela Jenguk Ahmad Dhani di Akhir Pekan, Bawa Anak Bungsunya ke Rutan

Masih Fokus Penanganan Korban, Pemprov Jatim Akui Belum Berencana Tambah Anggaran Penanganan Bencana

Yang membuat politisi masih sibuk mengurusi elektabilitas diri sendiri. Pengurus partai tingkat bawah lebih memilih untuk mengkampanyekan partai untuk meningkatkan kursi di legislatif. 

"Ada tiga kemungkinan bagi swing voters. Yang pertama dia akan tetap ke pilihan utamanya, kedua dia akan berpindah, atau ketiga dia akan jadi golongan putih alias tidak menyalurkan hak pilih di 17 April nanti," kata Suko, Sabtu (9/3/2019).

Menurutnya, pemilu yang menjadikan satu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif ini memang baru kali pertama.  Sehingga harus menjadi perhatian betul oleh pemerintah untuk dijadikan bahan evaluasi.

"Tujuan pileg dijadikan satu dengan pilpres, adalah untuk efiseinsi.  Namun yang perlu jadi catatan, apakah efisiensi ini efektif untuk bangunan demokrasi bangsa kita," kata Suko. 

Sebab ia khawatir dengan banyaknya kompetisi seperti ini masyarakat menjadi tidak fokus dan sehingga dampaknya merambah ke banyak sektor. 

Mulai swing voters masih tinggi, undecided voters, atau nantj yang dikhawatirkan adalah partisipasi pemilih menjadi turun drastis.

KPU Jatim Terus Lakukan Verifikasi WNA yang Masuk DPT, Ajak Pihak Terkait Bekerjasama

Bangkalan Akan Punya Islamic Science Park, Pasar Syariah Internasional Mirip yang di London Inggris

Angka Swing Voter di Lembaga Survey Capai 48 Persen, TKD Jatim Optimis Banyak yang Akan ke Jokowi

"Yang harus jadi pertimbangan tetap juga efektif nggak sistem ini terhadap demokrasi. Saat kompetisinya banyak, pemilih disodori dengan informasi yang begitu banyak, ini yang membuat orang jadi ragu, atau belum mantap, atau bahkan memutuskan apatis," tandas Suko. 

Tidak hanya itu,  suka juga mengatakan bahwa tingginya angka sing fotorus maupun angkatan this edit foto dalam pilpres 2019 juga dipengaruhi dengan oleh dinamika politik masa kampanye sejak september lalu

Menurutnya dinamika politik yang banyak menyebarkan hoax dan juga kampanye negatif menjadi pengaruh pada pemilih untuk memilih apatis ataupun ber stigma negatif pada proses politik itu sendiri.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved