Fakta Baru Terorisme Dibongkar BNPT, ada Fatwa yang Jadi Pemicu Lone Wolf Simpatisan
BNPT membongkar fakta baru terkait aksi terorisme yang belakangan ini menyerang Indonesia. BNPT juga menyinggung soal ISIS hingga jaringan Islam
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Aqwamit Torik
Reporter: Luhur Pambudi | Editor: Aqwamit Torik
TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - BNPT membongkar fakta baru terkait aksi terorisme yang belakangan ini menyerang Indonesia.
BNPT juga menyinggung soal ISIS hingga jaringan Islam yang ingin mendirikan khilafah.
Sementara itu, ada pemicu yang membuat simpatisan menjadi lone wolf.
Dua orang pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral, Jalan Kahaolalido, MH Thamrin, Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Baca juga: Lagi Bersihkan Sekitar Sungai, Warga Kediri Malah Tak Sengaja Temukan Benda Langka Zaman Purbakala
Baca juga: Jadwal Buka Puasa di Bangkalan hingga Sumenep Rabu 14 April 2021, Simak Doa Buka Puasa dan Artinya
Baca juga: Daripada Melengserkan Muhaimin Iskandar, DPC PKB Pasuruan Pilih Usung Gus Ami di Pilpres 2024
Direktur Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT-RI), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menerangkan, JAD adalah satu diantara sempalan kelompok teror yang lebih dahulu ada dan sempat menyebabkan aksi teror beberapa tahun lalu.
Semua kelompok ektremisme yang mengatasnamakan agama di Indonesia, berawal dari pengaruh yang disebar oleh kelompok Al-Qaeda di Afganistan pada awal tahun 2000.
Seiring berlalu muncul kelompok sempalan lain yang eksis memperjuangkan ide negara Islam, bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di negara Irak dan Suriah.
"Lalu JAD berafiliasi dengan ISIS," katanya saat dihubungi TribunMadura.com pada Minggu (4/4/2021).
Secara genealogi, kelompok teror yang mengatasnamakan agama berawal dari adanya kelompok Negara Islam Indonesia (NII), yang bermaksud menerapkan Daulah Islamiah (DI) sebagai sistem negaranya.
Sebuah kelompok yang dibentuk oleh sekelompok milisi muslim yang dikomandoi seorang politisi muslim, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jabar, pada Minggu (7/7/1949) atau 72 tahun silam.
Kemudian, sekitar tahun 1993, muncul kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di Malaysia, yang dibentuk oleh orang Indonesia bernama Abu Bakar Ba'syir dan Abdullah Sungkar.
"Sementara yang bertahan dengan nama NII, namanya Masduki," tuturnya.
Setelah JI berhasil melakukan ekspansi dan infiltrasi ke sejumlah negara Asia Tenggara di sekitarnya.
Di Indonesia mereka pecah menjadi sejumlah golongan (firqah) atau kelompok baru yang bernama Majelis Mujahidin Indonesia (MJI).
Baca juga: Cerita Awal Perkenalan Nathalie Holscher dengan Hijab, Main di FTV sampai Handuk Dijadikan Kerudung
Baca juga: Jadwal Buka Puasa di Bangkalan hingga Sumenep Rabu 14 April 2021, Simak Doa Buka Puasa dan Artinya
Kemudian, muncul lagi kelompok baru, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Dari JAT muncul firqah lain yaitu Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) yang dipimpin putra Abu Bakar Ba'asyir; Abdul Rohim Baabul.
Tak berhenti di situ, kemudian muncul Jamaah Asharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang juga ada di wilayah Indonesia Barat.
"Kesemua ini mendukung yang terafiliasi ke ISIS. Kecuali JAS," jelasnya.
Kesemuanya kelompok sempalan itu memiliki sebuah ideologi dan misi yang sama.
Yakni ingin mendirikan negara Islam berupa khilafah; takfiri.
Hanya saja dari segi metode atau strategi aksinya, berbeda.
Perbedaan antara JI dan JAD, menurut Nurwakhid, terletak pada metode dan strategi aksinya.
JI lebih terorganisir, sistematis terukur dan ideologis.
Sedangkan, JAD cenderung nekat, sporadis, dan tidak memiliki kriteria target yang pasti.
"Biasanya JI itu lebih smart. Kalau JAD, lebih nekat," katanya.
Proses infiltrasi kelompok teror tersebut sejatinya makin leluasa dengan adanya media sosial (medsos).
Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan tahun 2017, bahwa 4% penduduk Indonesia atau sekitar 10 Juta orang, siap berjihad menegakkan khilafah.
Nurwakhid mengatakan, kalau memang persentase tersebut adalah representasi nyata dari keanggotaan kelompok teror.
Betapa beratnya tugas Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror melakukan pengintaian.
Apalagi petugas hanya bisa memantau anggota atau simpatisan yang berjejaring secara terorganisir.
Lantas bagaimana dengan mereka yang terkategori sebagai simpatisan lepas yang tak tercatat, namun berpotensi melakukan aksi serangan (lone wolf).
Kemudian diperparah dengan kondisi melemahnya ISIS di Timur Tengah.
Lalu dipicu oleh tokohnya yang belakangan mulai membuat perintah atau instruksi khusus, berupa fatwa yang menyebut bahwa seluruh simpatisan bisa melakukan amaliyah di tempat masing-masing menggunakan senjata yang ada.
"Ini yang tingkat kesulitannya tinggi, saat kami mendeteksi lone wolf," terangnya.
Melalui Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2021. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstrimisme (RAN PE).
BNPT-RI telah berkoordinasi dengan berbagai kementerian terkait dalam upaya menggantang eksistensi kelompok teror yang kerap beraksi sembunyi-sembunyi, memanfaatkan perangkat komunikasi berbasis siber melalui media sosial (medsos).
Mulai dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Tindak Pidana Cyber Crime Bareskrim Polri, Densus 88, dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Tujuannya, memotong jalur media propaganda dunia medsos. Memotong mata rantai media kaderisasi kelompok tersebut.
"Melalui dunia pendidikan, melalui seminar, lalu bentuk gugus tugas dari seluruh pemuka agama," ungkapnya.
Kelompok teroris cenderung menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Isu suku, agama, dan ras (Sara), menjadi konten pemungkas yang dimanfaatkan untuk melancarkan aksinya.
Itulah mengapa, aksi teror tersebut selalu menyasar lokasi tempat ibadah; gereja. Nurwakhid menerangkan ada tiga sebab.
1) Menganggap Orang Non-Muslim Adalah Kafir
Termasuk menganggap, saat ini dalam konteks sedang berperang, melawan kafir. Sehingga mereka laik menargetkan orang bukan Islam untuk diserang.
2) Menganggap Saat Ini Adalah Peperangan Seperti Masa Lalu
Jaringan teroris dengan ideologi takfiri itu, lanjut Nurwakhid, menganggap sedang dalam situasi peperangan, sebagai kelanjutan dari perang salip, dibeberapa abad lalu.
3) Manipulasi Agama untuk Propaganda
Nurwakhid menyebut, kelompok radikal sejatinya gerakan politik yang ingin mengambil kekuasaan dengan mengganti sistem negara, dengan cara memanipulasi agama, dan menghalalkan segala cara.
Hanya saja, jumlah kelompok mereka terbilang minoritas. Tak pelak, menyasar tempat ibadah agama lain, menjadi satu siasat memantik pertikaian di tengah masyarakat.
"Menyerang gereja, yang notabene sangat sensitif isu SARA, otomatis akan timbul fitnah saling curiga dan sebagainya," pungkasnya.
